Mencermati Akuisisi Bank Lokal oleh Bank Asing   | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto : SINDOnews

Mencermati Akuisisi Bank Lokal oleh Bank Asing  

Ceknricek.com -- The Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ Financial Group, Inc (MUFG) lewat MUFG Bank, Ltd., kembali meningkatkan kepemilikannya di PT Bank Danamon Indonesia Tbk., serta di PT Bank Nusantara Parahyangan Tbk., lewat transaksi tunai senilai total Rp49,6 triliun. Dalam transaksi crossing saham yang dilakukan, Senin (29/4), MUFG menambah kepemilikan saham di Bank Danamon (BDMN) menjadi 94% dan di Bank Nusantara Parahyangan (BBNP) menjadi sebesar 99,9%.

Keterangan resmi MUFG, dalam situsnya, menyebutkan transaksi ini disebut sejalan dengan rencana penggabungan usaha yang telah diumumkan sebelumnya, bahwa kepemilikan saham di Bank Danamon akan secara bertahap dinaikkan dari sebelumnya 40% menjadi 94%. Hal ini merupakan tahapan ketiga dari rencana akuisisi terhadap Bank Danamon yang telah efektif dimulai sejak 26 Desember 2017.

Mitsubishi. Sumber: WorldFinanceInform

Sejalan dengan itu, kepemilikan saham MUFG di Bank Nusantara Parahyangan kembali ditingkatkan sebesar 7,9% menjadi 99,9%.

Perincian transaksi saham yang diakuisisi MUFG pada Senin itu sebesar 5.174.089.400 saham atau 54% dengan nilai akuisisi Rp9.590 per lembar saham (US$0,68). Adapun total nilai transaksi crossing saham Bank Danamon sebesar Rp46,62 triliun atau setara dengan US$3.506 juta.

Sementara itu, crossing saham Bank Nusantara Parahyangan sebanyak 736.578.439 saham atau sebesar 92,1% dengan nilai pembelian Rp4.088 per saham atau setara US$0,29. Total nilai pembelian sahamnya sebesar Rp3,011 triliun atau setara US$213 juta.

Seperti diberitakan sebelumnya, merger antara Bank Danamon dan Bank Nusantara Parahyangan masih berjalan serta direncanakan mulai efektif pada 1 Mei 2019.

Bank Nusantara Parahyangan akan melebur ke dalam Bank Danamon sebagai bank hasil merger. Setelah merger, MUFG akan menguasai 9.196.854.799 saham Bank Danamon yang setara dengan kepemilikan 94,1% saham di entitas bank hasil merger tersebut.

Berburu Bank Kecil

Tahun ini, diperkirakan ada sembilan bank yang mengeksekusi rencana merger dan akuisisi. Sebagian besar gagasan merger dan akuisisi tersebut dilakukan investor asing, terutama dari Jepang dan Korea Selatan.

Selanjutnya, paling tidak ada empat bank hasil merger tahun ini. Ada BTPN dengan Bank Sumitomo Mitsui Indonesia, Bank Danamon dengan Bank Nusa Parahyangan, Bank Dinar Indonesia dengan PT Bank Oke Indonesia, serta Bank Korea Selatan (Kookmin Bank) yang akan menjadi pemegang saham Bank Bukopin melalui rights issue sebesar 22%.

Bank Danamon. Sumber : infobank news

Jika dilihat dari kacamata kepentingan ekonomi nasional, ekspansi bank asing di Indonesia sudah berada dalam tahap yang mengkhawatirkan. “Betul, kita butuh suntikan likuiditas untuk memompa ekonomi. Namun, dampak ekspansi bank asing membuat arus modal keluar jika terjadi syok pada perekonomian sangat berisiko,” ujar Bhima Yudistira Adhinegara, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef).

Kebutuhan likuiditas ini bisa dicek dari indikator rasio perbandingan jumlah kredit terhadap PDB Indonesia yang masih 39,1%, tertinggal jauh dari negara Asia lainnya seperti Singapura 129,7% dan China 155,3%.

Selain terjadi syok, akibat ekspansi bank asing juga adalah hadirnya potensi transfer pricing antara anak dan induk bank, baik dalam bentuk pengalihan dana simpanan, penempatan tenaga kerja, maupun pembelian barang dari negara asal.

Selain itu, ada faktor risiko soal penggunaan data nasabah bank di Indonesia untuk kepentingan induk bank asing. “Soal perlindungan data nasabah, Indonesia tergolong lemah. Padahal, data is the new oil, komoditas yang mungkin nilainya ke depan lebih bernilai dari bisnis simpan-meminjam itu sendiri,” tandas Bhima.

Bank asing masih agresif ke Indonesia karena pasar Indonesia masih cukup besar. Hanya ada 34% penduduk dewasa yang punya rekening bank dan 41,5% penduduk masih meminjam dari teman atau keluarga. Postur demografi juga mendukung.

Pada 2030, kita akan memasuki bonus demografi dengan usia produktif yang mendominasi. Net Interest Margin (NIM) Indonesia lebih dari 5,1% per Oktober 2018. Angka ini merupakan salah satu yang tertinggi di Asia. Angka tersebut mencerminkan peluang bisnis perbankan di Indonesia yang sangat prospektif dengan laba gemuk. Belum lagi jika ditambah pasar UMKM yang cukup besar. “Kecenderungan dua tahun terakhir, bank dari Jepang maupun China kalau enggak masuk ke sektor konstruksi, ya ke sektor UMKM,” tambah Bhima.

Agresifnya bank asing masuk ke Indonesia juga karena dorongan negara asal bank yang berekspansi di Indonesia. Sebut saja mulai dari Jepang, China, Korea Selatan, hingga Timur Tengah, semua perbankan di wilayah itu telah mengalami fase sunset alias jenuh.

Pasar industri perbankan di negeri-negeri itu tidak bisa berkembang lebih jauh. Korea Selatan dan China, misalnya, credit to GDP-nya melebihi 100%. Mereka harus berekspansi untuk menjaga profit jangka panjang. Negara-negara itu juga rata-rata mengalami aging population sehingga produktivitas penduduknya mulai turun.

Wakil Direktur Indef Eko Listyanto menambahkan, bank asing melihat industri sektor keuangan Indonesia tumbuh prospektif dengan pertumbuhan kredit masih di sekitaran 12% saat deposito 5%–6%. Artinya, keuntungannya bisa mencapai 100%. Pertumbuhan kredit bank-bank kecil bahkan bisa lebih tinggi lagi.

Ditambah lagi segi regulasi perbankan lokal dan global yang mendukung. Dalam aturan perbankan global, kebijakan cenderung mengarah ke permodalan--selain risiko. Arsitektur perbankan Indonesia pun mengarah ke penguatan permodalan.

Revisi Undang-Undang

Bhima mengungkapkan bahwa kondisi di Indonesia ini cukup aneh. Di China, misalnya, kalau bank lokal kita mau buka cabang, harus joint ventures dengan pemain lokal China. Porsinya bisa di atas 60%. Buka layanan ATM saja izinnya susah. Regulator China menganggap sektor jasa keuangan merupakan sektor yang strategis dari banyak sisi, termasuk keamanan.

Indonesia pasca-Reformasi 1998 justru semakin liberal. Padahal, kalau ada tekanan krisis ekonomi, dana asing akan lebih mudah keluar ketika bank asing terlalu dominan. Ini berkaitan dengan kekuatan devisa Indonesia juga. Bhima menunjuk Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 Tahun 1999 dan Peraturan Bank Indonesia (BI) No. 14/8/PBI/2012. Dari aturan itu, bisa disimpulkan bahwa kepemilikan saham oleh asing bisa sampai 99%.

Ironisnya, Direktur Utama BCA Jahja Setiaatmadja mengeluhkan rumitnya bank lokal melakukan akuisisi. Bank lokal, seperti BCA, harus bersaing dengan bank asing yang saat ini tengah banyak mengincar bank di Indonesia. Bank-bank asing tersebut berani menawar dengan harga yang tinggi.  

SoftBank, DigiBank, KakaoBank, dan bank asing lainnya tidak memiliki banyak pertimbangan ketika akuisisi bank kecil. Pasalnya, posisi mereka cukup strategis karena tidak memiliki banyak cabang di dalam negeri. "Jadi mereka kan dari tidak punya (nothing) jadi punya (something), kalau kita kadang cabang sudah banyak," kata Jahja.

Anggota Dewan Komisioner sekaligus Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Heru Kristiyana beda pendapat soal itu. Dia bilang, “Siapa pun investor yang akan membawa bank dan kuat, silakan masuk. Ini akan membantu perekonomian. Namun, kami juga ingin investor lokal melakukan penguatan di sektor perbankan.”

Bhima tidak menampik bahwa ada keuntungan yang diperoleh negeri ini dengan masuknya bank asing. “Bank lokal bisa mendapatkan transfer of knowledge dari induk usaha asingnya,” ujarnya.

Bank Nusantara Parahyangan. Sumber : Wikimapia

Biasanya, bank asing akan menempatkan best talent-nya untuk pengembangan anak usaha. Bahkan, bukan tidak mungkin bisa go global ke negara lain sehingga pasarnya jadi semakin luas. Faktor likuiditas pun menjadi keuntungan karena ada suntikan modal baru sehingga Loan to Deposit Ratio (LDR) lebih terjaga.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai, fungsi bank--baik milik asing maupun lokal--utamanya sebagai lembaga intermediasi, yakni mengumpulkan dana masyarakat dan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit.

Sayangnya, dari fungsi dasar utama ini, bank asing banyak yang belum melakukannya secara maksimal. Rata-rata bank asing memiliki rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (LDR) lebih rendah. “Bank asing utamanya bermain dan mendapatkan keuntungan dari pasar uang dan pendapatan nonbunga. Lalu, biasanya bank asing didukung oleh modal kuat,” katanya.

Bhima menambahkan, terkadang pemilik asing tidak memahami karakteristik pasar Indonesia yang berbeda dari negara asalnya sehingga menimbulkan kebingungan manajemen. Bank yang harusnya masuk sektor UMKM malah masuk korporasi, ke luar terlalu jauh dari inti bisnisnya.

Ada faktor budaya juga yang mengakibatkan culture clash, yakni tekanan pada karyawan lokal meningkat. Sementara, belum tentu kesejahteraan karyawan lebih baik. Kerugian lain adalah ketergantungan kondisi kesehatan induk bank berpengaruh terhadap kinerja anak usaha di Indonesia. Sebut saja misalnya di Amerika Serikat (AS). Ketika terjadi krisis seperti 2008, beberapa cabang bank lokal Indonesia yang diakuisisi terpaksa ditutup.

Bhima menyarankan pemerintah, BI, dan OJK untuk mendorong revisi Undang-Undang (UU) No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Amendemen UU itu sangat mendesak, tetapi mangkrak di DPR. Poinnya adalah pembatasan kepemilikan saham asing dalam perbankan nasional. Besaran kepemilikan asing idealnya di bawah 40%. Kedua, perketat pengawasan mengenai transfer pricing dan perlindungan data nasabah.



Berita Terkait