Ceknricek.com -- Presiden Joko Widodo selalu mendapatkan dalih untuk mencapai keinginannya. Dalilnya sangat relevan dan berdasar pengalaman pribadi. Pada Kamis (28/11) lalu, misalnya. Presiden Jokowi kembali menyinggung keputusan pemerintah memindahkan Ibu kota negara dari DKI Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur.
"Tadi ke sini macet, setengah jam berhenti betul, berhenti, setengah jam berhenti," kata Jokowi pada saat acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2019 dengan tema Sinergi Transformasi Inovasi Menuju Indonesia Maju di Artpreneur Lotte Shopping Avenue, Jakarta Selatan.
Nah, dengan kemacetan yang terjadi di DKI Jakarta, ia menilai menjadi salah satu alasan pemerintah memindahkan Ibu kota negara ke Provinsi Kalimantan Timur. "Ya itulah kenapa Ibu kota dipindah, dan karena alasan yang banyak lainnya," ujarnya.
Sumber: Youtube
Baca Juga: Ibu Kota Baru
Pada tanggal 26 Agustus 2019, Jokowi telah mengumumkan bahwa lokasi ibu kota negara rencananya di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur.
Pengumuman ini disampaikan oleh Jokowi usai menerima dua kajian yaitu soal hasil kajian struktur tanah dan dampak ekonomi dari pembangunan Ibu kota baru. Sebanyak dua kajian itu diberikan oleh Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro pada Jumat tanggal 23 Agustus 2019.
Pelambatan Ekonomi
Persoalannya adalah itu baru kajian Bappenas saja. Kajian lembaga lain nyatanya tidak seperti itu. Institute For Development of Economics and Finance atau INDEF, misalnya, juga telah mengkaji dampak kebijakan pemindahan Ibukota Negara terhadap indikator makro ekonomi pembentuk GDP riil, yaitu konsumsi riil, investasi riil, pengeluaran pemerintah riil, volume ekspor dan volume impor. Hasilnya, tidak sebaik kajian Bappenas.
Berdasarkan kalkulasi INDEF, pemindahan Ibu kota negara ke Kalimantan Timur ternyata berdampak terhadap perlambatan ekonomi hampir di semua provinsi di Indonesia, kecuali provinsi Kalimantan Timur saja.
Sumber: Republika
Selain itu, konsumsi rumah tangga riilnya meningkat sebesar 0.24%, tetapi untuk level nasional justru sebaliknya, mengalami penurunan sebesar 0.04%. Ini menunjukkan bahwa rencana pemindahan tersebut tidak memberikan harapan yang baik untuk mendorong konsumsi rumah tangga secara nasional. Artinya pemindahan Ibu kota negara ke Kalimantan Timur perlu dipertimbangkan lagi apabila pemerintah mau mendorong perbaikan konsumsi rumah tangga dalam pembentukan GDP riil dan GNE riil.
Baca Juga: Ibu Kota Baru di Tanah Prabowo
Selanjutnya, dampaknya terhadap investasi riil juga demikian polanya. Tidak jauh berbeda dengan konsumsi riilnya. Hanya berdampak positif pada provinsi Kalimantan Timur sebesar 0,20%, dan satu provinsi tetangganya, yaitu provinsi Kalimantan Utara sebesar 0,02%. Semua provinsi selain keduanya, sebanyak 32 provinsi investasi riilnya menurun, bernilai negatif, dengan nilai bervariasi dan sangat kecil. Apalagi jika dibandingkan dengan dampaknya terhadap nasional maka ide pemindahan Ibu kota ke Kalimantan Timur bukan ide yang prospektus dalam mendorong GDP riil melalui investasi, karena ternyata tidak memberikan dampak apa-apa, hanya bernilai nol.
Sedangkan untuk indikator pengeluaran pemerintah tentu terkena dampak dengan rencana ini. Pada level nasional akan berdampak meningkatkan pengeluaran pemerintah sebesar 0,34%, dan terhadap Provinsi Kalimantan Timur itu sendiri sebesar 16,12%.
Sumber: Istimewa
Namun demikian, untuk provinsi lainnya indikator ini bernilai nol, tidak berdampak apa-apa. Hal ini menunjukkan bahwa pemindahan Ibu kota meskipun dengan skema non-rightsizing, tetap akan terjadi government expenditure yang signifikan meningkat baik level Kalimantan Timur itu sendiri, maupun nasional.
Dampak lainnya adalah terhadap neraca perdagangan, yakni volume ekspor dan volume impor. Hasil temuan menunjukkan secara signifikan pemindahan Ibu kota negara akan menurunkan volume ekspor pada level nasional sebesar 0,01%.
Baca Juga: Calon Ibu Kota di Lahan Konsesi Sukanto Tanoto
Penurunan ini kontribusi dari menurunnya volume ekspor di level regional, terutama provinsi-provinsi di Pulau Kalimantan secara signifikan. Di antaranya, Kalimantan Timur itu sendiri turun sebesar 0,13%, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah sama turun sebesar 0,01%, dan Kalimantan Utara turun sebesar 0,02% dan Kalimantan Utara turun sebesar 0,04%. Sedangkan provinsi lainnya justru sebaliknya kian meningkat volume ekspornya dengan nilai bervariasi dan sangat kecil, kisaran 0,01 %-0,03%.
Sumber: Detik
Selain volume ekspor yang terdampak, juga terhadap volume impor. Volume impor hampir semua provinsi di Indonesia terdampak turun, kisaran 0,01%-0,05%, kecuali dua provinsi yang ada di pulau Kalimantan, yaitu bernilai positif, artinya meningkatkan volume impor. Seperti Kalimantan Timur sendiri naik sebesar 0,22%, diikuti oleh Kalimantan Utara naik sebesar 0,02%. Namun, pada level nasional volume impor ini turun sebesar 0,01%. Hal ini menunjukkan bahwa neraca pembayaran dari selisih volume ekspor dan volume impor saling meniadakan, tidak memberikan apa-apa terhadap pertumbuhan GDP riil dimana besarannya sama.
Menengok kajian INDEF ini jelas bahwa pindah Ibu kota nyatanya tak cukup hanya dengan dalil macet 30 menit di jalan Jakarta.
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.
Editor: Farid R Iskandar