Ceknricek.com -- Dwi Koendoro yang akrab disapa Dwi Koen, pencipta komik Panji Koming telah tiada. Ia mengembuskan napas terakhir, Kamis (22/8) pukul 03.14 WIB, di Rumah Sakit Premier Bintaro, Jakarta Selatan. Jenazah almarhum dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta Selatan pada siang harinya.
Lelaki kelahiran Banjar, Jawa Barat, 13 Mei 1941 ini, terlahir sebagai sosok multi-talenta. Masa kecilnya dihabiskan di Bandung. Ia memiliki ketertarikan pada dunia kartun sejak umur 6 tahun, terutama Walt Disney. Setelah menamatkan Sekolah Rakyat (SR) di Bandung, Jawa Barat, ia pindah ke Surabaya, Jawa Timur, dan seterusnya menempuh kuliah di Yogyakarta.
Masa Kecil
Dwi Koendoro Brotoatmodjo berasal dari keluarga teknik. Ayahnya, R. Soemantri Brotoatmodjo, awalnya menginginkan anak kedua dari enam bersaudara itu menjadi insinyur. Namun, setelah mengetahui bakat si anak, Soemantri membebaskan putranya menentukan sendiri bidang pendidikan yang ia inginkan.
Ternyata, sejak duduk di bangku sekolah dasar, Dwi Koen telah menemukan bakatnya: menggambar. Mungkin bakat itu mengalir dari ibunya, seorang perias pengantin. Paman dari pihak ibu juga tukang gambar. Bakatnya pun mulai terasah ketika pelukis Herman, seorang tetangganya di Bandung, mengajaknya bergabung di Sanggar Cipta Panca Angkasa.
Komik. Sumber: Istimewa
Di sanggar tersebut, Dwi Koen merupakan anggota termuda dan paling kecil. Sementara di sekolah, guru gambarnya, Abibi, meletakkan dasar-dasar teknik gambar pada dirinya. Tatkala pindah ke Surabaya untuk mengikuti keluarganya, ia sempat menjadi pembina tetap siaran anak-anak dan remaja di RRI Surabaya.
Setelah lulus sekolah, demi memenuhi tekadnya untuk menjadi pelukis, Dwi Koen hijrah ke Yogyakarta dan masuk Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Awalnya ia mengambil jurusan seni lukis, tapi kemudian beralih ke jurusan ilustrasi grafik. Sebagaimana diketahui di jurusan seni lukis yang dipelajari adalah seni murni sementara hal itu bukan menjadi minatnya. Setelah tujuh tahun belajar di ASRI, ia lulus pada 1965.
Sumber: Kompas
Sambil kuliah, ia juga sempat menjadi ilustrator di majalah Waspada, Minggu Pagi, dan Kedaulatan Rakyat. Ketika kembali ke Surabaya seusai kuliah, Dwi Koen bekerja di Televisi Eksperimentil Badan Pembina Pertelevisian Surabaya, dan menjabat jadi direktur produksi. Di tempat inilah ia merasa dibesarkan karena banyak belajar tentang ilustrasi grafik.
Baca Juga: Dwi Koendoro Kreator Kartun Panji Koming Tutup Usia
Tahun 1969 Dwi Koen menikah dengan Hurian Dewasih yang juga seorang pekerja seni lulusan Desain Komunikasi Visual ITB. Mereka dikaruniai tiga orang anak: Wahyu Ichwandardi, Waluyo Ichwandiardono, dan Alfi Ichwanditio.
Mencari Peruntungan di Jakarta
Pada 1972 ia mengadu peruntungan di Jakarta. Ia bekerja sebagai ilustrator dan kartunis di penerbit PP Analisa, kemudian di majalah Stop dan Senang. Empat tahun kemudian, Dwi Koen menjadi karyawan tetap di PT Gramedia. Ia ditugaskan di bagian tata artistik dan ilustrator. Sejak itu kariernya pun terus menanjak. Ia sering diserahi tugas menggarap skenario untuk storyboard visualizer, dan terkadang menjadi sutradara hingga editor untuk iklan dan film dokumenter.
Sumber: genpi
Atas saran seniornya, kartunis G.M. Sidharta ketika bekerja di Kompas Gramedia, Dwi Koen diminta untuk membuat komik kartun yang bermuatan kritik. Maka, lahirlah Panji Koming, yang dimuat di Kompas edisi minggu sejak 14 Oktober 1979 hingga sekarang. Pemilihan Panji Koming sebagi judul komik mempunyai arti yang sederhana.
Menurut Dwi Koen, Panji berarti adalah segala sesuatu yang lebih berhubungan pada kebenaran dan segala kebaikan. Sedangkan Koming merupakan singkatan dari Kompas Minggu (karena komik ini terbit di kompas setiap hari Minggu). Selain singkatan "Kompas Minggu", Koming juga berarti bingung atau gila.
Sumber: Shopee
Ketika hendak membuat Panji Koming, Dwi Koen mengadakan riset lebih dulu dan berusaha menyambungkan ceritanya dengan realitas yang terjadi ketika komik itu dibuat. Idenya ide berasal dari berbagai isu dan peristiwa yang berekembang di masyarakat. Meskipun setting ceritanya zaman Majapahit, ia menganalogikan masa tersebut dengan kondisi masa kini, terutama masa Orde Baru dan sesudahnya.
"Saya mau menyindir perilaku yang tidak manusiawi dengan bahasa yang tidak terlalu vulgar, dengan canda," ungkapnya sepetti dikutip dari Apa dan Siapa Tempo. Meskipun kadangkala gambar yang 'terlalu berani' tidak naik cetak, namun sejak 1999 ketika Soeharto sudah lengser, Dwi Koen pun lebih berani menyuarakan sindiran-sindirannya.
Menurutnya komik mempunyai the magic of picture and spoken words, dimana karya gambar tersebut mempunyai daya magis dan persoalan sendiri yang khas dibanding dengan karya lain. "Gambar komik harus detail, harus mampu menampilkan ekspresi fisik maupun psikis dari tokohnya," ujarnya lagi.
Sumber: NasirunPurwokartun
Panji Koming dan Perangko
Tokoh Panji Koming yang ia buat untuk Mingguan Kompas adalah kisah seorang pemuda kelas menengah bawah yang memiliki karakter lugu dan agak peragu. Ia memiliki pacar yang bernama Ni Woro Ciblon yang cantik, pendiam dan sabar. Dalam kehidupan sehari-hari, Panji Koming memiliki kawan setia bernama Pailul.
Sumber: Bukalapak
Pailul digambarkan sebagai sosok yang agak konyol namun lebih terbuka dan berani bertindak. Sementara itu, kekasihnya Ni Dyah Gembili, adalah perempuan gemuk yang selalu bicara terus terang.
Tokoh protagonis lain adalah "Mbah", seorang ahli nujum yang sering ditanya mengenai masalah-masalah spiritual serta seekor anjing buduk yang dijuluki "Kirik" (anak anjing dalam bahasa Jawa).
Tokoh antagonis yang sering kali menjadi objek lelucon adalah seorang birokrat gila jabatan yang bernama Denmas Arya Kendor. Pada tahun 1999, Karakter Panji Koming pernah terpilih untuk menjadi gambar perangko Indonesia.
Selain membuat Komik Panji Koming, Dwi Koen juga sempat membuat Komik Sawung Kampret yang dimuat di Majalah Humor pada 1990 dalam rubrik Serial Komik. Ide tentang Sawung Kampret sendiri tidak hadir dalam setahun-dua tahun.
Sumber: Bukalapak
Pantaslah kemudian jika konsep Sawung Kampret tampak matang dan bermutu lewat karakternya Mahesa Aspirin (bakalan jadi Sawungkampret) dan Panji Kemis (kelak menjadi Na’ip). Namun akhirnya, komik itu terpaksa ditunda lantaran kesibukan komikus Panji Koming itu sendiri.
Semasa hidup, Dwi Koen pernah meraih berbagai penghargaan. Ia tercatat sebagai Pemenang I Festival Mini Dewan Kesenian Jakarta lewat film animasinya berjudul Batu (1974). Pemenang II di festival yang sama tahun 1975 dengan film berjudul Kayak Beruang. Juara I dan II pada Festival Film Iklan Indonesia (1976). Piala Citra untuk kategori Film Dokumenter pada Festival Film Indonesia lewat film Sepercik Kenangan, Segelombang Teladan (1981).
Selain dari dalam negeri, almarhum juga menerima sejumlah penghargaan dari luar negeri.
BACA JUGA: Cek BREAKING NEWS, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini