Ceknricek.com -- Wartawati senior, Dian Islamiati Fatwa, kembali terinfeksi Covid-19. Bagaimana ceritanya? Berikut penuturan Dian, yang ditulisnya sendiri di laman sosial medianya:
Kemarin sore, saturasi oksigen turun menjadi 92. Saya mulai panik, padahal sudah bernafas menggunakan selang oksigen.
Namun sore ini, saturasi justru semakin mlorot menjadi 86. Selang oksigen tidak bisa saya lepas. Begitu lepas, langsung badai batuk datang tak berhenti.
Sampai-sampai saya menahan tidak ke toilet karena harus melepas selang oksigen. Horor je. Langsung badai batuk menyerang. It really struggles gasping for air.
Setiap hela nafas, rasanya begitu berarti. Membangun kekuatan dalam tubuh, dalam darah, tulang-tulang pun rasanya kembali bisa bersatu, bertenaga untuk tegak bila mendapat kekuatan tambahan oksigen.
'Dokter apakah saya masih bisa hidup?' tanya saya kepada spesialis Paru, dokter Heidi.
Ia menatap saya agak lama.
'Maksudnya?'
'Apakah saya bisa sembuh dan tetap bisa hidup?' saya ulang pertanyaan saya.
'Sembuh bu!', langsung mata dokter Heidi mlerok. Ia menyakinkan bahwa saya in good hands.
Dokter Heidi menambahkan dosis suntikan infus Dexametaxon, steroid untuk peradangan, karena inflamationnya masih tambeng, stubborn bersama virus covid meluaskan wilayah jajahannya di paru-paru saya.
Antibiotik diganti dengan yang lebih keras. Juga dosis Paracetamol tidak lagi oral tapi infus agar obat cepat merasuk. Saya tidak lagi menggigil dan suhu tubuh sudah turun ke normal.
Namun selalu ada drama dalam setiap peristiwa. I take it for granted tinggal di RS Siloam. Para perawat punya standard yang cukup tinggi mengingat pengalaman pernah di rawat di sini.
Vena saluran infus sudah mulai bengkak dan sakit bila disuntikkan Dexa, vitamin C dan lain-lain. Gak kuat, saya minta dicabut dan dicari vena tempat lain.
Rupanya sang suster tidak piawai memasang jarum infus. Apalagi vena saya cukup halus, ambil darah harus pakai jarum 'bayi'.
6 kali ditusuk, venanya belum nemu. Padahal saya sudah teriak-teriak menahan sakit. Bukan saja sakit ditusuk tapi juga sakit tidak tahan menggigil.
Beruntung manajemen rumah-sakit menerima masukan saya dan dengan cepat memperbaikinya. Tapi tanganku sudah kadung bengkak-bengkak.
Sekarang feeding oksigen ditingkatkan menjadi 3L/jam. Tanpa oksigen saturasi akan terus menurun.
Klik video untuk tahu lebih banyak - SOSIALISASI 3M DARI SURYOPRATOMO
Meski begitu, saya masih kesulitan bangun dengan cepat. Batuk langsung menyerang ketika tubuh berupaya duduk, apalagi kemudian berdiri. Si 'batuk' seperti dapat pompaan adrenalin untuk menghajar.
Sering juga saya lupa, tangan tersambung dengan selang infus dan hidung tersambung selang oksigen. Ketika berdiri dan melangkah, tubuh saya terlilit dua selang, seperti lepet yang dilipat-lipat tali. Sengsara dah!
Spesilis penyakit dalam, dokter alvin, yang datang tak lama kemudian membesarkan hati saya agar tetap optimis. Duh gimana ciut hati, semakin hari saturasi oksigen menurun perlahan.
'Ibu kami awasi 24 jam. Segera tekan bel, bila batuk, sesak datang atau butuh yang lainnya. Semua perubahan akan kami catat dan kita evaluasi obat yang tepat.'
Percakapan singkat ini benar-benar membangun sedikit harapan meskipun paru-paru saya masih kewer-kewer.
Seringkali saya takjub setiap menatap para petugas medis.
Setiap orang berupaya menjaga jarak menghindar kemungkinan terpapar droplet virus namun mereka justru mendekati pasien Covid-19 agar bisa merawat kami.
Besar nian pengorbanan mereka. Setiap langkah mendekati saya adalah sebuah resiko tertular, bisa bertahan hidup dan tentu bisa meninggal bila Tuhan telah menentukan.
Para perawat di RS Siloam ini masih muda-muda. Tentu masih bersemangat tinggi, heroik dan penuh idealisme.
'Saya juga penyintas,' kata suster Dinda asal Lampung yang bersekolah perawat di Kediri, Jawa Timur.
'Hampir sebagian besar perawat yg disini adalah penyintas. Apalagi yang kerja di ICU dan HCU. Karena mereka 24 jam nongkrong di kaki pasien,' ungkap Dinda dengan santai tanpa beban.
Indeed, they are facing a decent chance of getting covid themself.
Mereka memang langsung dirawat dan mendapat ruang khusus. Dirawat oleh kawan-kawan dan kolega mereka sendiri. Karena toh memang mereka tinggal di lantai 3 yang menjadi asrama. Tempat tersebut disediakan khusus bagi perawat sehingga mereka tidak perlu commuting ke rumah yg tentu berisiko menularkan kepada yang lain.
Lagi-lagi saya larut dalam moral dilemma.
Is it morally right to delegate covid risks to others? There are harms that may be more difficult to predict.
Setiap pagi saat membuka tabir jendela, dari kamar saya melihat ojek online bersliweran mengantar kebutuhan pasien. Mereka juga berisiko terpapar.
Saya berasumsi, kita dengan mudah membuat keputusan 'gojekin saja' dalam urusan logistik prentil-prentil. Easy, problem solved!
Dengan kemampuan ekonomi yg lebih baik dan high-skills job/salary, kita merasa punya 'hak' memberikan resiko kepada orang lain.
Sejatinya, in real life, moral-decision is always never straightforward, complicated and messy.
Keputusan yang kita buat, in response to the pandemic, justru memunculkan banyak pertanyaan daripada jawaban.
Let's broaden our conversation as a society and we must engage with it. Tidak fair juga meng-outsource-kan moral dilemma ini kepada orang lain atau pemerintah semata.
Tapi tentu, at some point, pemegang keputusan punya 'duty-of-care' melindungi rakyatnya dari serangan pandemi. Tanggung-jawab itu melekat wal-dunyah wal-akhirat. Di dunia dan di akhirat.
Pada akhirnya setiap dari kita, anda dan saya, punya tanggung-jawab juga terhadap setiap keputusan moral yang tentu akan kita bawa di hadapan Tuhan.
Bila mau jujur merenung, you'd discover how powerful you're when you take responsibility for your life.