Ceknricek.com--Presiden Joko Widodo alias Jokowi lagi-lagi bikin “blunder” alias kekeliruan besar. Dan kali ini di luar negeri, setelah sebelumnya juga pernah membuat “blunder” yang cukup merisaukan kalau tidak hendak dikatakan memalukan.
Yaitu ketika menyampaikan sambutan dalam rangka hari ulang tahun Pancasila di Blitar, yang juga, apa boleh buat, dihadiri salah seorang putri Presiden Soekarno, mantan Presiden Megawati. Waktu itu, dengan wajah penuh rasa haru Presiden Joko Widodo, membacakan bagian pidato yang
berbunyi:
“Setiap kali saya berada di Blitar, kota kelahiran Proklamator kita, Bapak Bangsa kita, penggali Pancasila, Bung Karno, hati saya selalu bergetar.”
Pada hal ketika masih di sekolah kita membaca tentang riwayat hidup Bung Karno, yang diketahui lahir di Surabaya, dan diberi nama Koesno.
Orang juga mengetahui bahwa umumnya pidato seorang kepala negara disusun atau ditulis oleh sebuah tim khusus yang tugasnya memang menyusun pidato sang Kepala Negara/Presiden.
Namun tanggungjawab atas isi pidato tersebut sepenuhnya berada di tangan yang membacakannya di depan umum. Kalau yang membacakannya kemudian karena rasa malu atau telah dipermalukan oleh tim penyusun pidatonya, maka silahkan saja untuk menegur atau bahkan memecat penulis pidato tersebut.
Namun tanggung jawab utama tetap atas nama orang yang dari mulutnya terlontar kata-kata:”Setiap kali saya berada di Blitar, kota kelahiran Proklamator kita, Bapak Bangsa kita, penggali Pancasila, Bung Karno, hati saya selalu bergetar.”
Apa lagi ketika kata-kata tersebut diucapkan dengan rasa penuh haru, emosi!
Tetapi mungkin saja sekolah tempat seorang Joko Widodo ketika masih kecil menuntut ilmu telah mengajarkan materi yang salah tentang riwayat hidup presiden pertama Republik Indonesia tersebut. Mungkin.
Ternyata itu bukan kali itu saja Presiden Joko Widodo mengucapkan pidato yang salah fakta! Ketika baru-baru ini menyampaikan sambutan di depan forum internasional, tepatnya di Hannover, Jerman, Presiden Joko Widodo kembali bikin para pendengarnya terperanjat. Sekaligus mungkin juga terkagum-kagum dan merasa lega.
Kenapa?
Presiden Joko Widodo, begitu dilaporkan, dalam pidatonya waktu itu mengatakan: “seluruh PLTU akan ditutup pada 2025” pada hal seharusnya 2050. Kalau tadi dikatakan dapat membuat yang mendengarnya “terperanjat dan terkagum-kagum” maka itu dikarenakan umumnya negara-negara yang sudah mencanangkan batas waktu tertentu untuk mengakhiri penggunaan bahan bakar yang mengakibatkan banyak polusi, mematok batas waktu yang masih sangat jauh ke depan. Australia misalnya mematok tahun 2035 – itu pun untuk hanya 85%, belum 100% - untuk menghentikan penggunaan bahan bakar tidak terbarukan.
Bisa saja negara-negara lain menyangka bahwa karena Indonesia punya pawang hujan, maka Indonesia juga akan mampu mengurus masalah polusi dengan menggunakan pawang anti polusi.
Apa pun, Presiden Joko Widodo tidak bisa mengelak dari tudingan bahwa beliau telah ceroboh, dan tidak membaca atau mengkaji terlebih dahulu pidato yang telah disusun untuk disampaikannya, atau melatih diri, misalnya di depan kaca, membaca pidato tersebut, sebagaimana yang biasanya dilakukan banyak pemimpin negara-negara lain.
Pidato seorang presiden itu membawa nama dan harkat nusa dan bangsanya. Misal saja pidato pelantikan Presiden Amerika Serikat John Fitzgerald Kennedy. Meski semua orang tahu bahwa pidato tersebut bukanlah hasil “karya” sang presiden, namun ketika ia yang meyampaikannya maka itu dianggap resmi adalah murni buah pikirannya, murni kebijakan resmi negara dan negeri yang dipimpinnya. Karena segala yang keluar dari mulutnya adalah ucapan dan ungkapannya.
Mengingat isi pidato tersebut mendapat acungan jempol yang luar biasa, ada baiknya kalau kita ingat kembali.
Pidato yang disampaikan dalam musim dingin tanggal 20 Januari 1961 oleh orang Katolik pertama yang berhasil memenangi pemilihan presiden di negara adikuasa itu pada hakikatnya murni adalah hasil susunan pembantu Presiden Kennedy bernama Theodore (Ted) Sorensen yang dikatakan telah merembukkannya dengan sang presiden sebelum dia mulai menyusunnya dan setelah selesai kemudian ditelaah kembali oleh sang presiden, sebelum akhirnya disetujui sebagai naskah yang lengkap untuk disampaikan bukan saja kepada bangsa Amerika melainkan juga kepada umat manusia.
Pidato pelantikan Presiden Kennedy itu dinilai “tak terlupakan” karena, antara lain, untuk pertama kali seorang presiden Amerika menggunakan ungkapan “saudara-saudara sesama warga Amerika” (my fellow citizens). Ungkapan itu pertama kali digunakan oleh Presiden pertama Amerika George Washington, namun kemudian dijauhi para presiden lainnya sebelum Kennedy karena dianggap bersifat terlalu informal.
Yang suka dikenang sampai sekarang adalah bagian akhir dari pidato pelantikannya itu, ketika Presiden John Fitzgerald Kennedy mengatakan:“Karenanya, saudara-saudara sebangsa dan setanah air, jangan tanya apa yang dapat dilakukan negara/negeri ini untuk kamu, tapi apa yang dapat engkau lakukan untuk negara/negeri ini.”
Pidato ini masuk dalam kumpulan “Pidato-pidato Yang Mengubah Dunia” yang terbit dalam sebuah buku berjudul sama. Sayang di antara pidato-pidato tersebut, tidak ada satupun pidato yang pernah diucapkan oleh seorang tokoh dari Indonesia. Apa boleh buat.
Editor: Ariful Hakim