Ceknricek.com -- Pagelaran wayang bertajuk Aswatama Nglandak itu dibuka dengan sabetan wayang di tangan dalang bertubuh tambun serta suluk tentang kehidupan manusia, dah selentingan lirih kritik terhadap alam.
Tidak terdengar seperti langgam wayang pada umumnya, tembang-tembang pengiring pementasan terdengar lebih dinamis yang dinyanyikan para pengrawit dan sinden dengan nada ceria, dan kadang berbahasa Indonesia.
Sumber: Istimewa
Meski keluar dari pakem konvensionalnya, namun gaya bertutur dan kekompakan grup membuat jalannya pertunjukan mengalir apik, ditambah karakter suara khas dalang membuat telinga dan mata penonton dimanjakan.
Sang dalang itu bernama Slamet Gundono. Dalam jagat pedalangan di nusantara ia dikenal sebagai dalang kontemporer yang menggabungkan elemen pertunjukan wayang dengan seni yang lain, khususnya suluk, puisi, dan teater.
Dalang Pendobrak Pakem
Slamet Gundono lahir di Tegal, Jawa tengah pada 19 Juni 1966 dari pasangan Ki Suwarti dan Sumarti. Ayahnya seorang dalang yang cukup terkenal di pesisir utara Jawa yang juga tokoh masyarakat setempat.
Pada mulanya, namanya hanya Gundono. Embel-embel "Slamet" diberikan gurunya ketika masih sekolah dasar. Sebagai bentuk penghormatan Gundono akhirnya memilih untuk mengubah akta kelahirannya.
Sumber: Kompasiana
Baca Juga: Asep Sunandar: Maestro Wayang Golek Sunda
Gundono sudah akrab dengan seni tradisi sejak kecil. Meski demikian ia sempat tidak berniat meneruskan jejak ayahnya sebagai dalang. Alasannya, dalang gemar bermain perempuan dan identik dengan minuman keras.
Dari sinilah ia memilih untuk masuk pesantren. Namun saat menjadi santri di Lebaksiu, Tegal, naluri jiwa dalangnya malah semakin menguat. Lulus pesantren Gundono memilih melanjutkan pendidikan di Institut Kesenian Jakarta mengambil jurusan teater.
Di Jakarta, Gundono tidak dapat bertahan lama. Ia akhirnya pindah ke Sekolah Tinggi Seni Indonesia (sekarang Institut Seni Surakarta) untuk mengambil fokus pedalangan. Di kota inilah jalan kesenian Gundono terbentuk dan berani mendobrak pakem wayang konvensional.
Sumber: Istimewa
Tahun 1995, Gundono membuat gerah dalang-dalang klasik di Surakarta ketika tampil dalam ajang Festival Greget Dalang. Pada mulanya festival berjalan lancar lewat penampilan dalang-dalang lain yang memainkan ceritanya sesuai babon wayang.
Namun tiba giliran Gundono situasi berubah drastis. Dalam lakonnya ia "membunuh" lima tokoh Pandawa dalam sebuah pertempuran. Bagi sebagian masyarakat Jawa, tokoh Pandawa adalah juru selamat ngarcapada (dunia tengah atau bumi) yang berhasil memenangkan perang Mahabarata.
Sontak “pembunuhan” Pandawa membuat geger festival dan dalang-dalang senior yang turut menonton seperti Ki Anom Suroto, Ki Manteb Soedharsono, dan Ki Purbo Asmoro. Mereka pun mengutuk serta mempertanyakan mengapa Gundono berani keluar dari pakem.
Sumber: Antara
Mendengar berbagai kritikan ini Gundono dengan santai menanggapi bahwa ia ingin melihat bagaimana rekasi publik pabila konstruksi mitos-mitos wayang digugurkan dan di dekonstruksikan sedemikian rupa.
Sejak saat itulah bakat kreatif Gundono menjadi tak terbendung. Ia berani berkesperimen dengan menciptakan pertunjukan wayang dan meruntuhkan standar estetis yang selama ini menjadi tembok penghalag pembaharuan seni pewayangan.
Wayang Suket dan Inovasi Lain
Dua tahun setelah geger di Solo, Gundono diundang pentas di Riau. Namun sesampainya di sana akses untuk gamelan dan perangkat wayang cukup sulit. Dengan segala keterbatasan itu ia memutar otak dan menemukan solusi: membuat wayang dari suket (rumput).
Maka, ia dan beberapa kawannya akhirnya mengambil rumput, mengolah, dan membentuknya dengan beragam tokoh, lalu memainkannya dengan iringan musik mulut. Lakonnya “Kelingan Lamun Kelangan” pun berhasil membius mata penonton di Riau.
Sumber: Kompasiana
Sepulang dari Riau, Gundono semakin mencintai wayang suket. Ia pun mendirikan padepokan Komunitas Wayang Suket di Surakarta. Menurutnya, wayang suket memiliki garis keterhubungan antara teori pertunjukan teater di Barat dan tradisi wayang di Timur. Suket juga merepresentasikan sebagai sesuati yang terus tumbuh den berkembang.
“Seperti rumput, roh harus terus tumbuh. Rumput tidak membutuhkan banyak air dan matahari, tetapi ia terus tumbuh. Saya belajar banyak dari filosofi rumput, “katanya kepada The Jakarta Post dalam sebuah wawancara beberapa tahun yang lalu.
Baca Juga: Kiprah Ki Enthus & Wasiat Sang Ayah
Filosofi itu menjadi landasan keseniannya dalam mementaskan wayang. Dalam semesta wayangnya, Gundono juga tidak hanya mementaskan lakon-lakon babon seperti Mahabaratha, Ramayana, atau wayang-wayang Purwa, melainkan juga kehidupan sehari-hari masyarakat.
Narasi pementasannya pun banyak mengangkat tema masalah sosial, mulai dari korupsi, kerusakan ekologi alam, kampanye persaudaraan antar sesama, cinta kasih, dan tentu saja kritik terhadap penguasa. Gundono konsisten dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan lewat wayangnya.
Kreatifitas Gundono pun tak hanya berhenti di situ. Tercatat ide-ide liarnya berhasil ia tuangkan dalam wayang nggremeng, wayang api dan wayang air, wayang gembus, wayang lindur dan berbagai kreasi lain yang dia ambil dari khasanah Jawa untuk kemudian ditafsir ulang.
Sumber: Jejakpena
Budayawan senior Goenawan Mohammad pun menilai Gundono sebagai salah satu dalang jenius dengan pementasan-pementasannya yang istimewa yang berhasil membaurkan batas antara tradisi santri dan abangan yang sebelumnya selalu berjarak.
”Dia merayakan perbedaan dan keragaman pada tiap bagian pentasnya,” ungkap Goenawan kepada Kompas.
Karena konsistensinya di bidang seni, Gundono akhirnya diganjar dengan penghargaan pretisius dari Kerajaan Belanda: Prince Claus Award pada tahun 2005. Penghargaan ini tentu saja semakin membuat lelaki dengan suara merdunya itu semakin semangat untuk berkarya.
Namun takdir sepertinya berbicara lain. Pelantun suluk Kangen Barzanji itu bertemu dengan hening dan kembali ke alam suwung. Hari ini 5 tahun lalu, tepatnya pada 5 Januari 2014 Slamet Gundono wafat setelah terserang diabetes dan jantung. Jenazahnya dibumikan di Slawi, Tegal. Gundono telah ‘Mabuk bareng Gusti’.
BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.
Editor: Farid R Iskandar