Ceknricek.com--Tanggal 23 September 2024, telah diundangkan sebuah Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 12/2024 tentang Mekanisme Seleksi, Tata cara Pengangkatan dan Pemberhentian, dan Tata Kerja Konsil Kesehatan Indonesia, Kolegium Kesehatan Indonesia, dan Majelis Disiplin Profesi. Mari kita telaah secara seksama berdasarkan atas fakta dan keilmuan, benarkah PMK ini mengatur dan memperbaiki tata kelola lembaga-lembaga yang berperan penting dalam hal penjaminan mutu dan kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) kesehatan, khususnya Dokter Spesialis, atau malah sebaliknya menkes mengacak-acak, merusak, bahkan mengangkangi Kaidah Ilmu yang sudah tertata baik meski belum sempurna.
Aturan terkait Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Konsil Kesehatan Indonesia
Profesi Dokter, Dokter Gigi, dan Tenaga Kesehatan (Nakes) lain diatur oleh dan tunduk pada negara melalui sebuah Lembaga Negara yang disebut Konsil Kedokteran dan Konsil Tenaga Kesehatan. Selama ini, Konsil Kedokteran Indonesia (Konsil) dibentuk sebagai amanat UU 29/ 2004 tentang Praktik Kedokteran, dalam rangka melindungi masyarakat dalam pelayanan kedokteran dan menjaga mutu pelayanan kedokteran (dalam Bab III, ada 22 Pasal terkait Konsil). Konsil ini bertanggung jawab kepada Presiden selaku Kepala Negara, dan tentu saja tidak boleh tunduk kepada perorangan termasuk menkes.
Dalam UU 29-2004 Pasal 6, jelas tertera bahwa Konsil mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan medis. Pada Pasal 14 tentang keanggotaan, disebutkan bahwa keanggotaan Konsil ditetapkan oleh Presiden atas usulan menkes berdasarkan atas usulan dari organisasi profesi dan asosiasi institusi pendidikan dokter, dokter gigi, dan rumah sakit pendidikan (semuanya merupakan representasi dari Civil Society di bidang kedokteran dan kesehatan). Jelas sekali terbaca dari Pasal 14 tsb., bahwa keanggotaan konsil merupakan representasi (secara de-jure maupun de-facto) dari kelompok profesi atau asosiasi yang diwakili.
Pada PP No.28/2024, aturan pelaksanaan UU No. 17/2023, Pasal 1 Butir 43 disebutkan kedudukan Konsil sebagai lembaga yang melaksanakan tugas secara independen. Tetapi, pada Pasal 696 dinyatakan bahwa: dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang, harus berkoordinasi dengan menkes, dalam rangka menjamin kesesuaian dengan kebijakan yang ditetapkan oleh menkes. Bila dalam hal pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang tidak sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh menkes, menkes dapat melakukan penyesuaian pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang. Kalau menkes bisa dan boleh mengintervensi, lalu dimanakah letak independensi konsil ?
Sedangkan dalam PMK 12/2024, Bab II, Pasal 5-14 terkait seleksi calon anggota dan pimpinan Konsil, setiap orang atau siapapun bisa mencalonkan diri dan mengikuti seleksi sebagai anggota (dengan mengatasnamakan kelompok nakes atau named tertentu), tanpa harus benar-benar (de-jure dan de-facto) menjadi representasi kelompok nakes-named tersebut. Selanjutnya menkes-lah yang (mungkin atas dasar naluri/ intuisi-nya), melalui pansel yang dibentuk oleh menkes, akan menetapkan mereka yang menjadi anggota konsil mewakili kelompok nakes/ named. Di sinilah letak potensi konflik dan kekacauan berkepanjangan yang bisa timbul, karena siapapun yang dipilih oleh menkes bisa jadi tidak sesuai harapan atau dianggap bukan representasi kelompok nakes-named tersebut.
Selain itu, jelas terbaca secara kasat mata terjadinya degradasi dan pelemahan kedudukan serta peran Konsil ini dari sebuah Lembaga Negara yang anggotanya merupakan representasi Civil Society terkait bidang layanan kesehatan, menjadi sebuah lembaga pembantu menkes yang keanggotaannya tidak lagi representasi dari Civil Society, melainkan para petugas menkes.
Sejarah serta landasan hukum keberadaan Kolegium Bidang Ilmu dan MKKI
Upaya profesi untuk meningkatkan kualitas pendidikan spesialis dan membuatnya lebih terstandarisasi terus menerus dilakukan berdasar atas best practices di banyak negara maju. Pembentukan pelbagai kolegium bidang ilmu dimulai awal tahun 1990-an oleh Perhimpunan Ahli Bedah (IKABI), Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam (PAPDI), Perhimpunan Spesialis Anak, dan diikuti oleh perhimpunan-perhimpunan lain, termasuk Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf (PERDOSSI) pada tahun 1996.
Pada Muktamar IDI tahun 2000 di Malang, disepakati pembentukan Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) sebagai induk dari semua Kolegium Bidang Ilmu, dan merupakan badan otonom dalam kepengurusan PB-IDI, selain MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) dan MPPK (Majelis Pengembangan Praktik Kedokteran). Dalam wadah MKKI inilah diselesaikan dan dilakukan harmonisasi kompetensi banyak bidang spesialisasi yang saling beririsan/ overlapping.
Sesuai dengan UU No 29-2004 Pasal 1 butir 13, Kolegium adalah badan otonom yang dibentuk oleh Organisasi Profesi (OP) untuk masing-masing cabang disiplin ilmu, yang bertugas mengampu pendidikan bidang ilmu tersebut. Kolegium memiliki tugas utama untuk menjaga baku mutu pendidikan profesi dokter, dokter spesialis, dan dokter subspesialis. Keberadaan kolegium juga mengacu pada UU No. 20-2013 tentang Pendidikan Kedokteran, yang menyebut Fakultas Kedokteran sebagai penyelenggara program pendidikan bersama dengan Rumah Sakit Pendidikan berkoordinasi dengan Kolegium sebagai bagian dari Organisasi Profesi.
Fakta sejarah ini tidak bisa dihapus maupun diputar-balikkan begitu saja oleh siapapun termasuk oleh menkes bahwa Kolegium Bidang Ilmu atau Kolegium Dokter Spesialis merupakan sebuah lembaga independen/ mandiri (self regulating body) yang dibentuk oleh OP Spesialis, dan selama lebih dari 30 (tiga puluh) tahun berperan amat penting sebagai mitra pemerintah dalam menjaga Baku Mutu Pendidikan, Kompetensi, sampai pada Praktek Dokter Spesialis.
Bahkan Keberadaan Kolegium dan MKKI ini telah dikukuhkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), dalam amar putusan No. 10/PUU-XV/2017, MK berpendapat bahwa Kolegium Kedokteran/ Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) merupakan unsur yang terdapat dalam IDI dan bukan merupakan organisasi yang terpisah dari IDI. Kolegium Kedokteran Indonesia/ MKKI merupakan unsur dalam IDI yang bertugas melakukan pengaturan dan pembinaan pelaksanaan sistem pendidikan profesi kedokteran. Jadi Kolegium/ Majelis Kolegium adalah sebuah Academic Body Profesi Kedokteran.
Peran Penting Kolegium dalam Pengembangan SDM Dokter dan Dokter Spesialis
Keanggotaan kolegium adalah para Guru besar Bidang Ilmu terkait dan para pengelola pendidikan bidang ilmu yang terdiri atas Ketua Program Studi dan ketua Departemen pada Institusi Pendidikan Dokter Spesialis. Rasanya tidak mungkin dibantah bahwa kelompok Guru Besar Bidang Ilmu inilah yang paling pantas mengampu dan mengelola pendidikan spesialis, tidak mungkin digantikan bahkan oleh Presiden sekalipun, apalagi seorang menkes yang sama sekali tidak memiliki latar belakang pendidikan kedokteran. Saat ini dalam wadah MKKI setidaknya ada 38 Kolegium Bidang Ilmu yang semua anggotanya adalah orang-orang yang terpilih dari setiap perhimpunan dokter spesialis, yang dianggap paling mampu dan credible dalam mengampu pendidikan spesialis.
Semua itu dilakukan demi mengampu pengembangan bidang ilmu terkait dan demi menghasilkan dokter spesialis yang selain kompeten di bidang spesialisasinya, juga memiliki etika profesi yang luhur dan selalu mengutamakan keselamatan pasien. Jadi sesungguhnya para Guru Besar yang ada di berbagai kolegium bidang ilmu tersebut tengah menjalankan peran dan tugas konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun kesejahteraan bagi semua. Mereka bekerja secara tulus dan sukarela bahkan tanpa menggunakan anggaran keuangan negara maupun makan gaji pemerintah, baik dari Kemendikbud Ristek maupun Kemenkes.
Kedudukan Kolegium sebagai Academic Body yang harus Mandiri dan Independen
Tugas Konsil dalam bidang pendidikan adalah menetapkan pelbagai standar dalam pendidikan dokter, dokter spesialis, dan dokter subspesialis, yang kewenangan ini selanjutnya akan dilimpahkan kepada Kolegium Ilmu Kedokteran dan Kolegium Bidang Ilmu sesuai dengan aturan perundang-undangan serta aturan pelaksanaannya.
Tugas seorang dokter dalam berprofesi dibatasi oleh kompetensi, harus terus mengikuti perkembangan keilmuan, dan hanya mempraktekkan bentuk pengobatan yang sudah terbukti bermanfaat menurut kaidah ilmu kedokteran (Evidence Based Medicine). “Seorang Dokter wajib selalu melakukan pengambilan keputusan professional secara independen dan mempertahankan perilaku profesional dalam ukuran/ standar yang tertinggi”, demikian bunyi salah satu ketentuan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki).
Dalam hal ini kolegium berperan sebagai peer-group yang merumuskan dan menjadi rujukan kebenaran kaidah ilmiah dan budaya ilmiah, dan sekaligus menjadi bagian dari Masyarakat Ilmiah Dunia. Kolegium adalah lembaga pengampu ilmu yang menyusun pelbagai standar terkait Pendidikan dan Pengembangan ilmu, menyusun kurikulum pendidikan, menentukan batasan-batasan kompetensi, cara pencapaian kompetensi, sampai menguji kompetensi lulusan spesialis dari dalam dan luar negeri. Jadi ada kaidah ilmu dan tradisi ilmiah yang melekat erat dalam Lembaga Kolegium.
Sebagaimana sering disampaikan oleh prof Djohansjah Marzoeki, Guru Besar Unair, ada 4 hal pokok dalam kaidah ilmiah yaitu: Harus Rasional (kebenaran ilmu harus bisa dipahami secara sebab-akibat dan masuk akal), Harus Benar (kebenaran ilmu harus bisa diulang oleh siapapun dengan hasil yang selalu konsisten), Harus Mandiri atau Independen (kebenaran Ilmiah tidak bisa diletakkan di bawah penguasa, betapapun besar kekuasaannya), dan Tidak Boleh ada Konflik Kepentingan (intervensi kekuasaan tidak bisa diterima dalam kaidah ilmu dan pengelolaan ilmu, kebenaran ilmiah tidak boleh tunduk pada perintah penguasa).
Kolegium menurut UU No.17/2023, PP No. 28/2024, serta PMK No.12/2024
Oleh karena itu, secara logika sederhana dan akal sehat, bisa dinyatakan bahwa Kolegium yang dibentuk atas dasar UU 17/2023, PP No.28/2024, serta PMK 12/2024 bukanlah sebuah Lembaga Ilmiah karena tidak mandiri, dikendalikan oleh penguasa, dan penuh dengan conflict of interest. Hal ini terlihat jelas pada PP No. 28/2024 Pasal 1 Butir 44, Kolegium adalah Kumpulan Ahli dari setiap disiplin Ilmu Kesehatan yang menjalankan tugas dan fungsi secara independen dan merupakan alat kelengkapan Konsil. Tapi pada Pasal 707 tertulis, Kolegium dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang harus berkoordinasi dengan menkes dalam rangka menjamin kesesuaian dengan kebijakan yang ditetapkan menkes. Dalam hal pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang tidak sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh menkes, menkes dapat melakukan penyesuaian pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang.
Terkait mekanisme seleksi anggota dan ketua Kolegium Kesehatan Indonesia, bahkan sampai penetapan ketua Kolegium Bidang Ilmu (PMK No. 12/2024, Pasal 18-22), semuanya diatur oleh menkes yang memposisikan diri sebagai Firaun Moderen, seorang Penguasa Tunggal alias Diktator bagi semua urusan mulai dari pendidikan, rekrutmen, sampai tatakelola seluruh tenaga kesehatan dan tenaga medis. Dalam PMK No.12/2024 Pasal 23, tentang tata kerja, tertulis Kolegium Kesehatan Indonesia memiliki tugas melakukan koordinasi pelaksanaan peran, tugas, fungsi, dan kewenangan kolegium tiap disiplin ilmu kesehatan sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh menkes. Di sini terlihat jelas sekali tidak adanya independensi Kolegium karena dikangkangi di bawah ketiak menkes.
UU No. 17/2023 serta PP No. 28/2024 dan PMK No. 12/2024 telah mengambil paksa alias merampok Lembaga Kolegium, dari tangan para putra terbaik bangsa dalam setiap bidang spesialis, dan menggantinya dengan para petugas menkes yang bekerja dan tunduk pada perintah menkes, dengan kriteria yang tidak jelas. Bisa jadi inilah kedunguan terbesar abad ini, yang akan menjadi awal kemunduran dan porak-porandanya sistem pendidikan dokter spesialis yang sudah baik saat ini kembali ke model Home Schooling (https://m.mediaindonesia.com/opini/628479/pendidikan-dokter-spesialis-bukan-home-schooling) seperti yang pernah kita alami 60-70 tahun yang lalu. Tentu saja langkah dungu ini akhirnya akan mengorbankan hak rakyat untuk memperoleh pelayanan kesehatan spesialistik yang berkualitas dan terjangkau.
Potensi Kerusakan dan Ancaman dari semua Langkah dan tindakan menkes saat ini
Semua langkah dan tindakan menkes dengan menggunakan UU 17/2023 dan peraturan pelaksanaannya, sebagaimana diuraikan di atas, selain tidak bisa diterima dalam sebuah masyarakat demokrasi, karena mengambil paksa banyak sekali peran dari Civil Society, juga amat berbahaya seperti ungkapan kata bijak seorang Lord Acton “Power tend to Corrupt, Absolute Power Corrupt Absolutely”. Ini semua juga mengingatkan kita tentang skandal ‘Pojok Maut’ di dalam kantor Kemenkes pada dekade tahun 1980-an, yang bisa mengatur penempatan seorang dokter yang baru lulus di manapun dengan imbalan senilai Mobil Kijang saat itu.
Apalagi bila fakta membuktikan bahwa menkes saat ini telah gagal menyelesaikan tugas kewajibannya yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Bidang kesehatan tahun 2020-2024 sebagaimana diungkap oleh ketua Bappenas dalam Rapat dengan Komisi IX DPR-RI tg. 23/6/2023 lalu (Katadata.co.id 5/6/2023). Menurut Perhimpunan Dokter Gigi (PDGI), dari 10.292 Puskesmas, ada 3285 (31,6%) Puskesmas yang tidak punya dokter gigi (https://databoks.katadata.co.id), padahal produksi dokter gigi saat ini mencapai 2500 orang setiap tahun. Jadi persoalan Distribusi Nakes dan Named tidak pernah terselesaikan, bukan cuma karena jumlah yang kurang, melainkan karena kebijakan yang salah.
Tidak terbayangkan bagaimana rakyat yang sakit gigi harus menderita tanpa solusi, karena tidak adanya dokter gigi tidak bisa digantikan oleh kehadiran seorang Elon Musk yang jualan internet mahal via broker lokal, dan cabut gigi belum bisa dikerjakan via Zoom atau Skype sekalipun. Mungkin yang patut kita acungi jempol terkait prestasi menkes kali ini adalah Posisi Indonesia yang Juara Nomor 1 untuk Penyakit Scabies (Kudis), Nomor 2 untuk TBC setelah India, serta Nomor 3 untuk Penyakit Kusta. Selamat untuk menkes dan seluruh jajarannya.
#Zainal Muttaqin, Pengampu Pendidikan Dokter Spesialis, Guru Besar FK Undip
Editor: Ariful Hakim