Mengenang Gombloh, Trubadur Legendaris Berjiwa Sosial | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Sumber: Kabarsidia.com

Mengenang Gombloh, Trubadur Legendaris Berjiwa Sosial

Ceknricek.com -- Ingat Gombloh? Penyanyi eksentrik dengan tembang khasnya yang merambah berbagai sendi kehidupan, mulai dari percintaan, kritik sosial, hingga nasionalisme itu sempat menggebrak pentas musik di Tanah Air.  

Salah satu lagunya yang cukup populer tentu saja “Kugadaikan Cintaku” yang uniknya dikenal masyarakat luas dengan "Di Radio" karena lirik awalnya yang berbunyi seperti itu.

Gombloh lahir di Jombang pada 14 Juli 1958, dari pasangan Slamet dan Tatoekah. Nama aslinya Soedjarwoto Soemarsono, namun oleh sang ayah ia dipanggil “Gombloh”. Arti kata itu, ungkapnya suatu hari, adalah “pilon“ atau “bodoh”.

Mengenang Gombloh, Trubadur Legendaris Berjiwa Sosial
Sumber: Rollingdoel

Namun Gombloh jelas tidaklah bodoh. Anak keempat dari enam bersaudara ini bahkan mampu menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 5 Surabaya dan melanjutkan kuliah di Jurusan Arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya.

Meski demikian, Gombloh pada kenyataannya tidak pernah berniat kuliah di ITS, ia melakukannya karena kasihan dengan orang tuanya. Dia pun memilih untuk mengikuti nalurinya dan bermain musik. Ia keluar dari ITS dan mengembara ke Bali.

Karier Musik Gombloh

Sebagai seorang musisi, Gombloh adalah pembuat lagu ulung yang banyak mengambil inspirasi dari realitas masyarakat yang ia temui selama bergiat bersama seniman-seniman lain, baik di Surabaya dan Bali. 

Gombloh memulai kariernya dengan membentuk Lemon Tree's Anno '69, yang musiknya mendapat pengaruh ELP dan Genesis. Dedengkot musik seperti Leo Kristi dan Franky Sahilatua juga pernah bergabung dalam grup ini. 

Menurut Japie Tambayong dalam Ensiklopedia Musik (1992), jenis musik yang dibawakan Lemon Tree’s Anno 69 adalah jenis musik yang temanya dapat dinamakan sebagai musik Folk yang memiliki arti harfiah sebagai lagu rakyat.

Mengenang Gombloh, Trubadur Legendaris Berjiwa Sosial
Sumber: Istimewa

Baca Juga: Mengenang Legenda Guru Gambar Anak Indonesia, Tino Sidin

Sesuai namanya, grup ini berdiri tahun 1969 di Surabaya, meski demikian mereka baru merilis album perdana Nadia & Atmospheer pada 1978, yang diproduksi oleh Indra Record dan Golden Hand.

Dalam album ini Gombloh memainkan alat musik gitar, tabla, conga, drum dan bas. Ia juga bernyanyi dan membuat lagu. Personel lainnya adalah Wisnu Padma (piano, synth, organ dan instrumen gesek), Gatot (gitar), Tuche (gitar bas), Totok (drum). 

Album ini melahirkan salah satu hits yang sampai sekarang masih enak jika dinikmati, yakni lagu Lepen (akronim dari Lelucon pendek) yang hingga kini melahirkan salah satu idiom terkenal: Kalau cinta sudah melekat, tai kucing serasa coklat.

Lewat lagu ini tercermin betapa humorisnya Gombloh dalam menceritakan seorang pemuda bokek yang ingin ngapel pacarnya (bermodalkan tiga batang rokok kretek dan sepatu kickers loakan) hanya berhasil menemui ayah sang gadis yang mukanya ditekuk seperti Unta.

Mengenang Gombloh, Trubadur Legendaris Berjiwa Sosial
Sumber: Sukanimusik.blogspot.com

Gombloh bersama Lemon Tree’s Anno 69, dalam kurun waktu 5 tahun (1978-1983) untuk kemudian memilih bersolo karier. Bersama grupnya total Gombloh berhasil mengeluarkan 10 album, beberapa di antaranya yang terkenal adalah: Mawar Desa (1978), Kebyar-Kebyar ( 1979), Berita Cuaca (1982). 

Kematian dan Penghargaan 

Setelah memilih untuk bersolo karier, Gombloh menggeber karyanya dengan album bertajuk Gila (1983) dan Setengah Gila (1984). Masih dinaungi oleh Nirwana Records, dalam album ini Gombloh lebih mengedepankan unsur pop untuk menggaet minat masyarakat pada waktu itu.

Nama Gombloh pun semakin moncer saat ia meluncurkan album Semakin Gila (1986) yang didalamnya terdapat salah satu hits fenomenal Kugadaikan Cintaku, yang sontak merajai tangga lagu radio di Indonesia.

Mengenang Gombloh, Trubadur Legendaris Berjiwa Sosial
Sumber: Satesiboen

Meski namanya mulai terkenal, Gombloh masih tetap sederhana dengan bajunya yang nyentrik, kumis baplangnya yang tebal, kacamata hitam dan tentu saja topi vinyl kesayangannya, laiknya seorang trubadur bohemian. 

“Gaya panggung Gombloh masih seperti biasanya yang terus ia pegang teguh. Ia adalah trendsetter, pencipta tren, bukan pengikut tren atau korban mode,” tutur Agus Wahyudi dalam Sketsa Tokoh Surabaya (2006).

Berturut-turut album lain menyusul, seperti Apel (1986) dan Apa Itu Tidak Edan (1987) yang menjadi karya pamungkas Gombloh di belantika musik Indonesia. Sebab pada 9 Januari 1988, tepat hari ini 32 tahun silam, Gombloh meninggal dunia di usia 39 tahun.

Baca Juga: Tiga Fakta Dono Warkop DKI, dari Komedian hingga Aktivis

Kematiannya pun ditangisi banyak orang. Radio-radio serentak memutar lagu-lagu Gombloh. Jalanan menuju makam Tembok Gede di Surabaya macet karena pelayat yang mengantar jenazah Gombloh mengular hingga empat kilometer. 

Pada 1996, untuk mengenang Gombloh, para seniman Surabaya secara spontan membentuk Solidaritas Seniman yang beranggotakan seniman musik, rupa, tari, teater dan tradisi bersama-sama menggagas event untuk mengenang Gombloh di Surabaya. 

Mengenang Gombloh, Trubadur Legendaris Berjiwa Sosial
Sumber: Istimewa

Gombloh yang diangkat sebagai pahlawan seniman kemudian dijadikan ikon masyarakat seniman Surabaya dengan membuat patung Gombloh seberat 200 kilogram yang terbuat dari perunggu. Patung itu kini ditempatkan di Taman Hiburan Remaja (THR) Surabaya.

PAPPRI (Persatuan Artis Penyanyi, Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia) pada 2005 juga menganugerahkan penghargaan Nugraha Bhakti Musik kepada Gombloh atas jasa-jasanya untuk dunia musik Indonesia.

BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.


Editor: Farid R Iskandar


Berita Terkait