SKEMA (Sketsa Masyarakat)
(Disclaimer:Tulisan ini bukan resensi film. Beberapa bagian berpotensi menjadi spoiler bagi pembaca yang belum menonton Mission:Impossible Dead Reckoning Part One dan Oppenheimer. Bagi yang tak ingin pengalaman menontonnya terganggu, sebaiknya JANGAN membaca tulisan ini).
1/
Ceknricek.com--Gegap gempita tagar #barbenheimer memuncaki linimasa global selama sepekan terakhir. Kata baru ini merupakan lakuran ( portmanteau) dari film Barbie dan Oppenheimer yang dirilis bersamaan pada 21 Juli 2023. Saya tak ingin berpanjang-panjang membahas #barbenheimer. Bagi yang tertarik mengetahui mengapa kata ini menjadi mantra baru budaya populer mondial, bisa ikuti penjelasan di akun Twitter @callmetimo yang mengulas cerdas tagar ini dalam sebuah utas.
Perhatian saya justru lebih tersedot pada #missionheimer. Ini lakuran yang saya ciptakan sendiri--dan tampaknya belum pernah digunakan orang lain. #Missionheimer tentu saja masih berkaitan dengan Oppenheimer, namun dikaitkan dengan film Mission: Impossible-Dead Reckoning Part One, yang dirilis persis pekan sebelumnya. Ini film layar lebar ketujuh dari kisah agen IMF ( Impossible Mission Force) bernama Ethan Hunt yang sebelumnya hanya merupakan serial televisi.
Sejak Tom Cruise membeli franchise kisah tersebut pada 1996 yang membuatnya selalu duduk di kursi produser eksekutif dan pemeran utama—saat itu usianya 34 tahun, kini 61 tahun—Tom mendongkrak secara revolusioner standar aksi seluruh film MI pada tingkat yang membuat komunitas stunt man geleng-geleng kepala, dan penonton awam menganga tak percaya.
Sebab, pemilik nama asli Tom Cruise Mapother IV itu memilih melakukan semua adegan berbahaya ketimbang mengandalkan kecanggihan CGI ( Computer-Generated Imagery) atau rekayasa layar hijau ( green screen).
Beberapa adegan MI seperti Tom memanjat gedung tertinggi di dunia Burj Khalifa hanya dengan bantuan tali, sebelum melorot sejauh empat lantai dan berlari menuruni gedung dalam posisi yang dikenal sebagai Australian Rappel; atau melakukan panjat tebing di Dead Horse Point, Utah, setinggi 600 meter dan melompat ke ujung tebing lain berjarak lima meter; atau mengemudikan sendiri helikopter dan melakukan manuver putaran pembuka botol menukik ( 360 degree corkscrew dive) yang bahkan tak semua pilot veteran berani melakukannya; sampai memacu motor dengan kecepatan penuh sebelum melompat dari tebing setinggi 1246 meter di Helsetkopen, Norwegia. Untuk mendapatkan gambar terbaik adegan ini, Tom sampai melakukan 6 kali “adegan paling berbahaya dalam industri sinema yang belum pernah dilakukan stunt man mana pun sebelumnya,” ujar Wade Eastwood, seorang kampiun stunt man di Hollywood, penuh takjub.
Bagi penyuka film laga dan adrenaline junkie, menonton film-film laga Tom Cruise (termasuk Top Gun) bak mendapatkan kepastian garansi bahwa semua yang mereka lihat adalah benar adanya. Tak ada tipuan kamera, tak ada rekayasa CGI. Kalaupun ada, porsinya amat sedikit sekadar untuk memperkuat gambar dan pengayaan detil, bukan sebagai sandaran utama.
(Untuk selera pribadi, film Tom Cruise favorit saya adalah A Few Good Men (1992). Tom berperan sebagai letnan muda dan pengacara militer yang masih hijau namun harus berdebat di persidangan dengan seorang kolonel kawakan penuh pengalaman—diperankan oleh Jack Nicholson—untuk membongkar misteri tewasnya seorang prajurit AS di kamp militer Guantanamo, Kuba. Duel argumen mereka, ohoi, betapa indah dan membangkitkan tsunami adrenalin tersendiri. Ini sekaligus pembuktian bagi Tom bahwa dia tak hanya bisa ‘lari, panjat, terbang, lompat’, melainkan juga masuk ke dalam inti seni peran sejati).
Dari Tom Cruise kita berpindah ke Christopher Nolan, 52 tahun, sutradara dan penulis skenario Oppenheimer.
Seperti kebanyakan fans Nolan, awal ketertarikan saya dimulai pada filmnya yang kedua Memento (2000), sebuah thriller psikologi neo-noir, yang dikembangkan dari cerpen “Memento Mori” karya adik kandungnya, Jonathan Nolan.
Chris, seperti halnya Tom, adalah sineas yang berkepribadian self-oriented perfectionists dalam kategori Hewitt & Flett (1990). Orang-orang seperti mereka memiliki prinsip kerja “ if better is possible, then good is not enough.” Maka Chris pun berkata “tidak!” kepada CGI dan kamuflase layar hijau.
Dalam trilogi Batman-- Batman Begins (2003), The Dark Knight (2008) dan The Dark Knight Rises (2012)-- Chris tak mau Kota Gotham disajikan dari hasil rekayasa komputer dan tipuan kamera. Dia memilih membangun kota kegelapan itu di hangar pesawat Cardington, Inggris, dengan gaya arsitektur yang mencampurkan wajah Kota New York, Chicago dan Tokyo, lengkap dengan aliran sungai dan air terjun buatan. Kendaraan Batmobile (‘Batman Tumbler’) di ketiga film juga bisa dikendarai siapa pun yang bisa mengemudi. Bukan hasil utak-atik CGI.
Dalam Inception (2010) yang menjadi tren baru sinema dalam mengeksplorasi dunia mimpi ( lucid dream), Chris mengharuskan para aktor utama berduel di lorong hotel yang terlihat berputar, sehingga mereka berulangkali terempas di tengah benda-benda yang beterbangan. Kondisi berputar itu bukan trik kamera melainkan adegan nyata tersebab Chris membuat sebuah lorong hotel yang memang berputar 360⁰ seperti kandang hamster, hanya dalam ukuran masif.
Pada Interstellar (2014), sebuah fiksi ilmiah dystopia masa depan, adegan dibuka dengan pemandangan ladang jagung yang luas. Visual ini bukan berasal dari film dokumenter atau CGI, melainkan ladang jagung sungguhan milik Chris dan investor film lainnya. Mereka sengaja membeli lahan seluas 500 aker (2.023.500 meter persegi) di Kanada, menanami dengan benih jagung, menunggu sampai tanaman mencapai usia dan ketinggian yang tepat, sebelum memulai shooting. (Setelah film selesai, ladang jagung dijual kepada pihak ketiga dan menghasilkan keuntungan tersendiri bagi Chris Nolan dan mitra investor). Tak ada CGI dan layar hijau yang digunakan, bahkan ketika badai abu menyerang kota terdekat ladang jagung. Badai dibuat secara manual dengan kipas angin raksasa untuk menerbangkan bertruk-truk abu.
Pada Oppenheimer yang merupakan biopic kisah Bapak Bom Atom J. Robert Oppenheimer (1904-1967), Chris masih melanjutkan keengganan terhadap segala bentuk manipulasi CGI dan rekayasa layar hijau.
Meski akan jauh lebih aman bagi para pemain dan kru film untuk menggunakan CGI dalam membuat adegan ujicoba ledakan pertama kali bom atom di New Mexico dalam Trinity Test yang historis itu, faktanya Chris bergeming untuk tetap menggunakan gaya sinematiknya tanpa kompromi: ledakan harus dibuat serealistis mungkin! Meski, tentu saja, tanpa fisi nuklir. Maka dibuatlah bom khusus dari campuran materi gas, propana, bubuk alumunium, dan bubuk magnesium yang menghasilkan efek kemilau ledakan.
Mengenang shooting adegan itu, aktor Cillian Murphy yang memerankan Oppenheimer mengatakan, “Pada hari itu kami berada di lokasi tanpa banyak bicara. Kami menunggu bagaimana proses shooting dengan tegang,” katanya. Sementara aktor Matt Damon yang memerankan Jenderal Leslie Groves Jr. menyebutkan, “Itu adalah momen NAR bagi kami. No Acting Required. Saat akting tak dibutuhkan.”
2/
Pendekatan yang dilakukan Tom Cruise dan Chris Nolan dalam membesut film-film mereka dikenali dunia sinema sebagai Practical Effect (PE) sebagai lawan dari Special Effect (SE). PE adalah adegan yang direkam kamera apa adanya, namun membutuhkan perhitungan njlelimet yang melibatkan pengetahuan tingkat tinggi matematika, fisika, kimia, dan ilmu lingkungan, dalam persiapannya. Sedikit saja terjadi kesalahan perhitungan, nyawa sang aktor yang melakukan adegan berbahaya bisa tewas seketika, atau cacat seumur hidup.
PE tak bisa dilakukan dengan modal nekat. Sebaliknya harus dilakukan dengan sangat, sangat cermat. Hasilnya, adegan-adegan PE lebih meyakinkan penonton ketimbang adegan hasil SE, yang betapapun canggihnya terlihat namun terasa kurang berjiwa.
“PE membuat penonton bisa menjalani pengalaman seakan-akan berada dalam tekstur lingkungan yang sesungguhnya,” ujar Christopher Nolan yang dijuluki ‘ Emotional Mathematician’ oleh kolega sesama sutradara Guillermo Del Toro. Adapun Profesor Sastra Inggris, Robbie B.H. Goh, menyematkan sebutan “The Philosopher Filmmaker” bagi Chris Nolan yang sebelum menggumuli dunia sutradara pernah mendalami Sastra Inggris sebagai mahasiswa UCL, London.
Sementara Steven Spielberg menjura Tom Cruise sebagai, “sineas yang menyelamatkan Hollywood.” Dalam pandangan Spielberg, keengganan Tom mengandalkan CGI dan layar hijau membuat publik kembali berbondong-bondong memenuhi bioskop di seantero AS.
Dalam konteks inilah #missionheimer menemukan konteksnya sebagai arus kembalinya sinema untuk bertumpu pada adegan-adegan nyata, bukan pada pulasan kosmetika komputer dan ilusi kamera yang kian dominan belakangan.
Tak bisa ditampik, Tom Cruise dan Christopher Nolan adalah dua gerbong utama PE yang mau bersusah payah menyiapkan diri dan seluruh kru dalam menetapkan standar super tinggi untuk menghasilkan adegan demi adegan ' what you see is what you get’ bagi penonton.
Di luar konteks sinematik, Tom dan Chris seakan berpesan kepada warga dunia agar jangan terjerumus dalam keterpukauan terhadap CGI dan segala bentuk kecerdasan buatan (AI) yang mampu memanipulasi penginderaan, namun menumpulkan ketajaman proses penciptaan yang sebenarnya masih bisa dicapai manusia tanpa campur tangan teknologi secara berlebihan.
Cibubur, 24 Juli 2023
Editor: Ariful Hakim