Ceknricek.com -- Sebuah foto dalam harian Matahari yang memuat gambar pemuda Arab mengenakan beskap dan blangkon sontak membuat gempar kalangan Arab Hindia Belanda. Musababnya, pemuda tersebut menyerukan agar peranakan Arab (muwalad) yang lahir di Hindia Belanda, dan totok Arab (wulaiti) yang lahir di Hadramaut, Yaman, untuk mendukung kemerdekaan Indonesia. Tulisan inilah yang kelak menjadi salah satu penentu bangsa Indonesia bersatu menuju kemerdekan.

Sumber : wikipedia ( AR Baswedan memakai Blangkon)
Pemuda itu adalah A.R Baswedan. Setengah abad kemudian, setelah mewujudkan cita-citanya, ia menghembuskan nafas terakhir tepat pada tanggal hari ini, 15 Maret 1986 di Jakarta. Jenazahnya dibumikan di Tanah Kusir. Atas jasa-jasanya membentuk Indonesia, A.R. Baswedan yang lahir di Ampel, Surabaya, Jawa Timur, pada 9 September 1908 itu diangkat menjadi Pahlawan Nasional dan mendapat penghargaan Bintang Mahaputra Adiprana.
Sang Pemberontak
Peranakan Arab bernama lengkap Abdul Rahman Awad Baswedan yang lidahnya pekat dalam berbahasa Jawa Surabaya ini, sejak di umur 6 tahun sudah dikirim orang tuanya untuk belajar di Madrasah Al Khairryah yang didirikan komunitas hadrami (diaspora Arab) setempat, di Ampel, Surabaya. Namun perlakuan diskriminatif yang diterima Baswedan membuat sang ayah memindahkannya ke Madrasah Al Ma'arif.

Sumber : MuslimObssesion
A.R Baswedan sempat menimba ilmu di Madrasah Al-Irsyad (Batavia). Di sini ia belajar bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama di dalam Islam, tanpa terkecuali. Karena ayahnya sakit keras, Baswedan kembali ke Surabaya. Ia meneruskan pelajaran di Hadramaut School, Surabaya, yang diasuh Sayyid Muhammad bin Hashim, editor Hadramaut Courant dan Al-Bashir, majalah berbahasa Arab pertama di Hindia Belanda.
Bermula dari Jurnalis
Sebagai seorang otodidak, A.R Baswedan memulai kariernya lewat surat kabar Sin tit Po milik Liem Koen Hian, pendiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Dalam harian tersebut, ia mengisi pojok “Abunawas” yang berisi kritikan dengan mengambil kejadian-kejadian di Hindia Belanda.
Lepas dari Sin Tit Po, ia bergabung dengan Soeara Oemoem tahun 1933, dengan redaktur Soetomo, tokoh pendiri Boedi Oetomo. Di sana ia hanya bertahan selama setahun karena masalah kesehatan. Setelah kondisinya membaik, ia pindah ke harian Mata Hari (Semarang), sebuah surat kabar Tionghoa-Melayu berhaluan pro-pergerakan nasional yang diasuh Kwee Hing Tjiat yang berjuluk Sang Naga Jurnalistik.

Sumber : Republika (A.R Baswedan dan H. Agus Salim menyaksikan penandatanganan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Perdana Menteri Mesir, Nokrashi Pasha, Juni 1947.)
Setelah malang melintang di dunia jurnalistik, ia pun bergerilya ke sejumlah daerah untuk menggalang persatuan komunitas Arab di Hindia Belanda demi mencairkan konflik strata sosial kaum peranakan Arab antara sayid (keturunan Nabi Muhammad) dan non-sayid, yang terorganisir dalam Al-Irsyad dan Arrabitah.
Terobosan yang dilakukan Baswedan akhirnya menuai hasil. Pada tanggal 4 Oktober 1934, bertempat di rumah Said Bahilul, di Kampung Melayu, Semarang, ia mengumpulkan 40 tokoh peranakan Arab dari berbagai latar belakang untuk mendiskusikan sikap golongan hadrami terkait perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia juga mendorong komunitas tersebut untuk melepas sekat kesukuan (keturunan) dengan memanggil sesama dengan sebutan “my brother” atau memanggil semua keturunan Arab menjadi saudara, ‘al-akh’ baik ia sayid ataupun non-sayid.
Sumpah Pemuda Arab Indonesia
Hari kedua setelah memberikan keyakinan pada partisipan komunitas hadrami, A.R Baswedan mengajak para peserta konferensi untuk kemudian mendeklarasikan Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab, yaitu Tanah air peranakan Arab adalah Indonesia; peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan yang menyendiri; peranakan Arab memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia.

Sumber : bbc.com (kongres PAI di Cirebon 1938)
Pada hari ketiga, rapat memutuskan untuk membentuk organisasi Persatuan Arab Indonesia (PAI), dengan A.R Baswedan terpilih sebagai ketua. Tujuannya untuk menyatukan seluruh Arab peranakan (muwalad) dengan keanggotaan terbuka bagi setiap Arab yang lahir di Indonesia. Sedangkan Arab totok (wulaiti) boleh diterima sebagai anggota luar biasa, penyokong atau donatur dengan tidak mendapat hak suara. Keempat puluh partisipan tersebut menyetujui dengan bulat bahwa dasar organisasi PAI adalah pengakuan Indonesia merupakan tanah air mereka.