Mengenang Mochtar Pabottingi | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Mengenang Mochtar Pabottingi

Ceknricek.com -- Saya sedikit kesulitan pada bagian mana dari perjalanan hidup dari saudara kita, Mochtar Pabottingi,  yang masih kuat tersimpan dalam memori yang bisa saya tulis untuk mengenang Mochtar Pabottingi.

Ada beberapa hal yang juga sudah sulit secara persis untuk mengingat peristiwa dan tahunnya yang dapat saya ungkapkan.

Mochtar pertama  kali bermain teater pada naskah "Thimadar "karya Yunan Helmi Nasution. Teater itu produksi  Ikatan Seniman Budayawan Muhammadiyah (ISBM ) Makassar. Saya Sutradara dan Ketua organisasi tersebut.

Ini belum pernah terungkap. Ada beberapa yang sudah tak bagus lagi untuk diluruskan dalam tulisan tentang dia di media. Setahu   saya, almarhum tidak pernah jadi redaktur Harian Mercu Suar. Juga tidak pernah memimpin organisasi seni budaya Islam.

Tentang hadiah penulisan puisi dari Gubernur Sulsel seperti ditulis banyak media saya ragukan. Justru saya yang menjadi juara 2 lomba itu pada usia 21 tahun. Mochtar waktu itu baru memulai menulis.

Akan tetapi kemampuan menulisnya memang luar biasa perkembangannya. Baik dalam menulis puisi, novel, maupun analisis politik.

Novelnya "Burung-burung Cakrawala " ditulis dengan cermat, cerdas, dan menarik. Tokoh Mochtar dalam novel saya Arus. saya hadirkan dengan hampir mirip dengannya. Suasana penuh canda setiap kami bertemu.

Setelah dia pindah ke Yogya, kami tidak ada komunikasi lagi. Tapi saya dan teman -teman dapat mengikuti tulisannya di berbagai media.

Lebih suka ditulis penulis

Sepulang dia dari Amerika, dalam berbagai acara kami masih sering ketemu.Ketika diskusi novelnya, saya dan Edow hadir. Saat peluncuran  buku puisi saya "Perahu Badik" (2015) di Hotel Sahid, dia hadir bersama Prof. Salim Said. Dia menyampaikan testimoni.

Mengenang Mochtar Pabottingi
Mochtar Pabottingi (tengah), sumber: istimewa

Sebelum sakit 22 April lalu,  sebelumnya dia pernah menjalani operasi jantung di RS  Yayasan Harapan Kita. Rahman Arge, Edow, dan saya membesuknya. Operasinya sukses. Wajahnya cerah.

Bahwa dia kembali terkena serangan jantung, tentu saya heran. Sebagai seorang yang tak banyak tahu tentang medis wajarlah kalau timbul pertanyaan. Tetapi sampai di sinilah kehadiran saudara kita di kehidupan sementara ini.

Mochtar lahir 17 Juli 1945. Saya lahir 10 April 1943. Sama-sama di Bulukumba. Kami ada hubungan keluarga. Kembali ada beberapa bagian yang lepas dari memori saya ketika  dari Unhas dia pindah ke UGM. Jejaknya bisa saja kita dapatkan di google dan dari bukunya, novel " Burung-burung Cakrawala".

Novel itu hampir berupa  biografi yang bercerita tentang perjalanan hidup seorang Mochtar Pabottingi. Mulai dari masa kecilnya di Bulukumba, khususnya Barebba. Dia berhasil menggambarkan keindahan kampungnya. Persawahan dan sungainya yang jernih.Lalu masa remaja di Makassar sampai jadi mahasiswa. Lanjut ke perjalanan hidup berupa aktivitasnya sebagai  mahasiswa UGM dan aktivitas keseniannya.

Kemudian sempat bekerja di Jakarta. Lalu studi di Amerika. Mochtar seorang pekerja. Dia tekun. Gigih dalam belajar.  Mochtar menceritakan bagaimana dia harus menyelesaikan tugas membaca buku.  Bagaimana sampai dia harus membaca di dalam kamar mandi. Karena di situ dia bisa menyalakan lampu yang terang. Tidak dilakukan di kamar tidur, karena khawatir akan mengganggu tidur istri dan anaknya..

Mochtar seorang yang kritis. Dia cerdas dalam mengamati dan menyimpulkan peristiwa.  Dia memang  peneliti yang cermat dan cerdas.  Kecerdasan dan kecermatannya terungkap dalam mengungkapkan rangkaian kisah dan peristiwa.

Mochtar lebih bangga bila ditulis sebagai penulis daripada cendekiawan. Ketika meng endorse buku puisi saya "Badik",  saya cantumkan dia sebagai cendekiawan. Untuk buku puisi saya berikutnya Mochtar minta secara khusus agar  attributionsnya ditulis penulis saja.

Mochtar cerdas, kritis, dan seorang yang kukuh pada sikap dan pendirian. Mochtar tak berubah. Dia tetap seorang Mochtar yang saya kenal selama ini termasuk ketika kami pentas teater di Makassar dan di daerah sekitar tahun 1964 hingga 1968.

Selamat jalan, saudaraku. Istirahatlah dalam keabadian.

*Penulis adalah sastrawan dan dramawan.


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait