Ceknricek.com -- Pada abad ke-18, Batavia mengalami epidemi malaria yang mengerikan bagi warga kotanya. Kondisi tersebut membuat banyak penduduk meregang nyawa.
Tempat pemakaman di samping Gereja Baru (Nieuwe Hollandse Kerk, sekarang Museum Wayang) bahkan tidak mampu menampung banyaknya warga yang meninggal karena dianggap sudah terlalu padat.

Museum Taman Prasasti. Sumber: Pesona Indonesia
Pemerintah Batavia kemudian membuka lahan pemakaman baru di wilayah Selatan Batavia, agak jauh keluar kota dan jauh dari kepadatan penduduk, dipilihlah daerah Tanah Abang.
Gayung pun bersambut. Saat itu WV Halventius, putra Gubernur Jendral ke-29 Jeremias Van Rimsdijk, tengah berkuasa di Batavia (1775-1777). Ia mendonasikan tanah di sekitar areal Tanah Abang kepada Pemerintah Kota Batavia sebagai taman pemakaman baru.
Dua tahun berlalu, sejarah terlipat, Belanda kocar-kacir dihantam Jepang pada tahun 1942. Jepang dilindas sekutu pada perang dunia ke-2, dan Indonesia pun memproklamirkan kemerdekaan pada 1945. Pasca kemerdekaan, lebih dari tiga puluh tahun kemudian kompleks pemakaman yang dihibahkan WV Halventius kembali penuh.
Pada tahun 1975, kawasan itu ditutup sebagai area pemakaman dengan alasan yang sama. Dan 2 tahun berselang, tepat pada tanggal hari ini, 9 Juli 1977, kawasan pemakaman itu dijadikan sebagai Museum Taman Prasasti dan diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin.
42 Tahun Museum Prasasti
Sebagai salah satu sarana edukasi bagi masyarakat, Museum Taman Prasasti menurut Nirwono Jogo (2005) bukan tidak mungkin taman pemakaman ini merupakan salah satu pemakaman yang tertua di dunia.
Bahkan menurutnya mungkin lebih tua ketimbang pemakaman Fort Canning Park (1926) di Singapura, Gore Hill Cemetery (1868) di Sydney, La Chaise Cemetery (1803) di Paris, Mount Auburn Cemetery (1831) di Cambridge, Massachusetts, dan Arlington National Cementery (1864) di Washington DC.
Di balik suasana sunyi dan teduh pepohonan yang tumbuh di dalamnya, museum ini menyimpan begitu banyak kisah kematian para tokoh penting dari berbagai periode sejarah yang berbeda.

Museum Prasasti. Sumber: Travelling
Makam yang pada masanya resmi digunakan pada 28 September 1795, tanah hibah yang menjadi taman pemakaman itu sempat mengalami bermacam perubahan nama. Pada zaman Hindia-Belanda ia disebut ‘Kerkhof Laan’ yang berasal dari kata ‘kerk’ yang artinya ‘gereja’, ‘hof’ artinya ‘kuburan’, dan ‘laan’ artinya ‘halaman’.
Setelah Indonesia merdeka berganti nama ‘Kebun Jahe Kober’, hingga pada waktunya berubah nama menjadi Museum Taman Prasasti. Orang Betawi menyebutnya sebagai ‘kuburan orang Belanda’. Sesuai dengan namanya Graf der Hollanders yang berarti permakaman Belanda. Kerkhoff Laan nama Jl Tanah Abang I dewasa ini artinya adalah ‘jalan kuburan’.
Pada sekitar abad ke-17 sampai akhir abad ke-18 di Indonesia, gereja tampaknya bukan saja menjadi tempat peribadatan, tapi juga lazim menjadi tempat pemakaman. Fenomena ini jelas bukan fenomena partikular dan khas dari praktik Kristen-Eropa di Indonesia, tetapi sebenarnya secara umum juga terjadi di dunia Kristen saat itu.
Konon, fenomena yang lazim terjadi sejak memasuki abad pertengahan ini mulai berakhir setelah pecahnya revolusi Perancis di 1789. Jauh sebelum pemakaman batu ini dipakai, pemakaman yang berada di Kota Tua pun juga berada di samping Gereja.
Dari berbagai sumber disebutkan, lokasi Kerkhof Laan yang pada waktu itu cukup jauh dari tembok kota Batavia (omelanden), yang posisinya ketika itu berada di Kota Tua sekarang. Jika orang Batavia meninggal, maka usungan jenazah dibawa menggunakan perahu atau sampan menyusuri kanal-kanal kota hingga masuk ke Sungai Krukut, yang letaknya sekarang berada di Jl Abdul Muis.
Artefak dan Pemakaman
Sebagaimana kematian perlu dirayakan dengan enkripsi, artefak atau hal lain yang dapat menandai jejak kehidupan seseorang. Di Museum Taman Prasasti pun terdapat kurang lebih 1.409 koleksi yang terdiri dari prasasti, bentuk nisan, tugu, monumen, piala, lempeng batu persegi, replika, miniatur, dan berbagai bentuk lainnya sebagai penanda hal tersebut.
Dari jejak-jejak tanda yang teroatri di atas batu atau lain halnya itulah kita akan mendapati nama dan tokoh-tokoh besar yang pernah dimakamkan di sana. Ada tokoh pendidikan, seniman, ilmuwan, rohaniawan, dan mereka yang dianggap pejuang masa itu, yang tentu saja (sebagian besar) berdasarkan penilaian pihak kolonial.
Nama-nama tersebut seperti Mayor Jenderal JHR Kohler bekas Panglima Belanda pada Perang Aceh pada 14 April 1873. Ada juga tokoh pendidikan, Dr HF Roll, yang meninggal di Batavia, 20 September 1935. Dia adalah pencetus gagasan dan pendiri Sekolah Kedokteran Jawa (STOVIA) yang kelak melahirkan Budi Utomo pada 20 Mei 1908.
Di sana juga bersemayam sosok Olivia Marianne Raffles. Dari nama belakangannya ada sosok masyur Thomas Stamford Raffles. Selain menulis karya klasik The History of Java, Raffles pernah menjabat Gubernur Jenderal di Hindia Belanda pada 1811-1816 ketika Kerajaan Inggris mengambil alihnya dari Kerajaan Belanda, sekaligus pendiri negara Singapura, yang namanya pun melekat pada spesies bunga bangkai, Rafflesia Arnoldii.

Nisan Soe Hok Gie. Sumber: foto_ Mondasiregar
Sedangkan di antara nama-nama orang Indonesia yang turut dikebumikan di sana adalah aktris tahun 1930-an, Miss Riboet atau sohor dengan panggilan Miss Tjitjih, selain itu juga seorang aktivis pergerakan mahasiswa generasi 1960-an yang terkenal super idealis yang bernama Soe Hok Gie.