Ceknricek.com -- Ketua Umum Pandu Laut Nusantara Susi Pudjiastuti mengkritik kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono yang memberlakukan kuota sistem kontrak dalam kebijakan penangkapan ikan terukur.
"7 Wilayah Pengelolaan Perikanan ( WPP 'basah') diberikan untuk kuota industri. Hanya 3 WPP untuk kuota nelayan tradisional. Ini bertentangan dengan pernyataan Direktur Perikanan Tangkap yang sebelumnya menyatakan akan mengutamakan rakyat, baru industri," kata Susi.
Kritik Susi diposting di akun twitter pribadinya, Kamis (24/2/22) dan ditanggapi Wahyu Muryadi, Staf Khusus bidang komunikasi dan kebijakan publik sekaligus juru bicara Menteri Kelautan dan Perikanan, Jumat (25/2/22) pagi.
Susi menghendaki Menteri KKP melakukan peninjauan kembali rencana kuota dan konsesi wilayah tangkap di laut. “Sebaiknya pengelolaan laut tidak dijadikan atau disamakan seperti pengelolaan hutan dengan HPH-nya," kata Menteri KKP periode 2014-2029 itu.
Susi yang dihubungi kemarin membenarkan dan mengijinkan pernyataannya di twiter dikutip. Dia juga mengirimkan beberapa link berita yang sudah menyiarkan kritiknya. Susi menambahkan pernyataannya merupakan dukungan kepada 8 organisasi kelautan yang tergabung dalam KORAL (Koalisi NGO untuk Kelautan dan Perikanan).
Cara Barbar
Wahyu Muryadi, Staf Khusus bidang komunikasi dan kebijakan publik sekaligus jubir Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) menepis kritik Menteri KKP periode 2014 -2019 itu.
" Kebijakan KKP sekarang justeru untuk memperbaiki tata kelola penangkapan ikan di wilayah perairan RI, " kata wartawan senior mantan Pemred Tempo itu ketika dimintai tanggapan Jumat (25/2/22) pagi.
Selama ini, menurut Wahyu, negara hanya mengijon sumberdaya ikan kepada para pelaku usaha. Asal bayar perizinan sekian juta silakan tangkap ikannya. Sepuasnya. Barbar. Berapapun hasilnya --banyakan tidak tercatat, unreported-- menjadi rejeki pelaku usaha.
"Dalam catatan kami, nilai produksi tangkapan ikan yang dinikmati para pelaku usaha berkisar 224T dengan setoran PNBP (penerimaan negara bukan pajak) hanya 600M alias 0,02%. Seupil banget," paparnya.
Dia lantas membandingkan dengan Thailand yang lautnya lebih sempit tapi PNBP nya gede, kabarnya 35T. “Baru tahun lalu angka PNBP perikanan tembus 1T, " papar mantan host E-Talk TVOne itu.
Wahyu berharap kelak sistem itu diubah dengan tata kelola yang mengedepankan prinsip menjaga ekosistem dan biota laut demi kesehatan laut, dan kelestarian laut kita. Ada wilayah penangkapan perikanan/WPP 714 di sekitar Laut Banda yang dijadikan wilayah konservasi, tak boleh diambil pelaku usaha/industri. Ini dijadikan tempat pemijahan dan pengasuhan ikan (spawning and nursery ground).
Jumlah tangkapan ikan yang dibolehkan mengacu pada perhitungan Komnas Kajiskan diperkirakan untuk seluruh wilayah pengelolaan ikan RI maksimal 6 juta ton. Setiap peserta kontrak dan penerima kuota akan menyetor kepada negara dalam prosentase tertentu yang dihitung paska produksi alias ditimbang setelah menangkap ikannya.
Bertentangan dengan Komitmen
Sudi Pudjiastuti yang merupakan pendiri Pandu Laut Nusantara juga menyinggung soal adanya peralihan lahan yang tadinya merupakan wilayah konservasi menjadi zona industri. Ini dinilai bertentangan dengan komitmen Marine Protected Area.
"Ini tidak sesuai dengan pengelolaan perikanan yang memperhatikan dan melindungi keberlanjutan, " terangnya.
Sebelumnya, KORAL juga telah menggelar konferensi pers sebagai pernyataan sikap menolak rencana KKP soal penangkapan ikan terukur.
KORAL terdiri dari Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Pandu Laut Nusantara, EcoNusa, KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan), WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), Greenpeace Indonesia, ICEL (Indonesian Center of for Environmental Law), Destructive Fishing Watch (DFW), dan Yayasan Terangi.
"Kalau menangkap melebihi kuota akan dikenakan penalty dan dievaluasi saban tahun. Semua operasi ini akan dikontrol dengan teknologi satelit dan diawasi ditjen pengawasan sumberdaya kelautan dan perikanan/PSDKP. Sistem kuota ini sudah diterapkan di banyak negara maju, " sanggah Wahyu lagi.
Kapal bikinan asing atau PMA dibolehkan dengan syarat ketat, terutama kapalnya harus berbendera Merah Putih. ABK (anakbuah kapal) wajib semuanya WNI yang tentunya akan dibutuhkan rekrutmen dalam jumlah besar. Kapal wajib mendaratkan ikannya di pelabuhan perikanan tempat asal izin diberikan agar diproses di daerah tersebut sehingga daerah mendapatkan nilai tambah dan rejeki lainnya. Tidak boleh ada transhipment (alih angkut) di tengah laut. Tidak lagi Jawa sentris.
Kebijakan ini diharapkan bisa memicu pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah. Jadi hasil tangkapan ikan dari Maluku atau Sulawesi misalnya yang selama ini piknik, mati berkali-kali sebelum didaratkan di Pelabuhan Muara Baru Jakarta. Kelak tidak boleh lagi. Semuanya harus didaratkan di pelabuhan terdekat bahkan juga kelak bisa diekspor dari kawasan asal ikan ditangkap. Ini sekaligus perlu pembenahan dan revitalisasi pelabuhan perikanan RI di pelbagai daerah yang masih tradisional, tak dikelola dengan baik bahkan jorok. Investor asing dan domestik yang berminat merevitalisasi pelabuhan dipersilakan untuk kemudian mendapatkan hak kelola.
Wahyu Muryadi melanjutkan, kuota juga akan diberikan untuk zona industri, zona nelayan lokal (berbasis KTP), dan zona hobi/rekreasi semisal memancing. Intinya semua pemanfaatan sumberdaya laut dan ruang laut harus diatur.
Pemain domestik dan pemilik kapal existing masih diberi kesempatan untuk menangkap ikan dengan sistem paska produksi. Bahkan jika mereka berminat mengikuti sistem kontrak juga dipersilakan, termasuk nelayan tradisional berskala kecil (one day fishing di bawah 5 grosston) juga diberikan kuota penangkapan dengan membentuk koperasi yang diharapkan bisa meningkatkan pendapatan mereka.
"Pada akhirnya negara juga akan mendapatkan pemasukan dari aneka pajak (PPH PPN), ekspor dan PNBP, juga terjadi perputaran uang yang semarak di daerah-daerah pelabuhan perikanan menjadi moderen bersih dan sehat, rakyat utamanya nelayan kecil lebih sejahtera, " tambah Wahyu mengunci keterangan. (CR1).
Editor: Ariful Hakim