Ceknricek.com--Bayangkan betapa kagumnya kami anak-anak ketika mendengar pekikan dan semboyan perjuangan untuk memerdekakan Tanah Air tercinta dari penjajahan Belanda dalam Revolusi 1945 - MERDEKA ATAU MATI!
Sebegitu murahnyakah nyawa seorang manusia, atau sebegitu mahalnyakah kemerdekaan itu hingga para laskar rakyat - begitu kami mengenal para pejuang kemerdekaan - bersedia mengorbakan satu-satunya nyawa yang dimiliki setiap yang hidup.
Tetapi setelah mulai dewasa dan membaca buku-buku asing barulah saya sadar bahwa mengorbankan jiwa raga dalam memperjuangkan harkat dan martabat - dalam hal Tanah Air Indonesia berarti kemerdekaan - memang tidak ada yang lebih mahal dari kemerdekaan itu. Bukankah "Kemerdekaan HAK segala bangsa?" (UUD '45).
Tertarik dengan revolusi, saya mulai membaca buku-buku tentang revolusi Amerika, dan saya agak tercengang ketika membaca tentang seorang pejuang Amerika bernama Patrick Henry, yang dalam salah satu pidatonya pada tanggal 23 Maret 1775 di Gereja St. John di Richmond, Virginia, mengumandangkan "Give me liberty or give me death!", yang barangkali dipersingkat oleh para pemimpin revolusi kita menjadi "Merdeka atau Mati".
Pernah ada sebuah lagu yang dilantunkan oleh seniman dan aktor terkemuka Malaya di zamannya, P. Ramlee, yang di antara liriknya ada yang berbunyi:
"Berkorban apa saja, harta maupun nyawaナ" demi cinta. Jadi tidak mengherankan kalau demi cinta Tanah Air, seorang pejuang bersedia mengorbankan jiwa raganya.
Di kalangan sementara Umat Islam ada keyakinan: "Hubbul wathan minal imaan"- artinya cinta akan tanah air adalah bagian dari keimanan. Jadi tidak mengherankan kalau ada yang memekikkan "Merdeka atau Mati!" Apa lagi mengingat bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan oleh Soekarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, bertepatan dengan hari Jum'at 9 Ramadhan 1364 Hijriah.
Juga menarik adalah ucapan pejuang revolusioner Amerika Nathan Hale, yang ketika akan menjalani hukuman gantung karena dipergoki melakukan kegiatan mata-mata untuk kaum revolusioner Amerika melawan Inggris, mengatakan: "I only regret that I have but only one life to lose for my country!" (Satu-satunya yang saya sesalkan adalah kenapa saya memiliki hanya satu nyawa untuk disumbangkan kepada nusa dan bangsa).
Ketika berkunjung ke Melbourne, salah seorang pahlawan Revolusi Indonesia, Bung Tomo mengatakan kepada saya (waktu itu saya masih bertugas di Radio Australia) bahwa beliau dan rekan-rekan seperjuangannya sangat berhutang budi pada Australia, khusus kalangan serikat buruh pelabuhannya yang memboikot kapal-kapal Belanda yang membawa senjata menuju Indonesia untuk meredam revolusi yang dilancarkan laskar rakyat. "Jadi kami mendengar berita-berita itu mengetahui tentang rencana Belanda," katanya.
Namun negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia adalah Mesir. Sebagaimana sudah banyak ditulis oleh berbagai media maupun sejarawan Indonesia yang pertama mengakui kemerdekaan Indonesia adalah Mesir.
"Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia adalah Mesir, Lebanon, dan Arab Saudi. Dikutip dari buku Merawat Indonesia oleh Lukman Hakiem, seminggu setelah KNIP menyetujui Perjanjian Linggarjati, Konsul Jenderal Mesir di Mumbai, India, Mohammad Abdul Mun'im mendarat di ibu kota Republik Indonesia (RI) yang saat itu Yogyakarta.
Mun'im datang sebagai utusan Liga Arab yang ingin mengakui kemerdekaan Indonesia. Pihaknya juga mengharapkan agar segera dikirim delegasi RI ke negara-negara Arab. Hingga pada 16 Maret 1946 berangkatlah misi diplomatik Indonesia ke Mesir melalui Mumbai.Mereka adalah H. Agus Salim (Ketua), H.M. Rasjidi (Sekretaris merangkap Bendahara), dan tiga orang anggota, Nazir St. Pamuntjak, Abdul Kadir, dan A.R. Baswedan."
Sebenarnya, sejak negara kita merdeka, Australia sudah menunjukkan kecenderungan untuk mendukung Indonesia. Buktinya, tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan, tepatnya 24 September 1945, para buruh di Australia, terutama Sydney,melakukan aksi boikot terhadap kapal Belanda yang ingin membawa senjata ke Indonesia. Aksi inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Black Armada.
Australia juga sempat mengirimkan misi diplomasi untuk membahas proses pengakuan kedaulatan pada Oktober 1945. Sayangnya, misi ini gagal karena Sekutu sudah bersiap untuk masuk lagi ke Indonesia. (Proses Pengakuan Kemerdekaan Indonesia dari Negara Lain - Materi Sejarah Kelas 12).
Menarik adalah laporan yang mengatakan bahwa ketika kapal-kapal sekutu melalui Terusan Suez mengangkut pasukan dan senjata untuk meredam perlawanan laskar rakyat di Indonesia, ratusan, bahkan mungkin lebih, orang Mesir di tebing Terusan Suez itu seraya membelakangi kapal-kapal tersebut, memelorotkan pakaian mereka (mereka menunggingi para serdadu sekutu itu sebagai bentuk protes dan pembelaan terhadap Indonesia).
Akhirnya pada awal tahun 1980-an pemerintah Indonesia memberi penghargaan kepada serikat buruh pelabuhan Australia atas jasanya ikut membantu perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah Belanda/Sekutu.
Dirgahayu Indonesia-ku.
Editor: Ariful Hakim