Penenggelaman Kapal: Susi Memang Nyentrik | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto : Kumparan

Penenggelaman Kapal: Susi Memang Nyentrik

Ceknricek.com -- Susi Pudjiastuti memang beda. Pada hari itu, 4 Mei 2019, pukul 13.10 WIB, Menteri Kelautan dan Perikanan itu bersama rombongan tiba di perairan Pulau Datuk, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Nongkrong di haluan kapal, berkaos biru lengan panjang dibalut kardigan hitam, celana kain hitam, dan sepatu sneakers, siang itu Menteri Susi memimpin penenggelaman 13 kapal pencuri ikan.

Hadir dalam acara tersebut antara lain Gubernur Kalbar Sutarmidji, Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat, Baginda Polin Lumban Gaol; Kapolda Kalimantan Barat (Pol), Didi Haryono; dan Danlantamal XII Pontianak, Laksamana Pertama TNI Greg Agung.

Sumber : IDNTimes

Susi sesekali tampak melepaskan kegembiraannya ketika satu per satu kapal pencuri ikan itu tenggelam. Sesekali ia tampak kegirangan sambil mengangkat tangan terkepal.

Aksi Susi yang kesekian kalinya ini tetap mengundang perhatian publik. Tak hanya di dalam negeri, melainkan juga di dunia. Soalnya, kapal yang diendapkan di dasar laut itu adalah kapal asing. Tindakan Susi ini menjadi perhatian dunia sejak ia mengambil sikap meledakkan kapal pencuri ikan di perairan Indonesia, sesaat setelah dia dilantik Oktober 2014. Sejak saat itu, sampai sekarang, sudah 503 kapal pencuri ikan yang karam di "tangan" Susi.

Jumlah tersebut terdiri dari 284 kapal Vietnam, 92 kapal Filipina, 23 kapal Thailand, 73 kapal Malaysia, 2 kapal Papua Nugini, 1 kapal China, 1 kapal Nigeria, 1 kapal Belize, dan 26 kapal asing berbendera Indonesia.

Awalnya, kapal-kapal pencuri ikan itu diledakkan menggunakan dinamit. Sekarang hanya ditenggelamkan. Peledakan atau penenggelaman, menurut Susi, hanya soal teknis. Paling penting adalah memberikan sinyal pada dunia, bahwa Indonesia tak main-main soal aksi illegal fishing.

Menariknya, Susi selalu hadir dalam ritual penenggelaman kapal. Rupanya, dia ingin memastikan bahwa kapal-kapal itu benar-benar ditenggelamkan. Soalnya, menurut Susi, pernah menemukan kapal yang ditangkap suatu ketika ditangkap lagi.

Sumber : Indomaritim

Kini, masih ada 90 kapal asing yang belum inkracht. Ada yang dalam proses banding, ada yang kasasi. Jika putusan ke-90 kapal itu nantinya dimenangkan negara, maka cara penenggelaman kapal tetap berlanjut.

Usul Lelang

Ada sejumlah pihak yang menyarankan kapal-kapal itu dilelang saja. Tapi Susi berpendapat  wacana itu bukan solusi tepat dalam mengatasi persoalan illegal fishing. Susi khawatir, kapal-kapal yang dilelang tersebut nantinya bisa kembali dibeli pemiliknya untuk dipakai mencuri ikan. "Kalau ikan dilelang oke lah. Tapi kalau kapal yang dilelang, kita jual lagi dan dijadikan alat mencuri lagi, akhirnya kita tangkap lagi. Apa mau jadi dagelan negeri kita?” kilahnya.

Sumber : OkeZone

Kepastian penenggelaman itu mengacu pada sejumlah kejadian. Beberapa kapal yang melanggar hukum dan dilelang, digunakan kembali untuk menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia. Maka dari itu, kini pemerintah tidak boleh ragu dan harus tegas untuk memberikan efek jera pada para pelaku dengan memusnahkan kapalnya.

Harga rata-rata kapal tersebut adalah Rp10 miliar. Kalau dilelang harganya jadi Rp1 miliar. Sementara ikan yang dicuri mencapai Rp3 miliar sekali berangkat.

Dalam empat tahun, Susi telah melarang 10.000 kapal asing untuk melakukan penangkapan ikan di perairan Indonesia, setengahnya telah menangkap lebih dari 500 gross ton (GT) ikan.

Kapal-kapal itu datang dari China daratan, Vietnam, Taiwan, Thailand, dan Filipina. Beberapa di antaranya disamarkan berbendera Indonesia dan didaftarkan kepada perusahaan proksi di Indonesia atau di tempat lain.

Kapal China

Sikap keras Susi jelas tidak disukai negara-negara pemilik kapal pencuri ikan. China salah satunya. Pemilik armada penangkapan ikan terbesar di dunia ini memprotes tindakan Indonesia. Tapi dengan tegas Susi berpesan, “apa yang mereka lakukan bukanlah menangkap ikan, itu adalah kejahatan transnasional terorganisasi,” katanya kepada This Week in Asia. “Anda harus menulis itu. Mereka harus mengerti.”

Susi mengatakan, Indonesia telah memiliki beberapa ketidaksepakatan dengan China tentang masalah penangkapan ikan yang ilegal, tidak diatur, dan tidak dilaporkan. “Mereka masih tidak setuju bahwa itu digolongkan sebagai kejahatan transnasional,” katanya. “Tapi kebanyakan ini adalah kapal asal China (dengan) kru multinasional.”

Asal tahu saja, Indonesia menanggung kerugian karena aktivitas pencurian ikan atau illegal, unreported, unregulated fisheries (IUUF) sebesar US$20 miliar setiap tahun. Kerugian itu jelas sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat pesisir yang sangat bergantung kepada sumber daya ekosistem laut.

Selain itu, aktivitas IUUF yang tidak bisa dihentikan, juga mengancam hilangnya ekosistem pesisir dan laut, termasuk hutan bakau, rumput laut, dan terumbu karang. Ketiganya masuk kelompok ekosistem laut besar Indonesia.

Kerusakan ekosistem laut besar Indonesia yang terletak di perairan Indonesia timur akan mengancam sumber daya perikanan nasional, yang di dalamnya ada aktivitas penangkapan ikan lintas negara. Ekosistem pesisir dan laut adalah habitat yang penting bagi keanekaragaman hayati dan produktivitas perikanan.

China telah menyatakan kekhawatiran serius atas penghancuran kapal dan, dua tahun lalu, mengatakan akan mengambil tindakan terhadap penangkapan ikan berlebihan dan ekspansi industri perikanan yang berlebihan, termasuk mengurangi jumlah kapal penangkap ikan.

Wakil Direktur Administrasi Perikanan Laut Liu Xinzhong, mengatakan bahwa China lebih peduli tentang perlindungan dan keberlanjutan sumber daya laut dari yang dipikirkan negara lain.

Namun, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa, lebih dari sepertiga dari stok ikan komersial dunia sedang berkurang dengan tingkat yang tidak berkelanjutan.

Salah satu negara yang stok ikannya menurun drastis adalah China, sebagian karena meningkatnya permintaan akan makanan laut segar berkualitas tinggi dari konsumen kelas menengah. Beijing tampaknya juga semakin mendorong aktivitas “memancing di perairan jauh”, yang melampaui Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mereka sendiri.

Sumber : Inews

“Kapal nelayan 100 GT dalam setahun bisa menangkap 2.000 ton ikan. Jutaan ton, berarti miliaran dolar,” kata Susi. “Ini adalah bisnis besar multinasional. Mereka menyebutnya memancing. Kami menyebutnya kejahatan. Kami tidak setuju (dengan China) tentang itu,” lanjut Susi.

Susi menunjukkan bahwa nelayan China telah ditangkap karena melakukan perburuan hiu hingga sejauh pulau-pulau Galapagos di Samudera Pasifik Selatan--yang merupakan salah satu harta ekologi dunia. “Bagaimana mungkin nelayan melakukan perjalanan menempuh tiga perempat dunia dan mengambil 400 ton hiu dari kawasan yang dilindungi secara maritim?” tanya Susi gusar.

Walau Beijing membantah melakukan kesalahan apa pun, namun kapal-kapal penangkap ikannya--yang didukung oleh penjaga pantai dan kapal angkatan laut--juga dilihat sebagai uji coba klaim teritorialnya di Laut China Selatan.

Pada tahun 2016, sebuah kapal patroli Indonesia menyita kapal ikan China seberat 300 ton, Kway Fey 10078, yang memancing di dekat Kepulauan Natuna, di mana “sembilan garis putus” yang menandai klaim China atas Laut China Selatan tumpang tindih dengan perairan Indonesia.

Stok Ikan Dunia

Para pemburu sekarang beralih taktik, untuk beroperasi dari laut lepas, di luar yurisdiksi nasional. “Dengan teknologi modern, dan peralatan berukuran besar, dengan garis sepanjang 150 kilometer dengan jaring selebar 100 kilometer, mereka dapat menjatuhkan jaring di laut lepas dan menarik (hasil tangkapan) dari dalam zona ekonomi eksklusif semua negara,” kata Susi.

Tanpa komitmen lebih dari pihak internasional untuk mengatasi masalah ini, ia menambahkan, migrasi ikan yang melintasi lautan seperti tuna sirip kuning dan cod akan sangat terganggu.

“Keuntungan dari laut bebas tanpa yurisdiksi hanya untuk 11 negara yang melakukan penangkapan ikan jauh,” tambah Susi. “Tapi stok ikan yang bermigrasi ini adalah stok ikan dunia, bukan hanya stok ikan Indonesia, itu juga (milik) Jepang, Eropa, juga stok ikan China. Jadi kami berharap kekhawatiran tentang ini juga diakui.”

Gaya kementerian Susi yang nyeleneh banyak didokumentasikan di media sosial. Foto-foto Susi ketika sedang menari sambil mendengarkan The Beatles, minum kopi dan merokok di atas wakeboard, atau berselancar bersama staf kementeriannya sering viral.

Selain menganjurkan larangan penggunaan kantong plastik, botol plastik, dan sedotan di lingkungan kementerian kelautan dan perikanan, Susi juga melarang jargon birokrasi tertentu atas nama efisiensi, “terkadang, setiap kata membutuhkan seminar: saya benci itu,” ucapnya suatu ketika.

Kebijakan keras tentang penangkapan ikan ilegal tampaknya membuahkan hasil bagi 20 juta nelayan Indonesia. Walau total penangkapan ikan di perairan Indonesia telah menurun lebih dari 25% dan penangkapan ikan asing turun sebesar 90% sejak Susi memberlakukan larangannya pada tahun 2014, nilai tangkapan domestik melonjak dari 6,4 juta ton senilai Rp108 triliun menjadi 7,7 juta ton dengan nilai Rp158 triliun pada 2017.

Menjadi Nomor Satu

Saat ini Indonesia berada di peringkat kedua sebagai penghasil ikan terbesar dunia dengan kontribusi sebesar 12%. Adapun peringkat pertama diisi oleh China dengan kontribusi sebesar 41%. “Saya percaya jika kita bisa mengatasi masalah illegal, unreported, unregulated fishing, Indonesia bisa menjadi nomor 1!,” cuitnya, Selasa (7/5/2019).

Sumber : medcom.id

Saat ini Indonesia merugi lantaran besarnya jumlah ekspor tak tercatat di sektor perikanan. Padahal, jika seluruh ekspor tak tercatat ini bisa ditindak, potensi Indonesia menjadi penghasil ikan nomor 1 dunia tak diragukan lagi. Bahkan, kebanyakan produk yang ada di China saat ini sebenarnya berasal dari aksi ekspor ilegal asal Indonesia. “Banyak impor [perikanan] China dari Indonesia juga yang unreported. Contohnya, mutiara. Jadi, sebetulnya kalau dihitung jujur, semua dilaporkan, itu Indonesia nomor 1,” jelasnya.

Berdasarkan data yang dilampirkan Susi dalam cuitannya, terlihat bahwa produksi perikanan Indonesia per 2016 mencapai 23,2 juta ton yang terdiri atas 6,584 juta ton produksi perikanan tangkap dan 16,616 juta ton produksi perikanan budidaya.

Data itu dirilis oleh Lembaga Pengawasan Produk dan Pasar Perikanan Uni Eropa (Eumofa). Selanjutnya data itu menunjukkan, China memegang predikat sebagai produsen utama global dengan capaian 81,529 juta ton yang terdiri atas 17,807 juta ton produksi perikanan tangkap dan 63,722 juta ton produksi perikanan budidaya.

Adapun berdasarkan data terakhir dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi perikanan tangkap Indonesia ada 2018 diestimasi mencapai 7,248 juta ton dan produksi perikanan budi daya mencapai hampir 17 juta ton.  Dengan kata lain, produksi total perikanan dan kelautan Indonesia mencapai hampir 24 juta ton.

“Saya ingin berbagi bagaimana--hanya dengan anggaran US$8 juta untuk patroli, pengawasan, dan penenggelaman kapal nelayan ilegal--kami menghemat jutaan, bahkan miliaran dolar. Mungkin mereka akan mengerti,” kata Susi.

Dampak positif kebijakan Susi juga terbaca dari neraca perdagangan ikan Indonesia yang menjadi nomor satu se-Asia Tenggara. Selain penangkapan ikan yang meningkat, selama empat tahun terakhir, ada dua komoditas yang paling banyak dieskpor, yakni  ikan tuna dan udang. Kini, Indonesia adalah supplier tuna terbesar di dunia.

Berdasarkan data KKP, Indonesia mampu mengekspor sebanyak 915 ribu ton tuna selama Januari hingga Oktober 2018. Jumlah tersebut meningkat dibanding 2017 dengan rentang waktu yang sama sebesar 862 ton ikan. Dari sisi nilai produk, Indonesia meraup US$3,99 miliar pada 2018, meningkat 10,33% dari US$3,61 miliar pada tahun 2017.

Sayang, tak semua suka dengan kebijakan Susi. Bahkan ada rekan di Kabinet Kerja yang gemar mengusiknya.  



Berita Terkait