Ceknricek.com -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru saja merampungkan Musyawarah Nasional ke-10 yang diselenggarakan secara daring dan luring.
Munas X MUI yang digelar sejak tanggal 25 November itu menghasilkan lima fatwa. Dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Jumat, (27/11/20) Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam Sholeh memaparkan lima fatwa MUI tersebut.
“Pertama fatwa tentang pemakaian masker bagi orang yang sedang ihram,” ujarnya.
Niam melanjutkan, fatwa tersebut terdapat empat ketentuan hukum yakni memakai masker bagi perempuan yang sedang ihram haji atau umrah hukumnya haram karena termasung pelanggaran terhadap larangan ihram atau mahdzurat al-ihram.
Sedangkan bagi laki-laki memakai masker saat berihram haji atau umrah hukumnya boleh (mubah). Ketentuan kedua, dalam keadaan darurat atau kebutuhan mendesak (al-hajah al-syar’iyah) memakai masker bagi perempuan yang sedang ihram haji atau umrah hukumnya boleh (mubah).
“Dalam hal seorang perempuan yang memakai masker pada kondisi sebagaimana pada ketentuan kedua, terdapat perbedaan pendapat yakni satu wajib membayar fidyah dan kedua tidak wajib membayar fidyah,” terang juru bicara Komisi Fatwa ini.
Klik video untuk tahu lebih banyak - SOSIALISASI 3M DARI TANTOWI YAHYA
Ketentuan keempat yakni keadaan darurat atau kebutuhan mendesak sebagaimana dimaksud pada ketentuan kedua antara lain adanya penularan penyakit yang berbahaya, cuaca ekstrem atau buruk, ancaman kesehatan yang apabila tidak memakai masker dapat memperburuk kondisi kesehatan.
Asrorun Niam Sholeh melanjutkan fatwa kedua yakni tentang pembayaran setoran awal haji dengan utang dan pembiayaan yang memiliki tiga ketentuan hukum.
“Pertama, pembayaran setoran awal haji dengan uang hasil utang hukumnya boleh (mubah) dengan syarat bukan utang ribawi dan orang yang berutang mempunyai kemampuan melunasi utang antara lain dibuktikan dengan kepemilikan aset yang cukup,” jelasnya.
Kedua, pembayaran setoran awal haji dengan uang hasil pembiayaan dari lembaga keuangan hukumnya boleh dengan beberapa syarat yakni menggunakan akad syariah, tidak dilakukan di lembaga keuangan konvensional dan nasabah mampu melunasi dengan dibuktikan kepemilikan aset yang cukup.
“Pembayaran setoran awal haji dengan dana utang dan pembiayaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ketentuan satu dan dua adalah haram,” ucap Niam.
Fatwa berikutnya terkait penundaan pendaftaran haji bagi yang sudah mampu. Dalam fatwa ini juga terdapat beberapa hukum.
Pertama, ibadah haji merupakan kewajiban ‘ala al-tarakhi bagi orang Muslim yang sudah istitha’ah namun demikian disunahkan baginya untuk menyegerakan ibadah haji.
Kedua, kewajiban haji bagi orang yang mampu (istitha’ah) menjadi wajib ‘ala al-faur jika sudah berusia 60 tahun ke atas, khawatir berkurang atau habisnya biaya pelaksanaan haji atau qadha atas haji yang batal.
“Ketiga mendaftar haji bagi orang yang memenuhi kriteria pada poin kedua hukumnya wajib,” katanya.
Selanjutnya, menunda-nunda pendaftaran haji bagi orang yang memenuhi kriteria pada poin kedua hukumnya haram. Orang yang sudah istitha’ah tetap tidak melaksanakan haji sampai wafat wajib dibadalhajikan.
Niam menerangkan ketentuan keenam, orang yang sudah istitha’ah dan telah mendaftar haji tetap wafat sebelum melaksanakan haji, sudah mendapatkan pahala haji dan wajib dibadalhajikan.
Asrorun Niam menyatakan dua fatwa lain yang dikeluarkan MUI yaitu tentang pendaftaran haji usia dini dan fatwa penggunaan diploid cell untuk produksi obat dan vaksin.
Terkait vaksin, MUI tetap berpatokan padahal standar kehalalan namun dalam kondisi darurat, pihaknya merekomendasikan umat Muslim untuk tetap menerima vaksin termasuk vaksin COVID-19.
Baca juga: Fatwa Vaksin COVID-19 Akan Dibahas Dalam Munas MUI ke-10
Baca juga: MUI: Kerja Keras 10 Bulan Tangani COVID-19 Hancur oleh Kerumunan Massa