Nikmatnya Dana Kemanusiaan | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
sumber: Istimewa

Nikmatnya Dana Kemanusiaan

Ceknricek.com--Aksi menggalang, mendistribusikan, hingga menyelenggarakan bantuan kemanusiaan, umumnya dilatar-belakangi niat menolong. Simpati dan keprihatinan tersebut kemudian dipermaklumkan kepada lainnya. Mereka yang sependapat lalu tergerak berpartisipsi hingga mengambil bagian dalam suatu upaya bersama.

Tapi di sana ada yang disebut mens rea. Sikap batin seseorang saat melakukan suatu perbuatan. Tujuan sejati di balik gagasan menggalang, mendistribusikan, dan menyelenggarakan bantuan atau pertolongan tadi. 

Mereka yang tergerak mengambil bagian dan turut serta berpartisipasi, tentu menelisik  dan berupaya memahami hal tersebut. Paling tidak dari segala informasi dan pengetahuan yang tersedia hingga merasa nyaman untuk melakukannya.

Sikap batin seseorang tentulah bermacam-macam. Tak selamanya didasari keprihatinan yang tulus dan sepenuh hati untuk menolong. Kadang ada juga yang dilatar-belakangi niat busuk, licik, dan penuh keculasan. Semata hanya ingin memetik manfaat bagi kepentingan sempit dirinya sendiri.

Dari sanalah kemungkinan masalah perdata maupun pidana perbuatannya muncul. Disebut perdata ketika semata berurusan dengan pengingkaran hingga penyelewengan hak individual. Atau mungkin terkategori pidana ketika berkaitan dengan kepentingan umum dan publik lebih luas.

Agar masalah kecurigaan maupun dugaan keperdataan maupun pidananya bisa diadili, tentu saja memerlukan proses pembuktian yang benar dan patut. Bahwa pelanggaran maupun pengingkaran terhadap hal-hal yang disepakati memang sengaja dilakukan salah satu pihak yang berurusan. Atau terjadi pelanggaran ketentuan hukum pidana jika hal tersebut menyangkut kepentingan umum.

Misalnya saya minta sumbangan untuk membantu korban bencana banjir di suatu daerah terpencil. Anda terenyuh kemudian tergerak berpartisipasi. Lalu uangnya saya gunakan untuk makan-makan bersama sejumlah teman di restoran. Tapi ketika Anda tanya, saya mengatakan sudah membantu korban. Yakni dengan cara 'mendoakan' mereka agar dapat segera melalui musibah yang menimpanya.

Jika demikian, di manakah masalah perdata atau pidana yang saya lakukan?

Secara perdata, sepanjang tak mencederai atau mengingkari hal spesifik yang dijanjikan sehingga dapat Anda tuntut kemudian -- misalnya dengan penyataan akan menyalurkan sumbangan yang terkumpul untuk memenuhi kebutuhan sandang-pangan korban bencana -- kemungkinan saya akan terus berkelit.

Begitu pula ketika berkaitan dengan pidana. Jika saya tak pernah mencederai maupun mengingkari ketentuan hukum yang tersedia demi kepentingan dan ketertiban umum, sepatutnyalah terbebas dari segala tuntutan.

+++

Belakangan ini, ACT (Yayasan Aksi Cepat Tanggap) sedang hangat dibicarakan karena lembaga yang mampu menghimpun ratusan miliar rupiah donasi itu, ditengarai menggunakannya sebagian untuk kesejahteraan pribadi penggagas, pendiri, dan atau pengurusnya.

Persoalan penyelewengan kekayaan dan penyalahgunaan fungsi sosial yayasan, pernah berlangsung marak di era Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto. Maka pasca bergulirnya Gerakan Reformasi yang mengakhiri era tersebut, Indonesia pun melakukan berbagai pembenahan. Salah satunya dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan tentang Yayasan.

Selain untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum, kehadiran UU tersebut -- mula-mula UU No 16 tahun 2001 (era Gus Dur) kemudian direvisi sebagiannya melalui.UU No. 28 tahun 2004 (era Megawati) -- dimaksudkan agar yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya,  berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas kepada masyarakat.

Salah satu hal penting pada UU tersebut yang terkait dengan kehebohan ACT akhir-akhir ini, adalah rumusan tegas ketentuan di sana yang melarang segala bentuk kekayaan Yayasan, dialihkan atau dibagikan kepada Pembina, Pengurus, maupun Pengawasnya. Larangan tersebut diberlakukan terhadap hal yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Termasuk dalam bentuk gaji, upah, honorarium, atau bentuk lain yang  dapat dinilai dengan uang (pasal 5).

Pengecualiannya dapat dilakukan terhadap Pengurus jika memang ditentukan dalam Anggaran Dasarnya. Bahwa Pengurus menerima gaji, upah, atau honorarium. Itupun sepanjang Pengurusnya bukan Pendiri atau pihak-pihak yang terafiliasi dengan Pembina, Pengurus, dan atau Pengawas.

Adalah Ahyudin, Pendiri yang sebelumnya menjadi Ketua Dewan Pembina yang disebut-sebut menerima gaji dan berbagai fasilitas pribadi dari kekayaan Yayasan Aksi Cepat Tanggap tersebut. Hal yang jelas dan tegas bertentangan dengan ketentuan pada UU No. 28 tahun 2004 tentang Yayasan yang dikutip di atas tadi.

Pelanggaran atas ketentuan yang tertuang dalam pasal 5 itu, ditetapkan sebagai tindak pidana dengan ancaman penjara paling lama 5 (lima) tahun dan kewajiban mengembalikan uang, barang, atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan kepadanya.

Persoalannya, mengapa dugaan pelanggaran yang jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan UU Yayasan tersebut, dapat berlangsung bertahun-tahun dan baru terungkap sekarang?

Siapa yang sesungguhnya dimandatkan sekaligus berwenang dan bertanggung jawab, untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan pembinaan agar yayasan-yayasan yang ada mematuhi amanah UU tersebut?

Menurut berita Majalah Tempo pekan ini, Ahyudin sendiri sebetulnya sudah (di)lengser(kan) sejak 11 Januari 2022 lalu. Tapi dia baru mengumumkan pengunduran dirinya melalui akun facebook 'Ahyudin Gmc' pada pertengahan April kemarin. Dia sendiri pula yang datang dan menjelaskan cerita tersebut ke kantor Majalah Tempo pada akhir pekan kemarin, Jumat 1 Juli.

Persoalan ini agaknya mulai terkuak ketika ACT dilanda soal arus kas sehingga perlu menggunting penerimaan karyawannya. Salah seorang menunjukkan slip gaji bulan Oktober lalu sebesar Rp 5,931 juta. Padahal bulan sebelumnya masih menerima Rp 14,1 juta.

Tapi di tengah kondisi penyunatan pendapatan karyawan tersebut, konon muncul surat elektronik yang berisi permintaan pencairan dana sebesar Rp 11,726 miliar. Katanya untuk pembangunan masjid Dermawan dan kawasan pesantren Peradaban tahap II di kampung halaman Ahyudin di Tasikmalaya. Sementara rekening penerima dana tersebut merupakan atas nama Rosman. Adik kandung Ahyudin sendiri.

+++

Saya mendapatkan ringkasan laporan keuangan Yayasan ACT 2020 yang telah diaudit oleh KAP Heliantono dan Rekan / Parker Randall International. Untuk tahun anggaran tersebut, mereka beropini bahwa laporan keuangan ACT disajikan secara wajar (fairly) sesuai dengan standar akuntansi keuangan di Indonesia.

Dugaan penyelewengan atau penyimpangan penggunaan dan distribusi kekayaan Yayasan untuk pihak-pihak yang terlarang menerimanya, seperti yang ditengarai terhadap Ahyudin, ternyata tidak tercermin pada opini akuntan publik yang ditugaskan mengauditnya.

Apakah 'kewajaran' yang dimaksud semata karena bersandar pada standar akuntansi keuangan Indonesia yang umum digunakan, tapi tidak mengindahkan atau menggubris ketentuan yang tercermin pada UU 28/2004?

Jika demikian, ketentuan pemeriksaan oleh Akuntan Publik sebagaimana tertuang pada pasal 53 ayat 3, perlu dilengkapi dengan amanah pemeriksaan kepatuhan  Yayasan terhadap UU yang ada. Sebagaimana lazimnya pemeriksaan yang dilakukan BPK terhadap berbagai instansi pemerintahan hingga saat ini.

+++

Penerimaan dana kemanusiaan ACT tahun 2020 sebesar Rp 373,7 miliar. Lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp 396,8 miliar.

Sementara jumlah yang digunakan untuk membiayai personalia dan keuangan tahun 2020 sebesar Rp 75,7 miliar. Setahun sebelumnya Rp 78,6 miliar. Lalu, penggunaan untuk administrasi dan umum 2020 sebesar Rp 30,1 miliar. Tahun 2019 jumlahnya hanya 28,7 miliar.

Jika untuk membiayai personalia, keuangan, administrasi, dan umum kita gabungkan dengan biaya partnership dan komunikasi, keseluruhannya 2020 berarti Rp 112,8 miliar atau 30% penerimaan dana kemanusiaan. Tahun 2019 sebelumnya, juga sebesar Rp 112,8 miluar. Atau 28,4 persen penerimaannya.

Mardhani, Jilal -- 7 Juli 2022


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait