Ceknricek.com--Sekiranya penguasa khilafah menaati apa yang umumnya diakui oleh para cerdik pandai ajaran Islam alias alim ulama, sebagai ajaran Islam, maka niscaya hadits berikut ini akan menjadi kenyataan dan keharusan.
“Berikanlah pekerja upahnya sebelum keringatnya kering” (HR. Ibnu Majah).
Bukan itu saja, melainkan juga apa yang pernah diucapkan oleh seorang pakar Muslim dari Mesir, Muhammad Abduh (1849-1905), memang tepat adanya. Agar diketahui, sekembalinya dari suatu kunjungan ke Eropa (Barat), Muhammad Abduh dilaporkan mengatakan:
“Dzahabtu ilaa bilaad al-ghorbi, roaitu al-Islam wa lam aro al-muslimiin. Wa dzahabtu ilaa bilaad al-‘arobi, roaitu al-muslimin, wa lam aro al-Islam”. (aku pergi ke negara Barat, aku melihat Islam namun tidak melihat orang muslim. Dan aku pergi ke negara Arab, aku melihat orang muslim namun tidak melihat Islam).”
Maksudnya tentu adalah bahwa undang-undang/peraturan/ketentuan yang diterapkan di Barat sesuai dengan ajaran Islam, sementara undang-undang/peraturan/ketentuan (non-Islami) yang dijalankan di negara-negara Muslim tidak setimpal dengan ajaran Islam.
Segala yang di atas itu teringat kembali ketika penulis mendengar dan membaca bagaimana tegas dan “galaknya” pemerintah di Australia dalam memastikan agar upah minimal wajib dibayarkan oleh setiap majikan kepada karyawannya.
Sudah sangat banyak kasus “penipuan” upah oleh majikan yang ditangani oleh pengadilan yang bertindak sangat keras, biar pun yang ditipu oleh para majikan berkewarganegaraan Australia itu adalah para mahasiswa asing yang ingin mendapatkan “uang saku”guna melengkapi biaya hidup yang dikirim oleh para orang tua mereka dari negeri asal para mahasiswa tersebut.
Sebagaimana pernah diungkapkan seorang mahasiswi dari Tiongkok, “Biaya hidup di Australia jauh lebih tinggi dibanding dengan di negaranya sendiri.”
Dan kini ada kesan bahwa di antara negara-negara bagian yang otonom di Australia ini terjadi persaingan, siapa yang mampu lebih keras dan tegas dalam memberlakukan ketentuan upah minimum ini.
Kasus-kasus penipuan upah ini secara resmi kini disebut sebagai “pencurian upah”, yang tentu saja bernuansa pidana yang sangat jelas. Dan di antara pemerintah-pemerintah negara bagian di Australia ini, undang-undang yang paling keras dalam bidang ini diberlakukan oleh Victoria yang ibukotanya adalah Melbourne.
Pemerintah-daerah Negara Bagian Victoria memperingatkan pihak majikan, bahwa perusahaan yang dengan sengaja tidak membayarkan upah minimum kepada karyawannya, diancam dengan hukuman denda sampai lebih dari satu juta dolar ($1=Rp.10.000).
Bukan hanya perusahaan yang terkena ancaman hukuman berat ini melainkan juga orang perorangan. Undang-undang ini diberlakukan sesudah terjadi kegemparan bahwa ternyata ada perusahaan-perusahaan besar seperti supermarket Woolworths dan perusahaan-perusahaan lainnya yang membayar karyawan mereka di bawah upah minimum.
Orang perorangan yang dengan sengaja membayar di bawah upah minimum kepada karyawan/pekerjanya atau secara curang menahan upah karyawan/pekerjanya diancam hukuman denda 200-ribu dolar atau hukuman penjara sampai 10-tahun.
Dalam undang-undang itu disebutkan bahwa “Pelanggaran hukum akan dianggap telah terjadi apabila majikan dengan sengaja membayar karyawan/pekerjanya di bawah upah minimum.”
Kewajiban untuk memastikan bahwa tidak ada pelanggaran yang telah dilakukan dalam pembayaran upah dibebankan kepada majikan. Mulai tanggal 1 Juli 2022 yang lalu, upah minimum nasional di Australia adalah $21 38-sen per jam atau sebanding dengan $812 60-sen per minggu, untuk mereka yang bekerja selama 38-jam seminggu (biasanya bekerja selama 5 hari).
Jumlah upah minimum ini ditinjau ulang setiap tahun, agar dapat disesuaikan dengan biaya hidup, dan biasanya hasil dari peninjauan itu adalah kenaikan upah yang disesuaikan dengan biaya hidup nasional. Juga menarik adalah kenyataan bahwa 18-ribu dolar pertama dari gaji tahunan seorang pekerja tidak dikenakan pajak penghasilan.Yang di pajak adalah penghasilan tahunan di atas 18-ribu dolar.
Editor: Ariful Hakim