Ceknricek.com -- “Pemilu yang benar-benar memilukan. Lebih 300 meninggal dan lebih 1.000 jatuh sakit. Wahai kalian yang menang dengan cara curang, berpestalah kalian kelak di atas kuburan dangkal mereka yang meninggal begitu mengenaskan.”
Kalimat di atas adalah status Prof. Dr. Abdul Hadi WM di akun Facebook (FB), 30 April 2019. Abdul Hadi adalah sastrawan, filsuf, dan budayawan. Status FB kakek kelahiran Sumenep 1946 ini menarik, karena mengaitkan kematian dengan pemilu curang.
Tentang angka korban, status FB tokoh bernama lengkap Abdul Hadi Wiji Muthari itu sudah terasa kadaluarsa. Berdasarkan data KPU pada hari Selasa (7/5), jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang tewas mencapai 456 orang, dan petugas yang sakit mencapai 3.658 orang.

Din Syamsudin. Sumber : Duta.co
Ini pula yang mengundang mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsudin, mendesak dibentuknya Tim Pencari Fakta atau TPF. Din yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai pihak berwajib dan yang bertanggung jawab perlu melakukan penyelidikan mendalam dan serius. Pembentukan TPF, kata Din, perlu melibatkan unsur masyarakat madani.
Ini adalah musibah yang dinilainya dapat disebut sebagai kejadian luar biasa yang belum pernah terjadi di Indonesia maupun di negara-negara lain.

Aburizal Bakrie. Sumber : Tribunnews
Ketua Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie juga senada. "Ini jumlah korban jiwa yang sangat banyak. Ini tidak bisa didiamkan dan merupakan tragedi nasional," ucapnya.
Ical benar. Tragedi ini bukan peristiwa biasa. Sejumlah media massa asing pun terus menerus memberitakannya. Sebab baru kali ini, dalam sejarah perhelatan demokrasi umat manusia ada kejadian yang begitu tragis.
Lebih jauh lagi, para tokoh lintas agama yang di dalamnya juga ada Din Syamsuddin juga menyerukan hal serupa. Tokoh-tokoh masyarakat yang prihatin ini kemudian membentuk Aliansi Masyarakat Peduli Tragedi Kemanusiaan Pemilu 2019 (AMP-TKP 2019).

Sumber : twitter
Sekitar 40 orang tokoh tergabung di dalamnya. Selain Din, ada mantan Komisioner KPU Chusnul Mariyah, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Busyro Muqoddas, aktivis Iwan Piliang, psikolog forensik Reza Indragiri Amriel, akademisi Nyoman Udayana Sangging, pakar hukum pidana Teuku Nasrullah, dan lainnya.
Mereka menilai, peristiwa ini telah menimbulkan citra buruk Indonesia di mata internasional, dan mencederai pelaksanaan Pemilu 2019 yang seharusnya berpedoman pada asas langsung, bebas, rahasia, adil, jujur, transparan, dan akuntabel.
Disebabkan Racun
Sebelumnya, sejumlah dokter yang mewakili berbagai keahlian juga mengadakan pertemuan di Gedung DPR Jakarta. Mereka diterima Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. “Mereka melaporkan beberapa temuan, saya tertarik karena dokter-dokter dari berbagai keahlian yang hadir,” kata Fahri.
Sejumlah dokter yang melakukan investigasi menyatakan adanya kemungkinan kematian disebabkan racun. Karenanya, Fahri meminta pemerintah untuk bertindak. Dia curiga kasus kematian ratusan petugas KPPS ini sengaja ditutup-tutupi.

Ani Hasibuan. Sumber : Indonesia inside
Salah seorang dokter yang menghadiri pertemuan, dr. Ani Hasibuan, mengaku telah melakukan investigasi dengan mendatangi keluarga petugas yang meninggal, juga melakukan penyelidikan di rumah sakit di Yogyakarta. Dia berharap, kasus ini tak diabaikan begitu saja oleh pemerintah, hanya karena dianggap sebagai kematian karena kelelahan.
“Kita kan belum tahu yang sekarang. Yang jelas ada kematian dan kematiannya banyak. Kemudian ditambah dengan orang sakit yang banyak dalam momen-momen yang mirip, yaitu momen pemilu,” tutur Ani. “Apakah benar kejadian ini karena kecapaian? Betul atau tidak? Harus dilakukan investigasi supaya tidak diabaikan.”
Ani menjelaskan, kematian petugas KPPU di Yogyakarta tidak semuanya berhubungan dengan kelelahan karena bekerja. Contohnya, korban TG (52), asal Kabupaten Sleman, meninggal pada 19 April 2019 karena bunuh diri. Kemudian LS (60), dari Kabupaten Sleman, meninggal 23 April 2019 karena sakit. Korban SDT (51), Kabupaten Sleman, meninggal 22 April 2019 karena sakit dan terjatuh di kamar mandi. Lalu korban BS, dari Kabupaten Sleman, meninggal 26 April 2019 karena kelelahan setelah bekerja, dan setelah itu sakit dan meninggal dunia.

Sumber : Tempo
Selain temuan itu, Ani juga menemukan beberapa kejanggalan dalam perekrutan petugas KPPS. Salah satunya adalah proses perekrutan petugas KPPS tidak memenuhi standar, khususnya terkait dengan kesehatan. Salah seorang anggota KPPS mengaku kepadanya bahwa mereka tidak diperiksa kesehatannya terlebih dahulu ketika direkrut.
Kematian yang Wajar
Profesor Emeritus Demografi Indonesia Terry Hull, dalam diskusi publik tentang hal ini di Facebook, telah menyamakan kematian ini dengan kondisi di Jepang karoshi, yang secara harfiah diterjemahkan sebagai “kematian akibat terlalu banyak bekerja”, yang tidak jarang terjadi di seluruh Asia dan biasanya terjadi melalui serangan jantung atau stroke karena stres.

Sumber : Sputnik Internasional
Laporan tentang kematian petugas KPPS di Indonesia tersebut tampaknya secara luas sesuai dengan diagnosis sementara ini. Hanya saja, Hull dan banyak pengamat lainnya menekankan bahwa data kematian terperinci dan karakteristik demografis dari seluruh petugas KPPS diperlukan.
Di sisi lain, pengamat dari Indonesia at Melbourne, Jesse Hession Grayman, menganggap kasus kematian ini adalah kematian yang wajar. Menurutnya, kematian 500-an orang dari lebih 7 juta petugas KPPS, selama lebih dari dua minggu, tidak melebihi angka kematian rata-rata masyarakat Indonesia.
Dalam tulisannya yang berjudul “Death by overwork: the complicated case of the Indonesian election” ia menulis jumlah kematian ini jauh lebih sedikit, sebagaimana seharusnya, mengingat tingkat kematian rata-rata itu mencakup orang tua dan orang sakit yang mungkin akan meninggal bagaimanapun juga, walau mungkin tidak bekerja sebagai petugas KPPS.
Ia lalu membandingkan dengan kematian jemaah haji Indonesia. Terdapat lebih dari 200-500 kematian dari sekitar 200.000 jemaah Indonesia setiap tahun. “Sekali lagi, kematian ini condong pada orang tua yang bepergian dalam kondisi yang lemah,” tulisnya.
Kendati demikian, dia berpendapat masih perlu dilihat apakah kematian ini melebihi angka kematian yang diperkirakan untuk kelompok orang Indonesia terpilih ini, dan yang memerlukan penyelidikan epidemiologis yang tepat, untuk menilai faktor demografis yang dapat membantu kita memahami bagaimana dan mengapa para petugas KPPS ini meninggal saat mengejar tugas sipil yang terhormat untuk komunitas mereka.
Misalnya, apakah mereka cenderung perokok atau lebih tua dari populasi umum? Apakah mereka cenderung memiliki masalah kesehatan yang sudah ada sebelumnya? Masalah dengan melakukan studi epidemiologi yang tepat dengan memperhitungkan faktor-faktor demografis ini dan bukan perbandingan sederhana angka kematian, akan diperlukan untuk menyelesaikannya. Ini adalah pertanyaan akademis yang tidak dapat diakomodasi oleh siklus pemilu politik.
13 Jenis Penyakit
Sementara itu, Kementerian Kesehatan RI, dalam laman resminya merilis investigasi penyebab kematian petugas pemilu di 15 provinsi. Hasilnya, diketahui jumlah korban meninggal di DKI Jakarta sebanyak 22 jiwa, Jawa Barat 131 jiwa, Jawa Tengah 44 jiwa, Jawa Timur 60 jiwa, Banten 16 jiwa, Bengkulu 7 jiwa, Kepulauan Riau 3 jiwa, Bali 2 jiwa.
Sedangkan wilayah lain seperti Kalimantan Selatan diketahui memiliki jumlah korban sebanyak 8 jiwa, Kalimantan Tengah dengan 3 korban jiwa, Kalimantan Timur 7 korban jiwa, Sulawesi Tenggara 6 korban jiwa, Gorontalo tidak ada, Kalimantan Selatan 66 korban jiwa, dan Sulawesi Utara 2 korban jiwa.
Berpegang pada laporan dinas kesehatan dari 15 provinsi itu, kematian petugas KPPS jika diakumulasikan disebabkan oleh 13 jenis penyakit dan 1 kecelakaan. Sebanyak 13 penyakit tersebut adalah infarct myocard, gagal jantung, koma hepatikum, stroke, respiratory failure, hipertensi emergency, meningitis, sepsis, asma, diabetes mellitus, gagal ginjal, TBC, dan kegagalan multiorgan. Korban yang meninggal kebanyakan berusia antara rentang 50-59 tahun.
Terkait padatnya jadwal pekerjaan pada petugas KPPS, Sekjen Kemenkes, drg. Oscar Primadi, mengatakan perlu diadakan pendalaman lebih lanjut dengan KPU. "Nantinya kita akan bahas bersama KPU untuk perencanaan pemilu mendatang," katanya.

Sumber : Kumparan
Tak hanya pendalaman jadwal petugas, ke depannya petugas pemilu yang dipekerjakan juga diupayakan mempunyai kondisi kesehatan yang baik dan lingkungan pekerjaan yang sehat. Petugas diharapkan tidak merokok dan tidak terpapar asap rokok. Ruangan juga harus cukup luas, ritme kerja dan jam kerja harus diatur dengan baik sehingga porsi istirahat mencukupi.
Kematian dalam pesta politik memang berbeda dengan kematian lainnya. Apalagi bila peristiwa itu dianggap sebagai kejadian luar biasa. Semakin pemerintah diam, dengan menganggap sepi tuntutan publik, maka kecurigaan bahwa kematian ini sebagai bagian dari pelaksanaan pemilu curang akan kian mengkristal.
Abdul Hadi dalam status FB lainnya lalu menulis, “politik adalah permainan yang mendebarkan dan menegangkan seperti lakon Hamlet atau Damarwulan Menakjingga. Tak jarang pula lakon yang ditonton itu membuat kita resah, tetapi kita selalu diajari agar optimistis dan sanggup mengendalikan diri. Penonton tidak boleh tertipu bahwa apa yang dilihatnya sebenarnya hanya sandiwara. Dalang atau sutradaranya bersembunyi di balik layar.”
Kini, saatnya pemerintah merespons tragedi ini dengan sungguh-sungguh. Masalahnya, untuk menilai mana yang benar dan mana yang salah pada kondisi seperti saat ini semakin sulit. Bahkan untuk menilai siapa yang pantas dipercaya juga semakin gelap. Tepat kiranya apa yang ditulis Abdul Hadi, “kebohongan satu-satunya tempat berdiri hari ini.”