Potret Kita Lewat Pandemi, Pilkada, dan Omnibus Law | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Potret Kita Lewat Pandemi, Pilkada, dan Omnibus Law

Ceknricek.com -- Tiga hal yang sedang kita hadapi. Pandemi. Pilkada. Omnibus Law. Hal pertama, pandemi. Muncul tanpa diagendakan. Tak pernah diduga. Bikin heboh. Juga mengacaukan hampir segala lini kehidupan. Bukan hanya ekonomi dan politik yang sesungguhnya adalah aktivitas turunan. Tapi justru merasuk pada kehidupan sosial. Sehingga cara penangkalan satu-satunya yang secara ilmiah diakui paling efektif hari ini pun, adalah menjaga jarak (aktivitas) sosial. Social distancing.

Kegiatan sosial sejatinya mensyaratkan pertemuan. Agar satu dengan yang lain dapat berkomunikasi. Mempertukarkan gagasan, pemikiran, kepentingan, keinginan, kemampuan, perasaan hingga emosi.

Dari sanalah aktivitas ekonomi bermula. Juga kebudayaan, politik, bahkan keagamaan. Bisakah kegiatan-kegiatan itu hadir di tengah manusia, jika satu dengan lainnya tak pernah berinteraksi (komunikasi)?

*

Kehadiran teknologi memang telah memudahkan aktivitas sosial dan berbagai turunannya itu berlangsung. Semakin memampukannya tanpa perlu melakukan kontak yang bersifat fisik. Persyaratan yang kerap dibatasi oleh kendala jarak dan waktu. Dua hal yang justru terus-menerus dipermudah oleh perkembangan dan kemajuan teknologi tersebut. Sehingga aktivitas yang dilakukan semakin mungkin mengabaikannya.

Memang ada aktivitas yang mutlak mensyaratkan kontak atau pertemuan fisik. Berhubungan seksual, misalnya. Atau aktivitas yang memang membutuhkan kehadiran yang lain untuk melakukannya.

Meskipun demikian, banyak yang kini telah dimudahkan, justru tak ikhlas mensyukurinya. Bukan soal tak mampu. Tapi tak mau. Rangkaian pertemuan membahas RUU Cipta Kerja, misalnya. Bagi yang bersuka cita merayakan teknologi tersebut hari ini, tak ada alasan masuk akal yang mengharuskan pertemuan membahas hingga memutuskan omnibus law itu, perlu dilakukan di gedung parlemen maupun ruang-ruang rapat hotel. Bahkan literasi teknologinya sendiripun, tak lagi bisa dijadikan alasan.

Tapi mengapa semua kegiatan tersebut tak dilakukan dengan cara-cara yang sebetulnya, sangat berpeluang untuk menghindar dari kritik luas yang kini mengemuka?

Sebab, berlimpah ruahnya ketersediaan teknologi hari ini, telah memungkinkan pembahasan tersebut, tak perlu dilakukan secara terburu-buru. Bahkan bisa dilaksanakan terbuka. Mengedepankan prinsip transparansi. Juga mampu mengakomodasi kepentingan semua kalangan dengan jauh lebih baik.

*

Kenyataan di atas, sulit menyangkal tudingan soal ketidakbecusan kita dalam menyikapi pandemi ini. Sebab wabah tahun 2020 itu, sejatinya tak memperkenankan sedikitpun celah bagi sikap yang mendua. Terutama karena kehadirannya berlangsung di tengah budaya kontemporer 'post truth' yang juga sedang berkembang-biak. Salah satu ekses besar (collateral damage) lainnya dari kemajuan teknologi komunikasi yang harus kita hadapi.

Post truth memungkinkan 'penularan' masif tentang pemahaman liar dan keliru. Seperti kata pengendara taksi yang saya tumpangi siang kemarin.

"Pasti ada yang sengaja menyebarkan kabar bohong soal virus corona ini, pak. Banyak sekali rakyat yang hidupnya kesusahan sekarang."

"Gak pernah takut, pak?"

"Dulu waktu mula-mula saya khawatir. Tapi kemarin ada tetangga yang pernah kena. Kini sudah sembuh dan beraktivitas kembali. Asal jaga diri saja, pak. Kalau gak, istri dan anak-anak saya, makan apa?"

*

Dualisme sikap menghadapi pandemi ini, bukan hanya dipertontonkan pemerintah dan wakil rakyat dalam proses legislasi omnibus law 'cilaka'. Tapi juga urusan pemilihan kepala daerah yang sampai hari ini tetap dijdwalkan berlangsung, sebelum akhir tahun. Di tengah lonjakan kasus maupun jumlah korban meninggal yang justru sedang meningkat tajam. Padahal, aktivitas demokrasi serupa yang beberapa bulan lalu mestinya telah berlangsung, pernah dibatalkan. Meski saat putusan itu dilakukan, jumlah kasus dan angka kematian terkait covid-19, sebetulnya masih terpaut jauh lebih rendah dibanding hari ini.

Akibatnya, pemahaman masyarakat terhadap narasi kebijakan, agar masyarakat mematuhi protokol kesehatan untuk menghindari penyebarluasan virus corona, jadi tumpang tindih. Berbagai dualisme itu malah menimbulkan ketidakjelasan yang membingungkan. Justru tidak efektif dalam hal membangun keyakinan perlunya upaya bersama dan partisipasi berbagai pihak, agar penyebaran virus dan angka kematiannya, dapat kita tekan. Bahkan hentikan.

*

Hari ini, sebagian kalangan masyarakat mumgkin terjebak di tengah kekacauan yang membingungkan. Hal yang menyebabkan pemahaman yang lebih absurd dari supir taksi di atas, berkembang semakin liar. Maka tak mengherankan jika kerumunan di sekitar kita tetap saja terjadi.

Tuntutan nafkah hidup, turut memberatkan pilihannya. Bukan sepenuhnya karena tak khawatir terhadap ancaman kematian virus corona terhadap diri maupun keluarga dekat mereka. Data saldo rata-rata pada 98,2% rekening tabungan bank Indonesia senilai Rp 2,9 juta pada bulan Mei lalu (lihat: Cashflow #2: Ada Apa Dengan Oligarki? 16 Juli 2020) telah dengan gamblang menjelaskannya. Bahwa sebagian besar masyarakat tak memiliki kemampuan memadai untuk bertahan hidup dengan hanya berdiam diri di rumah. Walau untuk sementara waktu. Karena tuntutan nafkah agar dapat menghidupi keluarganya.

*

Kebimbangan yang berkembang gara-gara narasi tumpang-tindih dan kacau-balau yang terbangun dari penyikapan yang dilakukan terhadap pandemi, pilkada, dan omnibus law, dikhawatirkan bakal semakin memperumit keadaan kita. Jalan untuk memulihkan kondisi ekonomi yang sudah morat-marit ini, malah semakin berkabut. Sebab, kekuatan yang selama ini kita bangga-banggakan itu, sesungguhnya bersumber dari konsumsi masyarakat. Bukan karena kepiawaian memberdayakan nilai tambah atas sumberdaya yang dikuasai.

Hal tersebut menjelaskan mengapa penurunan PDB kita (-5,4%) relatif lebih baik dibanding negara-negara lain (Our World in Data: Singapore -13,2%, Filipina -16,5%, Malaysia -17,1%)

*

Sebetulnya, berdasarkan fakta yang terungkap selama ini, covid-19 paling banyak mengancam kelompok usia lanjut dan memiliki penyakit bawaan. Sebagaimana yang kita lihat pada data kematian sesuai kelompok umur di Amerika, terlampir.

Dengan demikian, wajarlah jika kegelisahan paling tinggi juga merebak di kalangan masyarakat pada kelompok usia tersebut. Hal ini bukan berarti kelompok umur yang lebih muda tak merasakan kekhawatiran serupa. Sebab, meski resiko kematian pada usianya relatif rendah, mereka tetap tak menginginkan nasib buruk menimpa anggota keluarga yang lebih tua di rumahnya masing-masing.

Tapi bagaimana pun, sangatlah wajar jika kalangan yang rentan sering merasa lebih khawatir dibanding yang lain. Lalu cerewet dan mendengungkan kegelisahannya ke mana-mana. Agar seluruh masyarakat bahu-membahu menghalau penyebaran virus.

Kemungkinan, sebagian besar kalangan pemimpin maupun pengambil keputusan di lingkungan politik, pemerintahan, swasta, maupun kelompok atau organisasi masyarakat, berada pada rentang usia yang rentan terhadap ancaman covid-19 itu.

Di Amerika Serikat yang data jumlah masyarakat tertular maupun meninggal dunia karena Covid-19 tertinggi saat ini, korban yang kematiannya memiliki kaitan dengan infeksi virus itu, sesungguhnya hanya 9,28% dari keseluruhan penduduk yang meninggal dunia hingga 2 Oktober 2020. Sementara seluruh warganya yang meninggal sepanjang tahun 2020 ini tercatat 2.105.460 jiwa atau 0,65% dari jumlah penduduk mereka.

*

Jadi, jika kita sungguh-sungguh ingin menggalang gotong-royong untuk menghadapi Covid-19 ini, perlu dicamkan bahwa pengorbanan harus mulai dilakukan dari diri masing-masing.

Covid-19 sebetulnya sedang menuntut kita semua untuk belajar ikhlas mengorbankan ambisi kekuasaan politik, ekonomi, dan bisnis pribadi. Pilkada dan omnibus law di tengah pandemi, justru mencerminkan hal yang berseberangan.

Maka jika kekecewaan bertebaran dan memuncak dengan aksi turun ke jalan -- kemudian justru menciptakan peluang kerumunan yang mestinya kita hindari -- peluang penularan dan jatuhnya korban virus corona kemungkinan akan semakin besar.

Jika ingin meminta pengertian mereka, untuk mengecilkan bahkan meniadakan peluang virus corona menghampiri Anda maupun keluarga di rumah, korbankanlah dulu ambisi kekuasaan politik, ekonomi, maupun bisnis pribadi masing-masing 

Sebaliknya, pacu dan kembangkanlah semangat dalam diri sendiri, untuk dapat menolong sebanyak-banyaknya di sekitar kita. Tanpa harus diketahui atau dimaklumi pasangan hidup Anda sekalipun. Apalagi orang lain...

Baca juga: Menko Polhukam Himbau Paslon Pilkada Berkampanye Kreatif Dengan Protokol Kesehatan

Baca juga: Kepingin Tahu Apa Itu OMNI BUS LAW      



Berita Terkait