Ceknricek.com -- Puncak Acara Ibu Ibukota Awards 2019 digelar di The Hall Senayan City, Jakarta Pusat, Jumat (20/12). Acara yang diselenggarakan Dekranasda Jakarta didukung Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI ini, menganugerahkan penghargaan kepada lima sosok ibu inspiratif di Jakarta. Mereka Hadiana (Bidang Pendidikan Orang Tua dan Anak Usia Dini), Margareta Sofyana (Bidang Kesehatan), Hartuti (Bidang Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga), Tati Leliana Purba (Bidang Pengembangan Kerajinan), dan Sere Rohana Napitupulu (Bidang Pelestarian Lingkungan).
Menurut Fery Farhati, penggagas acara Ibu Ibukota Award 2019, kelima ibu itu telah melewati proses penilaian yang cukup panjang dan berhasil mengalahkan 16 ibu inspiratif lainnya. "Mereka patut diberi penghargaan karena dianggap membawa dampak positif bagi lingkungan sekitar mereka," kata Istri Gubernur DKI Jakarta ini.
Seperti apakah peran lima ibu inspiratif ini? Berikut sekilas sosok mereka.
Hartuti, Ibu Inspiratif dari Pulau Sebira, Kepulauan Seribu
Berbuat kebaikan akan berbuah kebaikan pula. Itulah yang dialami Hartuti, warga Pulau Sebira, Kepulauan Seribu. Upayanya mengajak ibu-ibu di lingkungannya mengolah ikan hasil tangkapan nelayan yang dikerjakan dengan ketulusan, mengantarkannya meraih penghargaan sebagai penggerak di bidang pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga dalam ajang Ibu Ibukota Awards 2019.
Foto: Pemprov DKI Jakarta
"Saya tidak pernah bermimpi dapat penghargaan. Apalagi saya tinggal di wilayah paling ujung utara Jakarta, Pulau Sebira," tuturnya, usai menerima penghargaan.
Dia mengungkapkan, selama ini niatannya mengajak para ibu mengolah ikan tangkapan menjadi produk olahan semata untuk meningkatkan pendapatan keluarga warga pulau. Tidak terbesit sedikit pun untuk mendapat penghargaan.
Ternyata, kerja senyapnya itu mendapat penilaian sempurna dari tim seleksi dan juri. Hartuti dinilai layak meraih penghargaan, menyisihkan tiga nominator lainnya, Mainem (Penggerak PKK Kembangan Utara), Iyoh Rochaeni (Penggerak PKK Kebon Jeruk), dan Dita Cucu Kartika (Penggerak PKK Petojo Selatan).
Sere Rohana Napitupulu, Pengembang Teknologi "Eco enzime" Sampah
Sere Rohana Napitupulu, warga Kelurahan Malaka Sari, Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur berhasil mengembangkan teknologi eco enzime untuk mengelola sampah di lingkungan permukimannya. Selain tidak menimbulkan bau, pengelolaan sampah dengan teknologi tersebut juga mengedukasi warga untuk memilah sampah sejak dari rumah.
Foto: Pemprov DKI Jakarta
"Saat ini sudah sembilan RT di RW kami yang terlibat. Ke depan kita harap lebih banyak lagi yang terlibat," ujar Rohana.
Rohana mengisahkan berkecimpung mengelola sampah berawal dari kegiatan mengikuti "green and clean" dan keluar sebagai juara di tahun 2010. Sebagai kelanjutan, Ia bersama warga lainnya mendirikan Bank Sampah Malaka Asri di wilayah permukiman mereka.
Tidak hanya memilah sampah dan menggiatkan penghijauan, Rohana juga aktif mengembangkan teknologi menanam pohon urban farming. Kemudian, teknologi komposting di bank sampah yang dikelolanya juga terus dikembangankan dengan teknologi "eco enzime" sehingga mampu memproduksi kompos cair.
Baca Juga: Gubernur DKI Apresiasi Sosok Perempuan Jakarta yang Bergerak Dalam Sunyi Tapi Punya Kontribusi
Atas upaya itu, Rohana berhasil meraih penghargaan Ibu Ibukota Awards 2019 bidang Pelestarian Lingkungan. Ia menyisihkan empat nominator lainnya, Solichah Indah Setyani (inisiator program Tabungan Sampah Kering, Pendiri Bank Sampah Induk Gesit dengan 750 nasabah), Euis Kurniawati (inisiator penghijauan wilayah Karang Anyar), Sarwo Indah Pujiutami (penggerak akademi kompos di Petukangan Selatan), dan Sutriyati (penggerak lingkungan Kebayoran Lama).
"Saya khawatir anak cucu kita tidak dapat air tanah. Makanya upayakan setiap ilmu yang kita dapat untuk menjaga bumi agar bisa diwariskan ke anak cucu kita," kata Rohana mengungkapkan alasannya.
Margareta Sofyana Pendamping Pasien Kanker dan TBC
Buat warga Kampung Jawa, Rawasari, Cempaka Putih, Jakarta Pusat nama Margareta Sofyana sudah tidak asing di telinga. Rita--panggilan Margareta--dikenal sebagai ibu rumah tangga yang aktif di bidang kesehatan masyarakat. Selain sebagai Kader Posyandu, ia adalah Kader TBC, Kader Paliatif Yayasan Kanker Indonesia, Kader Jiwa, Kader Jumantik (juru pemantau jentik), dan Kader IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat).
Foto: Pemprov DKI Jakarta
Perempuan lulusan SMP itu, sejak 2013 giat mengikuti pelatihan kesehatan dari Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta ini dikenal juga sebagai pendamping dalam pengobatan pasien kanker dan TBC. Rita gigih mengajak masyarakat di lingkungannya untuk menjaga kesehatan dan berobat jika sakit atau melakukan pemeriksaan kanker sejak dini. Apabila ada kabar orang sakit, ia ‘gatal’ untuk mendatanginya dan mengajak mereka berobat ke puskesmas.
“Kesadaran masyarakat untuk hidup sehat masih kurang, ada yang tidak mau berobat karena sudah capek dengan penyakitnya atau tidak ada orang yang mendampingi," kata Rita.
Mendengar alasan itu, biasanya Rita kemudian menawarkan pendampingan kepada mereka untuk berobat sampai mereka benar-benar sembuh tanpa dipungut biaya sepeser pun.
Rita sudah mendampingi ratusan orang yang membutuhkan pendampingan. Upaya itu dilakukan dengan cara mengantar mereka saat berobat ke puskesmas atau dirawat di rumah sakit, mengurus asuransi dan administrasi pasien, serta memantau mereka saat menelan obat.
Dari pendampingan itu Rita mendapatkan kepuasan batin yang tidak bisa dinilai dengan apa pun. Apalagi kalau pasien yang didampinginya sembuh total. Rita menyadari, pendampingan itu bermanfaat buat pasien karena menurutnya, orang sakit itu senantiasa membutuhkan dorongan untuk sembuh.
Hadiana Dedikasikan Hidup untuk Anak-anak Jakarta
Hadiana tumbuh menjadi ibu dan perempuan kuat yang mendedikasikan dirinya bagi banyak orang, terutama anak-anak di Jakarta. Misi Hadiana sederhana. Ia tak ingin anak-anak merasakan apa yang dirasakannya dulu hidup dalam kesusahan. Caranya, dengan menghadirkan lingkungan sekitar yang humanis dan harmonis, yaitu lingkungan yang ramah anak.
Foto: Pemprov DKI Jakarta
Hadiana tahu bahwa ia tak bisa melakukan semua hal untuk memperbaiki kehidupan anak-anak, namun lewat pendidikan, ia yakin bisa melakukannya.
Dari Sumedang, Jawa Barat perempuan yang akrab disapa Diana merantau mengadu nasib di Jakarta. Kecintaan pada anak-anak, menuntun Diana memilih menjadi guru Taman Kanak-Kanak (TK) pada 1989. Sejak saat itu, Diana yang kini berusia 50 tahun tak pernah lepas dari dunia mengajar anak-anak.
Pada 2004, Diana memberanikan diri membuka TK Nur Rahmah dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) KB Durian IV dengan modal pekarangan rumahnya di Jagakarsa, Tanjung Barat. TK itu dibuka karena Diana melihat banyak balita yang kurang mampu di sekitar rumahnya yang tak memiliki tempat untuk belajar.
Tak ada ruang kelas yang berwarna-warni layaknya PAUD untuk anak-anak, Diana membuka kelas di teras rumah walau dengan fasilitas seadanya. Berbekal kemampuan menjahit, ibu tiga anak itu menghias kamar menjadi ruangan yang menyenangkan bagi anak-anak untuk bermain dan belajar.
Musibah banjir tahun 2007 justru melahirkan ide untuk mengolah sampah plastik menjadi Alat Pembelajaran Edukatif (APE). APE merupakan alat yang digunakan untuk proses belajar mengajar di PAUD dan TK, biasanya dibuat bergambar dan berwarna untuk menarik perhatian anak-anak. "Jadi sampahnya tidak ada yang terbuang. Sampai bekas mi instan dibikin pohon dan bunga, semua ke pembelajaran," ujar Diana.
Daur ulang sampah itu terus berlanjut hingga kini Diana memiliki bank sampah di rumahnya. Diana membuat sendiri semua kebutuhan belajar mengajar untuk PAUD dan TK, misalnya membuat buku bergambar dari bekas kalender yang diberi selotip bening agar tak rusak terkena air, papan tulis dari kardus, dan media kreatif lainnya untuk mengajarkan anak menghitung, menulis, dan membaca.
Tak hanya itu, Diana juga mendaur ulang sampah menjadi baju yang diikutkan dalam perlombaan guru PAUD dan TK se-DKI pada 2017 lalu. Dia memperagakan busana daur ulang bak ratu dengan melenggok di pelataran Monas.
Tati Leliana Purba Tak Bosan Mendidik anak Difabel
Tati Leliana Purba tak pernah bosan mendidik anak difabel di Sekolah Luar Biasa Negeri 6 Jakarta membuat kerajinan tangan yang bernilai jual untuk menciptakan bisnis berkelanjutan. Tujuannya supaya anak-anak didiknya mandiri, bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka sendiri, tanpa bergantung pada orang lain.
Foto: Pemprov DKI Jakarta
Keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan digunakan kembali untuk membeli bahan-bahan hingga usaha kerajinan ini berkelanjutan. Dengan begitu usaha terus berputar sembari terus mencari karya untuk eksplorasi kerajinan apa yang sedang tren.
Kepiawaiannya dalam mendidik sekaligus membuat karya kerajinan mengantarkan sekolah tempatnya mengajar sebagai 10 besar SLB terbaik di Indonesia.
Tak muluk-muluk, Leli hanya ingin anak difabel didikannya menjadi mandiri dan produktif selepas lulus nanti. "Orang harus membeli produk buatan anak didik saya karena karya tersebut memang berkualitas, bukan karena kasihan,” katanya.
BACA JUGA: Cek HEADLINE Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini
Editor: Farid R Iskandar