Menuju Era Nontunai | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto : Istimewa

Menuju Era Nontunai

Ceknricek.com -- Belakangan ini, cara bertransaksi masyarakat Indonesia sudah mulai berubah. Dari yang dulu sering menggunakan uang tunai, kini menjadi nontunai. Ambil contoh, Jusuf Rizal. Presiden Lumbung Informasi Rakyat (Lira) ini mengaku, kini ia lebih sering bertransaksi nontunai. Ia menyukai transaksi nontunai--khususnya kartu debit dan kartu kredit bank--karena simpel, mudah dibawa-bawa, dan aman.

“Nggak bikin dompet penuh,” katanya. “Kalau kehilangan dompet yang ada kartu debit ATM-nya, tinggal blokir dan urus kembali. Beda dengan uang tunai, kalau (dompetnya) hilang, itu bikin sesak dada,” ujar pendiri Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Lira, LSM pemegang anugerah MURI sebagai LSM terbesar dan terbanyak cabangnya.

Berbeda dengan Jusuf,  Trisman (45) lebih nyaman bertransaksi menggunakan uang tunai ketimbang nontunai walaupun ia juga menggunakan nontunai. Menurut karyawan swasta di Jakarta ini, uang tunai dapat digunakan di mana saja, baik itu warung makan maupun warung kelontong hingga untuk memberi tunjangan hari raya kepada keponakan-keponakannya saat Lebaran tiba.

Jusuf Rizal Presiden Lumbung Informasi Rakyat. Sumber: Semarak.co

Meski demikian, ia juga tidak menutup mata terhadap aplikasi pembayaran digital, seperti OVO, Go-Pay, Dana, Doku, Midtrans, hingga yang terbaru LinkAja, yang membantunya saat ia sedang berhemat karena mendapat promo uang kembali hingga poin yang bisa dibelanjakan kembali.

“Saya sudah terbiasa bertransaksi dengan uang tunai, apalagi untuk makan di warteg atau beli jajanan di toko kelontong. Namun, saya juga pakai aplikasi nontunai di ponsel karena di situ banyak promosi, dari diskon sampai cash back. Terlebih saat puasa dan menjelang Lebaran ini. Jadi, hitung-hitung hemat,” ujarnya.

Jusuf mengatakan tradisi membagi uang Lebaran untuk anak-anak tetap ia lakukan dengan menggunakan uang tunai. “Ke depan, kayaknya akan bergeser ke dompet digital,” ujarnya.

Tunai. Sumber: Sutterstock

Mencatat Pengeluaran

Menurut Nasdaq.com, di mata milenial, membawa uang tunai dinilai bukan cara yang aman mengingat potensi kehilangan maupun kecopetan sangat tinggi. Selain itu, membawa uang tunai juga bukan cara terbaik untuk mencatat pengeluaran, membeli tiket, dan jual beli daring. Alasan lainnya, yaitu meningkatnya kecenderungan melakukan transaksi nontunai, kecanggihan, serta keamanan alat pembayaran nontunai.

Nasdaq.com. Sumber: nasdaq

Selain itu, keuntungan yang ditawarkan aplikator pembayaran daring juga sangat menggiurkan, baik itu berupa uang kembali hingga 30%, diskon khusus, maupun poin yang dapat digunakan untuk berbelanja kembali. Nasdaq.com pun mencatat saat ini generasi milenial tidak hanya sedang mempersiapkan masa depan tanpa kertas, tetapi juga menyiapkan diri untuk menuju era uang digital.

Survei yang dilakukan Brilio.net  dan Jakpat Mobile Survey pada 2018 lalu, jumlah milenial yang menyukai transaksi nontunai mencapai 59%. Lalu, yang menyukai kartu debit sebagai alat pembayaran mencapai 50%, uang elektronik 33%, dan kartu kredit 17%. Fakta lain yang menarik yaitu walaupun kartu kredit berada di urutan terbuncit, 63% milenial mengakui bahwa mereka butuh kartu kredit.

Survei yang dilakukan Brilio.net dan Jakpat Mobile Survey. Sumber: Istimewa

Fakta itu diperoleh dari riset yang dilakukan terhadap 1.021 milenial berusia 21-37 tahun di 34 kota besar Indonesia. Adapun populasi milenial di Indonesia menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) diperkirakan akan mencapai 83 juta jiwa pada 2020 atau 34% dari jumlah penduduk Indonesia.

Terwujud Tiga Tahun Lagi

Digemarinya transaksi nontunai di Indonesia juga terlihat dari survei yang dilakukan Visa kepada 500 responden di Indonesia dari total 4.000 responden di sejumlah negara Asia Tenggara pada Maret lalu. Dari jumlah responden itu, sebanyak 95% responden mengaku masih menggunakan uang tunai sebagai metode pembayaran mereka. Namun, seperti Trisman, di saat yang sama, mereka juga menggunakan transaksi nontunai.

Sebesar 85% responden menyatakan, saat ini mereka menggunakan kartu kredit atau debit. Lalu, sebanyak 70% responden juga memakai dompet elektronik dan 34% responden menggunakan transaksi nirkontak. Selain itu, studi tersebut juga memetakan preferensi masyarakat terhadap metode pembayaran yang paling diminati.

Pembayaran tunai saat ini masih menjadi cara yang diminati responden dengan jumlah 40%. Disusul dengan penggunaan kartu kredit atau debit sebesar 39%, dompet digital 18%, dan metode nirkontak 3%.

Dalam studi itu juga diungkapkan, mayoritas masyarakat menyatakan saat ini jumlah uang tunai di dalam dompet mereka lebih sedikit dibanding dua tahun lalu. Bahkan, 93% responden mengaku pernah bertransaksi ke pasar elektronik menggunakan ponsel.

Sumber: Detik.com

Selain itu, Visa juga mencatat, 82% masyarakat Indonesia cukup percaya diri dalam mencoba bepergian tanpa memegang uang tunai dan hanya mengandalkan kartu kredit atau debit serta ponsel. Menurut Visa, hal itu lantaran semakin banyaknya masyarakat yang memiliki akses pembayaran nontunai, seperti membayar restoran, parkir, hingga jalan tol.

Kartu kredit dan debit. Sumber: Istimewa

Begitu pula dengan 77% responden yang memperkirakan akan semakin sering menggunakan pembayaran nontunai dalam jangka waktu 12 bulan ke depan. Selain itu, ada 41% yang meyakini bahwa masyarakat nontunai atau cashless society akan terwujud dalam tiga tahun ke depan.

Menurut Visa, hal tersebut merupakan suatu kemajuan dibanding tahun sebelumnya, yakni ketika mayoritas responden memperkirakan masyarakat nontunai akan terwujud dalam kurun 8-15 tahun mendatang.

Belajar dari China

Tingginya minat masyarakat Indonesia dalam menggunakan alat pembayaran nontunai dalam keseharian membuat CEO Mandiri Capital Indonesia Eddi Danusaputro optimistis bahwa Indonesia sedang mengarah ke gaya hidup nontunai. Ia pun menceritakan pengalamannya saat berkunjung ke China. Di Negeri Tirai Bambu itu, dirinya terkesima oleh teknologi nontunai yang sudah menjadi keseharian warga di sana. Saking canggihnya, Eddi bahkan tidak dapat bertransaksi dan berbelanja di toko.

Eddi Danusaputro. Sumber: Swa.co

“Saya seminggu di Tiongkok mau belanja di convenience store enggak bisa karena saya enggak punya Alipay atau WeChat pay. Sementara, mereka tidak terima debit atau kredit,” cerita Eddi dalam acara bertajuk VIP Forum di Ballroom Hotel Kempinski, Kamis, 9 Mei lalu.

QR Code Reader. Sumber: Admerasia.com

Belajar dari pengalaman itu, ia pun menilai, saat ini Indonesia sedang menuju ke arah masyarakat nontunai layaknya China. Walaupun gema pembayaran nontunai baru marak sekitar tiga tahun belakangan ini, ia yakin Indonesia menuju arah pembayaran elektronik yang lebih mapan. “Indonesia sedang berevolusi card bases ke electronic payment. Namun, perlu standardisasi. Arahnya menuju kode QR. Ini bukan satu-satunya cara, tapi semua patut dicoba,” katanya.

Mulai antusiasnya masyarakat menggunakan nontunai membuat CEO PT Fintek Karya Nusantara (LinkAja) Danu Wicaksana optimistis dan menjadikan kesempatan bagi LinkAja untuk unjuk gigi. Perusahaan patungan yang terdiri dari Telkomsel 25% saham, Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Negara Indonesia (BNI) masing-masing 20%, Bank Tabungan Negara (BTN) 7%, Pertamina 7%, serta Jiwasraya 1% ini dianggap memiliki prospek yang bagus di masa depan.

Tantangan ke Depan

Meski Indonesia memiliki potensi, Danu menganggap ada beberapa tantangan yang ada di Indonesia yang harus ia taklukkan. Salah satunya infrastruktur. “Saya ambil contoh jalan tol. Selain parkir, itu merupakan server base bagi uang elektronik. Itu seharusnya dilakukan dua hal, mengganti infrastruktur dari melakukan tap secara manual atau menggunakan teknologi lain. Saat ini kita sedang mencari, apakah bisa menggunakan QR reader atau menggunakan RFID (radio frequency identification),” katanya dalam acara yang sama.

Danu Wicaksana. Sumber: Istimewa

Oleh sebab itu, ke depannya Danu berharap LinkAja bisa semakin mengakselerasi inklusi keuangan dan mempercepat terbentuknya masyarakat nontunai di Indonesia. Hal itu sesuai dengan Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT) yang dicanangkan pada 2014 lalu.

Gerakan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, pelaku bisnis, dan lembaga pemerintah untuk menggunakan sarana pembayaran nontunai. Selain itu, pemerintah juga mencanangkan program “Go Digital Vision 2020” yang diluncurkan pada 2017 lewat pemberlakuan pembayaran nontunai di semua pintu tol di seluruh Indonesia.

Keputusan Pemerintah Indonesia ini tentu saja ditujukan untuk mengejar ketertinggalan negara lain yang sudah menjalankan sistem nontunai terlebih dahulu. Sebut saja seperti Belgia yang terlebih dahulu menerapkan transaksi nontunai pada 2014, diikuti Perancis, Kanada, Inggris, dan Swedia. Sementara di Asia, China menjadi yang terdepan. Menurut laporan yang ditulis Vice.com, Tiongkok diprediksi menjadi negara pertama yang sepenuhnya meninggalkan uang tunai berkat pengontrolan internet yang ketat oleh pemerintahnya.

Negara berpenduduk terbesar di dunia dengan pilihan jasa yang relatif terbatas ini sukses memberlakukan satu sistem yang cepat menjalar dan diadopsi banyak orang. Kini, masyarakat Tiongkok hanya menggunakan WeChat Pay dan Alipay guna melakukan transaksi nontunai untuk berbelanja, makan siang, bahkan sekadar membeli majalah di toko kelontong.

Lalu, apakah Indonesia dapat menuju gaya hidup nontunai? Walau masyarakat Indonesia sudah terlihat seperti “melek teknologi”, pada kenyataannya pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia masih terbilang kalah dari negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Setidaknya, ada dua hal yang dianggap menjadi penghambat utama kebijakan ini, yakni iklim atau ekosistem bisnis dan permasalahan infrastruktur.

Nontunai. Sumber: Shutterstock

Selain jaringan infrastruktur seperti internet yang belum menyeluruh sepenuhnya ke seluruh pelosok negeri, tertinggalnya perkembangan transaksi elektronik di Indonesia juga dipengaruhi oleh tingkat literasi keuangan yang masih rendah. Beberapa pihak menganggap sebuah masyarakat nontunai akan terwujud apabila mayoritas masyarakatnya memahami bagaimana melakukan tata kelola keuangan atau literasi keuangan.

Apalagi, menurut hasil survei yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2016, tingkat literasi keuangan Indonesia baru sebesar 29,66% dari total jumlah penduduk. Artinya, penduduk yang memahami mengenai pengelolaan uang dengan baik baru sebesar 75 juta jiwa saja dari 240 juta penduduk Indonesia. Ditambah lagi, secara budaya masyarakat Indonesia masih lebih nyaman memegang uang tunai dan bertransaksi secara tunai.



Berita Terkait