Ceknricek.com--Suatu ketika saya terlibat obrolan kecil dengan Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla atau biasa disapa Pak JK di sela-sela sebuah acara. Pada waktu itu Pak JK mau mengakhiri masa jabatan sebagai Wapres dengan Jokowi periode pertama. Dan pernah ada wacana menjadikan Pak JK sebagai Wapres lagi. Tentu saja harus melakukan Judicial Review karena sudah dua kali. “Man, apa pemerintahan Jokowi berhasil?” Pak JK bertanya pada saya dengan panggilan akhir nama saya “Man” dari Nurjaman.
“Tidak Pak,”jawab saya singkat dan setengah berseloroh.
Pak JK menyusul cepat dengan nada agak naik,”Mengapa Man? Kita kan sudah kerja keras.”
“Kerja kerasnya salah kali Pak,” kata saya sekenanya.
Tentu saja Pak JK tambah penasaran.Saya katakan ke Pak JK kalau masalah keberhasilan ekonomi dan lain lain itu debatable. Tetapi yang paling dirasakan sebagai kegagalan adalah keterbelahan bangsa ini. Benang merah pendukung Jokowi di kampanye dengan pendukung Prabowo masih terbentang sampai sekarang. Penyebabnya cuma satu “relawan”.
“Ada apa dengan relawan Man.“ Pak JK menyusul dengan antusias.
“Kelemahan Pemerintahan Jokowi itu memelihara relawan bahkan dilembagakan,” saya mencoba menjelaskan.
Saya sampaikan ke Pak JK bahwa keberadaan relawan ini menjadi bibit keterbelahan bangsa ini. Relawan Jokowi menjadi kelompok yang mempertahankan pertikaian mulai masa Pemilu Presiden 2014. Dan mereka memang sangat berkepentingan dengan keterbelahan bangsa ini. Karena disinilah ruhnya relawan. Mereka merasa sebagai pemegang saham utama pemerintahan Jokowi. Mereka merasa yang paling berhak untuk menikmati atau menguasai hasil pemerintahan Jokowi. Para mantan pendukung lawan Jokowi di pilpres tidak boleh mendekat ke pemerintahan.
Ketika dalam proses pemilu tujuan Jokowi dengan relawannya sama. Yaitu menjadikan Jokowi jadi presiden. Tetapi ketika Jokowi sudah jadi presiden tujuannya jadi berbeda. Jokowi menjadi presiden Republik Indonesia. Presiden seluruh rakyat bangsa ini, tak terkecuali mantan pendukung lawannya ketika pemilihan, menjadi tanggung jawabnya. Presiden harus memastikan bahwa beliau bersikap adil kepada siapapun. Tanpa kecuali.
Tapi tujuan relawan Jokowi berbeda. Mereka menganggap Jokowi Presiden Republik Relawan. Mereka menjaga benar agar para mantan lawan kampanyenya tidak ikut manisnya kekuasaan. Mereka tetap bergaya seperti masa pilpres. Lawan ketika pemilu tetaplah lawan. Mereka tidak boleh mendekat ke kekuasaan Jokowi. Mereka terus mempertahankan label relawan lawannya sebagai penanda permusuhannya. Maka istilah “cebong” dan “kampret” terus bergema sampai sekarang.
Pokoknya nyaris semua yang berkaitan dengan rekrutmen jabatan kekuasaan pasti pertimbangan utamanya relawan atau bukan. Sering merit system dikesampingkan, karena relawan, dalam proses penentuan orang yang akan ikut menempati di berbagai jabatan politik dan strategis. Bahkan para relawan pun sepertinya sudah tidak layak lagi disebut relawan karena mereka sepertinya menagih jasa ke Presiden Jokowi. Ini kejadian terakhir, paling mengemuka, ketika seorang pimpinan relawan mengancam akan membubarkan diri karena tidak diberi jabatan. Akhirnya keinginan ketua relawan itu dikabulkan.
Saya ingat betul ketika zaman sebelum Jokowi. Ketika ada rekrutmen jabatan penting dan strategis maka tim seleksinya para ahli dari berbagai perguruan tinggi. Sehingga orang yang dihasilkan benar-benar memenuhi kebutuhan jabatan itu dengan tingkat kompetensi dan independensi yang sangat tinggi. Tidak masalah kalau mantan relawan ikut dalam seleksi ini.
Karena mendapat perhatian dari Jokowi para relawan pun semakin solid. Bahkan ada kongres relawan segala yang dihadiri oleh Presiden Jokowi. Dan celakanya para relawan ini sering dikesankan tidak tersentuh hukum. Para penegak hukum seperti melindungi mereka. Tentu saja ini menambah asanya para relawan.
Lebih parah lagi relawan ini memiliki kepanjangan tangan berupa pendengung atau buzzer yang habis-habisan membela Jokowi. Benar atau salah mereka tidak peduli. Pokoknya Jokowi harus selalu benar. Siapa pun yang mengkritik pemerintah akan mendapat serangan balik dari para buzzer ini. Sehingga teriakan para relawan itu terus bergema sepanjang Jokowi memerintah.
Padahal pemilunya sudah berlalu. Mereka masih seperti suasana pemilu terus. Inilah yang menyebabkan keterbelahan bangsa ini sampai sekarang. Ada kelompok lawan pemilu pemerintah, tentu yang kalah, yang selalu merasa dimarginalkan. Dan akhirnya mengkristal menjadi benang merah yang terus membentang antara relawan Jokowi dengan rakyatnya mantan lawan Jokowi. Dan Jokowi seperti merestui ini terjadi.
Ternyata masuknya mantan Calon Presiden Prabowo dan Wapres Sandiaga Uno tidak otomatis meleburkan relawan. Malah ada kesan bergabungnya Prabowo dan Sandi ke kabinet sebagai urusan pribadi. Atau dengan kata lain untuk menyelamatkan bisnis mereka masing-masing. Di sini mantan relawan Prabowo-Sandi merasa ditinggalkan.
Diperparah lagi pihak pemerintah memilih paham kelompok liberal dalam beragama. Sehingga tuduhan intoleran dan radikal selalu dituduhkan kepada kelompok muslim yang menjadi bekas lawan pemilu tadi. Kelompok ini merupakan paham yang cukup besar kalau tidak bisa dikatakan mayoritas di negeri ini. Sehingga suara pendengung tentang keberagamaan terus menyakiti kelompok ini. Simbol yang paling mutakhir adalah pengangkatan Menteri agama yang bukan dari tokoh agama.
Apakah boleh presiden mengangkat orang yang mantan relawannya. Tentu saja boleh. Tapi tetap dasar utamanya kompetensi. Bukan hanya sekedar dia relawan atau perwakilan partai koalisi. Merit system harus menjadi filter terdepan dalam proses rekrutmen. Sehingga bongkar pasang menteri bisa terhindari. Ingatlah tuntutan reformasi untuk memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Jangan sampai terbetik di hati seorang presiden bahwa untuk setiap rekrutmen hanya untuk balas jasa dan untuk melanggengkan kekuasaannya.
Akhirnya kelompok relawan ini menjadi sampah demokrasi yang berada di luar aturan ketatanegaraan. Pembela pemerintah mestinya sudah ada bagiannya di parlemen yang merupakan anggota perwakilan partai yang pro pemerintah. Jadi anggota parlemen, dari partai pendukung pemerintah, jangan kalah militan oleh relawan Jokowi.
Dulu ketika saya masih sering membuat dialog atau diskusi di televisi maka yang kita undang cukup tiga pihak saja yaitu Pemerintah, anggota DPR yang pro dan kontra. Mungkin kalau ada tambahan pastilah pakar atau ahli di topik itu. Dan pakar ini benar benar ahli yang menguasai topik itu. Tapi sekarang tidak cukup itu. Dialog belum sempurna kalau belum menghadirkan para relawan ini yang siap membela pemerintah benar atau salah.
Begitu pilpres selesai saya bertemu dengan beberapa relawan yang saya kenal. Dan saya katakan kepada para relawan itu untuk membubarkan diri. Saya bilang kaya di Amerika sana dong. Begitu pemilu selesai mereka langsung hormat kepada presiden.”Silahkan Anda memerintah sekarang. Tapi kalau kebijakan Anda melenceng kami akan menjadi pengkritik anda yang paling depan. Kami bubar.” Begitu relawan di negara biangnya demokrasi. Ketika relawan Jokowi disuruh bubar,”Kami harus menjaga jangan sampai Pak Jokowi jatuh ke tangan konglomerat hitam.” Iya tapi jangan nagih dong. Relawan kok nagih balasan.
Akhirnya Pak JK bercerita. Dulu ketika selesai pemilu dan menang. Untuk pertama kalinya Pak JK duduk berdua dengan Pak Jokowi. Tapi waktu itu belum dilantik. Pak JK mengajak Pak Jokowi untuk membubarkan relawan. Dan Pak Jokowi menjawab,”Jangan Pak. Takut PDIP narik dukungan.” Mudah-mudahan ini bisa menjadi pembelajaran buat presiden dan relawannya 2024.
#Nurjaman Mochtar, Wartawan Senior
Editor: Ariful Hakim