Ceknricek.com -- Siapa yang tak kenal Naga Bonar, seorang bekas copet dari Medan pada zaman revolusi yang akhirnya mengaku sebagai Jenderal dengan tingkah konyolnya namun sangat sayang kepada ibunya. Hari ini kita tampaknya patut berterima kasih pada Asrul Sani, sastrawan yang telah mereka adegan dari fenomena zaman perang tersebut serta menggambarkannya dalam konflik yang sangat apik. Asrul Sani lahir pada tanggal hari ini, 10 Juni, di Rao 1926 silam. Ia wafat di Jakarta, 11 Januari 2003.
Selama ini, kisah tentang pahlawan selalu digambarkan dengan kaku, tanpa cela, hitam putih, jauh dari pribadi keseharian, ataupun kisah-kisah konyol mereka. Namun, Asrul Sani mencoba menjauhi kisah-kisah berbau heroisme itu dan menciptakan sebuah lakon tentang seorang Jenderal ‘Naga Bonar’ yang tak bisa membaca peta (Deddy Mizwar) dengan segala tingkah polahnya yang kocak namun penuh humanisme.
Dalam adegan awal film ini saja mata penonton dengan sukses langsung dibawa oleh M. T. Risyaf dan Asrul Sani selaku sutradara dan penulis ke tengah realitas zaman revolusi, dimana Naga Bonar baru saja keluar dari penjara dan tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mencopet jam tangan serdadu Jepang. Dengan kelihaian tangan seorang ‘profesioanal’ ia pun berpura-pura menolong serdadu Jepang yang terjatuh akibat mabuk tersebut sambil mengambil jam tangannya.

Film Naga Bonar. Sumber: Istimewa
Cerita pun berlanjut, Naga Bonar sakit dan dirawat oleh Dokter Zulbi yang merupakan teman Bang Pohan dan diperkirakan sebagai mata-mata Belanda yang ternyata itu hanya isu. Ada pula Mariam, yang dengan ngawur dalam membersihkan mata-mata yang juga teman sekaligus lawan Naga Bonar dalam mendapatkan pujaan hati mereka, Kirana.

Sumber: Merdeka
Kita boleh saja mengaminkan kisah Naga Bonar hanya fiktif belaka, namun tentu saja di zaman perang kemerdekaan Indonesia (1945-1949) kebanalan organisasi militer di zaman tersebut memang pernah terjadi, hingga siapa yang merasa paling kuat dan memiliki anak buah berhak mengangkat dirinya menjadi Jenderal. “Dalam revolusi kita, ada cerita seorang jagoan yang berhasil merampas jip tentara Belanda langsung mengangkat dirinya sendiri menjadi jenderal,”ujar Salim Said, dikutip dari Historia.id.
Sebagai seorang esais andal dan penulis skenario film yang mumpuni yang lewat salah satu filmnya Naga Bonar, dan memenangkan cerita sekaligus skenario asli terbaik FFI 1987 itu, Asrul Sani juga termasuk salah seorang sastrawan pelopor Angkatan '45. Ia bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin juga dianggap sebagai trio pembaru puisi Indonesia.
Masa Kecil
Asrul Sani lahir di Rao, suatu daerah di sebelah utara Sumatra Barat, tanggal 10 Juni 1926. Dia anak bungsu, dari dua bersaudara, seorang raja yang bergelar Sultan Marah Sani Syair Alamsyah yang Dipertuan Rao Mapat. Saudara tunggalnya bernama Chairul Basri.
Sebagaimana orang Minang pada umumnya, Asrul Sani juga berasal dari keluarga yang berlatar belakang agama Islam. Meski Asrul tidak pernah dipukul jika tidak sembahyang, bukan berarti pendidikan agama diabaikan dalam keluarganya. Asrul Sani, bahkan disekolahkan secara khusus di sekolah agama yang bernama Dar el Ashar.
Pendidikan formalnya dimulai di Hollands Inlandsche School (HIS) Bukittinggi, tahun 1933. Pada usia yang sangat muda ini ia sudah harus meninggalkan orang tuanya di Rao (berjarak kira-kira 100 km dari Bukittinggi) untuk tinggal di asrama bersama kakaknya, Chairul Basri.
Setelah tamat dari HIS Bukittinggi, ia melanjutkan sekolahnya ke Jakarta. Dia masuk sekolah teknik Koningin Wilhelmina School (KWS) yang terletak di Jalan Budi Utomo dengan masa belajar lima tahun. Namun, ia gagal menyelesaikan sekolahnya.
Ia menderita inferiority complex karena ia sama sekali tidak berbakat dalam hal teknik. Kegemarannya mengutak-ngatik gramapon, yang dikira ayahnya sebagai tanda-tanda awal menggemari masalah teknik, kiranya hanya gejala umum seorang anak yang serba ingin tahu.
Minat Asrul pada bidang sastra bukanlah datang secara tiba-tiba. Bibitnya sudah ditanamkan oleh ibu dan ayahnya sejak ia kecil. Bahkan, sebelum pandai membaca, ia telah mendengar cerita "Surat kepada Radja" karangan Tagore yang terkenal itu dari ibunya.

Sumber: Nusantara News
Ibunya selalu membacakan cerita-cerita untuknya ketika ia belum bisa membaca, sedangkan ayahnya kerap memanggil "tukang kaba" (pendongeng yang menjajakan ceritanya berkeliling kampung) ke rumah mereka. Setiap tukang kaba itu datang, Asrul merasa sangat senang dan mendengarkan ceritanya dengan keingintahuan yang sangat besar.
Tulisan pertamanya yang berbentuk puisi yang berjudul "Kekasih Pradjurit", dimuat dalam surat kabar Pemandangan tahun 1943, ketika Asrul duduk di kelas dua SMP Taman Siswa. Sesuai dengan zamannya, sajak itu bercerita tentang prajurit pembela tanah air.
Setelah itu, bermunculan puisi dan cerpennya di berbagai media massa, antara lain, di majalah Siasat, Kisah, Konfrontasi, dan Gema Suasana serta surat kabar Mimbar Indonesia dan Indonesia Raja. Chairil Anwar adalah nama yang selalu terkait erat dengan Asrul Sani. Mereka bersahabat. Keakraban mereka membuat mereka--secara tidak sadar--saling memengaruhi.
Pengaruh itu dapat dilihat dari puisi mereka yang berjudul "Cerita buat Dien Tamaela" (Chairil Anwar) dan "Mantera" (Asrul Sani). Sumber inspirasi mereka sama, yakni laut. Hanya bedanya, laut bagi Chairil Anwar merupakan "sesuatu yang romantis", sedangkan bagi Asrul Sani merupakan "suatu misteri". Bersama Chairil Anwar jugalah, ditambah dengan Rivai Apin, ia menerbitkan buku kumpulan puisi yang berjudul Tiga Menguak Takdir (1950).
Judul Tiga Menguak Takdir ditafsirkan orang bermacam-macam. Ada yang menafsirkannya sebagai usaha mereka memberontak "Takdir" (Sutan Takdir Alisjahbana), tokoh Pujangga Baru yang dilambangkan sebagai satu tembok yang kokoh dan ada pula yang menafsirkannya sebagai usaha mereka untuk mencoba membuka, memahami, dan mengerti "takdir' (nasib) manusia.
Konseptor Surat Kepercayaan Gelanggang
Setelah menerbitkan buku kumpulan puisi bersama yang dirancang selama satu setengah tahun itu, mereka bertiga mengeluarkan "Surat Kepercayaan Gelanggang". Gelanggang itu sendiri sebenarnya adalah ruang budaya dalam majalah Siasat yang mereka kelola. Melalui "Gelanggang" inilah, mereka banyak menyatakan ide, gagasan, dan cita-cita kepengarangan.
Meski lebih banyak menggeluti film, terutama pertengahan tahun 1950-an, Asrul Sani mempunyai peranan cukup penting di dalam peta kehidupan sastra di Indonesia. Prof. Dr. A. Teeuw mengatakan, Asrul Sani adalah salah seorang yang terpenting dan menjadi harapan pada angkatan sesudah perang.
Karya-karya yang dihasilkannya, antara lain, Tiga Menguak Takdir (buku kumpulan puisi bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, 1950), Mantera (kumpulan puisi, 1975), Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat (kumpulan cerpen yang berisi--antara lain--cerpen "Museum" dan "Sahabat Saya Coriaz", 1972), Mahkamah (drama, 1988), dan esai-esai yang tersebar di berbagai media, antara lain berjudul "Catatan atas Kertas Merah Jambu" yang kemudian dikumpulkan dan diedit Ajip Rosidi dengan kata pengantar Taufik Abdullah.

Tiga Menguak Takdir. Sumber: Bale Buku Bekas
Selain itu, ia juga menulis ratusan karya terjemahan yang meliputi puisi, cerpen, novel, dan drama, serta puluhan naskah skenario film. Ajip Rosidi dalam kata pengantar untuk esai-esai Asrul Sani yang dieditnya dengan judul Surat-Surat Kepercayaan menyatakan, sumbangan Asrul dalam dunia sastra lebih banyak berbentuk esai dan yang lebih nyata lagi adalah posisi Asrul sebagai konseptor "Surat Kepercayaan Gelanggang".
Karena banyaknya esai yang ditulisnya, agar tidak muncul anggapan bahwa dasawarsa 1950-an penulis esai itu sedikit, Asrul menggunakan beberapa nama samaran seperti Ida Anwar, Idham Mahmud, Ali Akbar, Ali Emran, Fajria Novari, dan F. Anwar. Taufik Abdullah menyebut Asrul sebagai salah seorang pemikir kebudayaan modern yang cukup penting dalam sejarah pemikiran kita.
Meminjam kalimat yang sering dipakai Naga Bonar, kita rasanya patut bertanya, "apa kata dunia bila Asrul Sani tidak ada?”