Ceknricek.com - Tepat tanggal hari ini, 262 tahun silam, 17 Maret 1757, kota Salatiga menjadi saksi dari perjanjian yang ditandatangani oleh tiga pihak keturunan wangsa Mataram, dengan VOC sebagai saksinya. Dalam perjanjian tersebut Pakubuwono III dan Hamengkubuwono I menyerahkan tanah seluas 4.000 cacah kepada pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said).

traktat perjanjian Salatiga, Sumber artikelbandem.blogspot.com
Hasil dari perjanjian Salatiga mengakibatkan Kesultanan Mataram Islam terbelah jadi tiga bagian : Surakarta, Yogyakarta, dan Mangkunegaran. Strategi politik teritorial berhasil diwujudkan di Mataram, namun VOC-lah yang paling banyak mendapatkan keuntungan. Tanpa disadari, VOC sekali lagi berhasil memecah belah kerajaan di tanah Jawa.

Mangkunegaran Surakarta Sumber : Situsbudaya.id
Bermula dari Perjanjian Giyanti
Latar belakang kejadian ini bermula ketika Pakubuwono II wafat tahun 1749. Ia bisa dikatakan menitipkan kerajaannya kepada kumpeni (VOC) agar kelak mereka mendukung hak anaknya menjadi Pakubuwono III. Namun, paman-paman raja tersebut menolak, fait acompli dan melanjutkan perang. Mangkubumi mengobrak-abrik Pekalongan merebut Ponorogo, dan Madiun. Begitu juga keponakannya, Pangeran Sambernyawa (anak pangeran Mangkunegara) yang menuntut hak-hak ayahnya.

Traktat perjanjian Giyanti, Sumber : catatanpelajar
Ketenangan baru bisa diredakan setelah wilayah dibagi secara defenitif dalam perjanjian Giyanti yang secara de facto sekaligus de jure menegaskan berakhirnya riwayat Kesultanan Mataram. Perjanjian ditandatangani 13 Februari 1755 di desa Giyanti, Karanganyar. Perjanjian tersebut pada pokoknya “membelah nagari” atau membelah Mataram menjadi dua bagian -- (Atmakusumah, Takhta untuk Rakyat, 2011:126).
Dari hasil perjanjian tersebut setengah bekas wilayah Kesultanan Mataram Islam menjadi milik Kasunanan Surakarta di bawah pimpinan Pakubuwono III. Sedangkan separuhnya lagi menjadi milik Pangeran Mangkubumi yang segera mencanangkan diri sebagai raja Kasultanan Yogyakarta dengan gelar Hamengkubuwono I. Namun, ada satu nama yang terlupakan dan tidak diajak mengikuti perjanjian, yaitu Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa.
Pemberontakan Pangeran Sambernyawa
Bagi Pakubuwono III dan Hamengkubuwono I, Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa adalah kerikil dalam selop mereka. Sepak-terjangnya juga seringkali merepotkan VOC. Raden Mas Said memerangi Belanda dan Mataram (Kartasura) sejak 1741. Ia pun sempat bergabung dengan Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwono I) selama 9 tahun dengan tujuan yang sama.

Pangeran Sambernyowo, Sumber : kompasiana
Namun, Pangeran Mangkubumi kemudian berbalik arah untuk menjalin kesepakatan dengan Pakubuwono III dan VOC lewat Perjanjian Giyanti. Raden Mas Said yang tidak dilibatkan pun menentang perjanjian itu yang disebutnya akan memecah-belah rakyat Mataram.
Ia pun memberontak dan melawan Pakubuwono III, Hamengkubuwono I dan VOC serta memberi tekanan pada mereka untuk membagi wilayah Mataram menjadi tiga bagian. Maka, demi mengamankan kantong finansial dan menyelamatkan kehadirannya di Jawa, VOC lewat politik “devide et impera” berusaha keras melemahkan kedudukan para pangeran di Jawa dengan memecah belah mereka. Perjanjian Salatiga adalah puncak perang suksesi dan runtuhnya cita-cita besar Sultan Agung Mataram.
Mangkunegaran Penyambung Roh Mataram
Perjanjian Salatiga secara hakikat menandai berdirinya praja atau negeri Mangkunegaran dengan Raden Mas Said sebagai Pangeran otonom yang menguasai wilayah (meliputi Karanganyar dan Wonogiri). Mangkunegaran yang didirikan oleh Pangeran Sambernyawa adalah penyambung dari Mataram yang telah hilang akibat perjanjian Giyanti 1755.
Mataram yang telah bubar dengan traktat Giyanti dibangun kembali melalui Negeri Mangkunegaran. Politik dan kebudayaan Mataram serta unsur-unsur keprajuritan dipertahankan dan dihidupkan dari generasi ke generasi.
Raden Mas Said sebagai penerus cita-cita Mataram, menurut sejarawan Peter Carey, juga merupakan pemimpin yang di eranya begitu mengutamakan pendidikan perempuan. Ketika itulah, Jawa mengenal adanya Prajurit Estri di mana perempuan bisa maju sebagai pengawal raja yang terdidik.
Meskipun perjanjian Salatiga membawa kegagalan-kegagalan politik raja-raja Mataram, namun menurut Lombard hal tersebut juga dimbangi sukses ekonomi daerah pedesaan. Sejak 1755 Jawa mengalami suatu masa perdamaian yang merentang sampai 1825, dengan produksi pertanian yang bertambah banyak, dan kesejahteraan umum yang membaik -- (Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya; Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris: 46).