Praktek Kedokteran Harus Sesuai Kompetensi dan Dalam Bingkai Evidence Based Medicine (2) | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Praktek Kedokteran Harus Sesuai Kompetensi dan Dalam Bingkai Evidence Based Medicine (2)

-Menjawab renungan akhir tahun menkes soal mutu layanan

Ceknricek.com--Dalam rangka menjaga mutu layanan profesi, seorang dokter hanya diperbolehkan berpraktek sesuai dengan kompetensinya. Setiap jenis kompetensi medis harus dilandasi terpenuhinya syarat penguasaan ‘body of knowledge’ dengan bukti lulus uji kompetensi yang ditentukan oleh setiap Kolegium Bidang Ilmu (termasuk Kolegium Dokter Indonesia untuk Dokter Umum).

Saudara menkes mengharapkan dokter terus meningkatkan mutu layanan. Hal penting terkait mutu layanan dan keselamatan pasien adalah, praktek kedokteran harus berlandaskan pada Evidence Based Medicine (EBM), bukan atas dasar testimoni pejabat sampai mantan presiden sekalipun. Selama tidak berbasis EBM, itu bukan praktek kedokteran, tapi praktek perdukunan, sekalipun itu dilakukan di RS Vertikal oleh dokter bergelar Prof. Doktor., MSc., Ph.D., Dsb.

Jauh sebelum kehadiran saudara sebagai menkes, seluruh kolegium spesialis (yang tergabung dalam Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia atau MKKI) bersama Konsil Kedokteran telah mengatur dan menyepakati arah linearitas pendalaman dan percabangan ilmu/ subspesialisasi dari setiap bidang Ilmu Kedokteran. Bahkan adanya overlap kompetensi antara beberapa jenis subspesialisasi (misalnya pada kasus patah rahang bawah, antara Bedah Plastik dan Bedah Mulut), semuanya telah diharmonisasi dan telah menjadi ketentuan hukum yang tertulis dalam lembaran Negara RI berupa Peraturan Konsil (Perkonsil).

Sebagai contoh, kompetensi untuk melakukan tindakan bedah pada tulang belakang hanya diberikan kepada spesialis Ortopedi dan Bedah Saraf. Jadi, untuk pendalaman kompetensi atau subspesialisasi Onkologi/ tumor di tulang belakang, maka linearitas pendalaman ilmu tersebut tentunya hanya berlaku bagi spesialis Ortopedi dan spesialis Bedah Saraf.

Bagaimana dengan spesialis Bedah Onkologi misalnya, meskipun kasusnya Onkologi/ Tumor, tapi lokasi tumornya di tulang belakang atau diluar wilayah kompetensi seorang Spesialis Bedah Onkologi. Jadi, dalam bidang Bedah Onkologi tidak mungkin ada linearitas pendalaman kompetensi/ subspesialisasi Onkologi/ Tumor tulang belakang.

Ketentuan yang sama juga berlaku untuk kompetensi terkait Imunologi dan Imunoterapi, yang hanya dimiliki dokter spesialis THT, spesialis Kulit-Kelamin, spesialis Penyakit Dalam, spesialis Anak, dan spesialis Parasitologi Klinis. Terkait dengan linearitas pendalaman keilmuan inilah, amat mustahil alias tidak mungkin bila seorang spesialis Radiologi mendalami subspesialisasi Imunologi atau Imunoterapi, kecuali bila dalam pendidikan spesialis radiologi ada cabang ilmu radioimunologi atau radioimunoterapi. Hal ini sama dengan tidak mungkinnya saya sebagai spesialis Bedah Saraf untuk mendalami subspesialis Ginjal dan Saluran Kemih (meskipun di dalam organ tsb. ada sarafnya).

Tapi fakta yang terlihat nyata di depan mata, Praktek Perdukunan ala Ponari berupa layanan kesehatan berbasis testimoni dan pengobatan yang belum berbasis EBM, serta dilakukan oleh dokter dengan kompetensi yang tidak sesuai (penyuntikan stemcell oleh dokter hewan, atau oleh dokter spesialis Patologi Anatomi, dan Imunoterapi oleh dokter spesialis Radiologi) terus bermunculan dan berlangsung secara resmi. Praktek Pengobatan Kedokteran yang tidak sesuai dengan Moral dan Disiplin Profesi tersebut bahkan terjadi di depan kelopak mata menkes, yaitu di RS milik Negara (contohnya di RSPAD Jakarta dan RS Bhayangkara Surabaya), dan banyak RS lain serta klinik-klinik Stemcell / Imunoterapi di banyak kota besar.

Terjadinya penyimpangan atas ketentuan terkait pendalaman kompetensi/ subspesialisasi yang tidak sesuai percabangan ilmu, demi kepentingan komersial ini jelas bakal membahayakan keselamatan pasien penerima layanan medis. Pembiaran oleh otoritas negara (baca: menkes) terhadap penyimpangan kompetensi ini pasti bakal menjadi bahan lelucon abad XXI di negeri Konoha yang memang sudah lucu.

Lebih mengerikan lagi adalah, negeri Konoha ini seolah jadi rimba belantara uji coba obat pada manusia, tanpa ada otoritas yang berani menegakkan aturan hukum yang berlaku. Kalau anda menganggap semua itu termasuk dalam ‘riset berbasis pelayanan’, mengapa biaya riset yang nilainya bisa puluhan sampai ratusan juta dibebankan kepada pasien ? Benarkah pasien memperoleh penjelasan bahwa suntikan stemcell atau tidakan Cuci Otak (Brainwash atau Intra Arterial Heparin Flushing/ IAHF) tersebut belum memiliki bukti manfaat yang valid sesuai EBM? Lebih penting lagi apakah semua klinik atau RS tersebut benar-benar memiliki proposal/ design riset yang memenuhi ketentuan Deklarasi Helsinki karena melibatkan manusia sebagai hewan percobaan? Lalu adakah komite etik independen yang bertanggung jawab menilai dan mengawasi ‘riset’ berbasis pelayanan tsb.? Seolah negeri ini tidak memiliki otoritas bidang kesehatan sama sekali.

Kolegium Profesi Spesialis adalah sebuah Academic Body yang mandiri, tanpa ada conflict of interest, hanya tunduk pada kebenaran Sains yang Universal, yang selama ini menjadi rujukan mutu dan standar kompetensi bagi para dokter dalam berpraktek profesi. Saudara menkes, di satu sisi anda meminta para dokter untuk terus menjaga dan meningkatkan mutu layanan profesi sesuai kompetensi, tetapi di sisi lain anda mati-matian dengan penggunaan kekuasaan secara arogan (Permenkes 12/2024), bahkan sampai meminjam tangan Kemenkumham (surat Dirjen AHU No. AHU-AH.01-252), berusaha membegal dan menganeksasi Kolegium Spesialis milik Profesi.

Terbaca jelas tujuan anda menguasai Kolegium untuk bisa mengatur, memperdaya, dan memanipulasi kompetensi profesi mengikuti kepentingan ekonomi dan industri RS, dan menjadikan kesehatan rakyat sebagai obyek bisnis mencari untung sesuai kehendak pemilik modal (Oligarki). Tujuan-tujuan kotor tersebut jelas bertentangan dengan moral profesi kedokteran, dan ujungnya pasti akan mengorbankan hak rakyat banyak untuk memperoleh layanan kesehatan spesialistik yang berkualitas, terjangkau, adil, dan merata.

Selaku otoritas negara di bidang kesehatan anda sedang melakukan pembiaran pelbagai bentuk praktek profesi tanpa landasan kompetensi yang benar, praktek profesi dengan linearitas pendalaman kompetensi/ subspesialisasi yang tidak benar, dan praktek pengobatan yang belum berlandaskan EBM tapi berbayar mahal (penyuntikan sel punca dan Imunoterapi untuk 1000 macam penyakit, praktek IAHF/ Brainwash), yang hanya memanfaatkan ketidaktahuan pasien demi keuntungan materi. Selaku otoritas, semestinya saudara menkes harus ikut bertanggung jawab atas kegagalan/ komplikasi pengobatan dan korban-korban yang tidak punya akses untuk melaporkan kasusnya ke ranah yang seharusnya.

Pertanyaan besarnya, benarkah dugaan bahwa pembiaran ini terkait dengan nilai bisnis dari berbagai bentuk ‘Praktek Perdukunan’ atas nama ‘Riset berbasis Pelayanan’ tersebut memiliki omzet bernilai ratusan juta sampai milyaran rupiah setiap bulannya? Atau karena bukan dokter, anda memang benar-benar tidak memahami makna kompetensi dan linearitas percabangan dan pendalaman ilmu/ subspesialisasi, serta apa itu EBM dan Deklarasi Helsinki tentang riset obat pada manusia. Atau jangan jangan tidak seorangpun petinggi di kantor kemenkes yang berani jujur untuk berkata bahwa anda salah pak menteri,….atau para ‘staf ahli’ tersebut hanyalah manusia-manusia pembebek yang berkumpul di kantor kemenkes.

#Zainal Muttaqin; Praktisi Medis dan Pengampu Pendidikan Dokter Spesialis


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait