Ceknricek.com -- Judul tulisan ini merupakan tanggapan seorang pahlawan Inggris, Duke of Wellington, ketika perempuan yang pernah menjadi selingkuhannya mengancam akan menerbitkan surat-surat "cinta" yang pernah diterimanya dari sang pahlawan.
Patut diketahui yang namanya Duke of Wellington (sebuah gelar kebangsawanan yang diterimanya karena jasa-jasanya di medan laga, khusus di abad ke-19) bukan hanya seorang panglima yang mumpuni melainkan juga pernah sebanyak dua kali menjadi perdana menteri Inggris.
Barangkali salah satu kejayaannya yang paling dikenal dalam pertarungan melawan musuh-musuh Inggris (baik di Eropa maupun India) yang pernah dilakoninya adalah di medan laga Waterloo.
Pada tanggal 18 Juni 1815 Duke of Wellington memimpin bala tentara yang dikerahkan oleh Inggris ke Waterloo, kini bagian dari Belgia, untuk berhadapan dengan kekuatan Prancis di bawah pimpinan Napoleon Bonparte. Napoleon kalah telak dan kemudian mengakhiri hidupnya dalam pengasingan di St. Helene.
Ada yang mengatakan bahwa kekalahan pasukan Prancis waktu itu bukanlah karena Inggris (Duke of Wellington) lebih unggul, melainkan karena kebetulan pada hari pertarungan akan berkobar, Napoleon yang sedianya akan memimpin anak buahnya ke medan laga, mendadak kambuh bawasirnya hingga dia tidak dapat menunggang kudanya. Sejarah masih harus mengukuhkan apakah ini yang sebenarnya terjadi atau hanya dalih semata.
Lalu apa kaitannya dengan "publish and be damned", yang pernah diucapkan oleh Duke of Wellington?
Ternyata mantan selingkuhannya Harriette Wilson tidak tinggal diam setelah, seakan, diperlakukan laksana "habis manis sepah dibuang." Harriete Wilson menulis memoir (kenang-kenangan) tentang dirinya dan menyertakan dalam tulisan tersebut surat-surat cinta yang pernah diterimanya dari Duke of Wellington.
Pihak penerbit kenang-kenangan itu, sebelum mencetaknya menghubungi Duke of Wellington, kabarnya dengan ancaman akan menerbitkan seluruh isi surat-surat cinta itu, kalau Duke of Wellington tidak memberi semacam "ganti rugi" kepada Harriette Wilson. Sang pahlawan ternyata sama sekali tidak gentar dan tidak bisa diperas atau ditakut-takuti.
Dalam jawabannya kepada sang penerbit, begitu dilaporkan, dengan tinta merah dia menulis "publish and be damned" yang biasa diterjemahkan sebagai "silahkan saja terbitkan emangnya gue pikirin?" - begitu kira-kira.
Dalam kaitan ini kita tentu teringat akan salah satu puisi yang pernah ditulis oleh pujangga Inggris William Congreve (1670-1729) tentang amukan angkara murka seorang wanita yang dikecewakan dalam percintaan.
Konon tidak ada manusia yang lebih besar amarahnya daripada seorang perempuan yang dikecewakan dalam percintaan. Dalam susunan kata-kata (dalam bahasa Inggris) yang indah sekali, William Congreve, menulis, antara lain:
"Heaven hath no rage like love to hatred turned; No hell a fury like a woman scorned."
Dalam khazanah kosa kata bahasa Inggris memang banyak sekali kata-kata yang serupa tapi tidak sama artinya (sinonim). Karenanya puisi-puisi dalam bahasa Inggris terkesan begitu menarik.
Arti dari ungkapan William Congreve itu adalah:
"Amarah akhirat tidak sampai sedahsyat cinta yang berubah menjadi kebencian;
Sementara kegeraman neraka tidak sampai menyeramkan seperti perempuan yang dikecewakan dalam percintaan."
Harus diakui bahwa terjemahan ke dalam bahasa Indonesia yang penulis lakukan tidaklah setepat atau seindah aslinya dalam bahasa Inggris.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah, apakah pandangan pujangga William Congreve yang tertuang dalam bait-bait sajaknya itu, hanya berlaku untuk perempuan.
Bagaimana dengan lelaki yang juga dikecewakan dalam percintaan? Samakah amukan angkara murkanya? Allahu a'lam.
Editor: Ariful Hakim