Ceknricek.com -- Pandemi COVID-19 membuka mata sejumlah pihak untuk kembali berpikir ulang tentang orientasi dan tujuan pembangunan ekonomi. Khususnya ekonomi yang berbasis lingkungan.
Menurut Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Kiki Taufik, pada masa pandemi COVID-19 saat ini menjadi momen yang tepat bagi semua pemangku kepentingan untuk menjalankan pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang ramah lingkungan. Hal ini disampaikan Kiki dalam diskusi daring Forum Editorial the Society of Indonesian Enviromental Journalists (SIEJ) di Jakarta, Sabtu, (3/10/20).
“Pemulihan ekonomi nasional diperuntukkan untuk jangka pendek. Tapi bisa jadi pondasi pembangunan rendah karbon,” papar Kiki.
Kiki mengungkapkan, Indonesia perlu melakukan Restart ekonomi, dalam artian harus dimaknai reorientasi pembangunan yang memiliki koneksi antara lingkungan, manusia dan ekonomi. PEN mengatasi persoalan-persoalan jangka pendek tetapi juga dapat menjadi fondasi atau awal perubahan kebijakan jangka menengah dan panjang.
“Bad times lead to good policies,” cetus Kiki yang membahasakan masa yang buruk seharusnya dapat mengarahkan pada kebijakan yang baik.
Sektor kehutanan menjadi penyumbang emisi terbesar, yakni 47,8 persen, disusul sektor energi mencapai 34,9 persen di 2010. Ia mengatakan diperkirakan sector energi akan menjadi penyumbang emisi terbesar di 2030. Karenannya, ia mengatakan PEN prolingkungan harus menjadi fondasi awal
pembangunan ekonomi yang rendah emisi, di antaranya dengan kebijakan yang tepat di sektor kehutanan dan energi.
Indonesia, menurut dia, memiliki potensi energi baru terbarukan (EBT) yang melimpah. Karena kergantungan yang lama terhadap batu bara, sekitar 54 persen energi listrik Indonesia berasal dari batu bara, maka pemanfaatan energi terbarukan masih sangat rendah.
Data Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2019, Indonesia memiliki potensi EBT dari surya sebesar 207,9 Gigawatt (GW), sementara pemanfaatannya baru mencapai 0,9 GW. Untuk energi bayu atau angin, Indonesia memiliki potensi sebesar 60,6 GW, namun pemanfaatannya baru mencapai 0,076 GW.
Sementara itu pada kesempatan yang sama, Senior Manager Forest and Commodities WRI Indonesia Andhika Putradhinata sebagaimana dilansir Antara menyatakan grafik konsentrasi karbon dioksida (CO2) global dan anomaly temperatur mengalami peningkatan setiap tahunnya sejak 1958. Dan hutan akan selalu menjadi isu yang dikedepankan mengingat kerusakannya menyebabkan emisi yang besar.
“Tapi industri enggak paham kenapa sih hutan enggak boleh ditebang. Mereka enggak paham kalau hutan yang masih pristine itu menyimpan karbon sangat besar. Tidak hanya dari tegakannya saja, tapi dalam tanah di bawah tegakan itu juga menyimpan karbon sangat besar,” kata Andhika.
Berdasarkan data Indonesia Climate Watch tahun 2016, sektor kehutanan dan tata guna lahan menyumbang emisi terbesar mencapai 1,36 gigaton karbon dioksida ekuivalen (GtCO2e), sedangkan energi menyumbang emisi sebesar 512 megaton karbon dioksida ekuivalen (MtCO2e).
Baca juga: Prof Didik: Kasih Hukuman Pelanggar Protokol