Rangkaian Ngopi Imajiner: Baim, Nikita dan Habermas | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Rangkaian Ngopi Imajiner: Baim, Nikita dan Habermas

Ceknricek.com-- ‘’Apa kabar Gus, sehat selalu njih? Korona sudah melandai, moga tidak ada gelombang baru lagi. Kali ini lagi ramai dibicarakan soal Baim Wong yang memarahi Kakek Suhud, ramai dihujat, Nikita Mirzani ikut terlibat, bagaimana menurut pandangan njenengan Gus?’’

‘’Alhamdullillah Mas, yang penting seger waras, selamet, biar aja Baim Nikita Suhut ribut-ribut, sekalian agar si Rocky Gerung ada temannya dan tak mendominasi media sosial, gitu aja kok repot hehehe...Tapi agaknya kita perlu sedikit belajar tentang filsafat nih, khususnya dari salah satu generasi Mazhab Frankfurt yang terkenal, Juergen Habermas. Nah, biar sampeyan nggak bingung coba saya sederhanakan saja dan to the point yaa..’’ Ah, rupanya Gus Dur mengerti apa yang saya khawatirkan, soal dunia selebritas kok dibahas dengan filsafat?

‘’Silang-sengkarut yang berujung damai gegara Baim Wong dan Kakek Suhut yang ditimpali si Nikita yang seksi tak bisa dilepaskan dari pembahasan tentang ruang publik. Merujuk si Habermas, ruang publik itu terbentuk seiring dengan munculnya kapitalisme-uang dan kapitalisme-niaga awal (early finance and trade capitalism), di mana saudagar alias pelaku usaha membutuhkan pertukaran informasi dan berita-berita yang dipublikasikan bagi kelancaran bisnisnya. Istilah ‘publik’ dalam hal ini sebenarnya secara sempit di-sinonim-kan dengan ‘apa pun yang terkait dengan negara’. Lebih lanjut menurut Habermas, di dalam model liberal ruang publik, media massa memainkan peran penting dalam menginformasikan dan memandu opini publik, terutama sejak masyarakat secara simultan mulai menghilangkan batas-batas gender, kelas, ras serta sekat-sekat lainnya. Patut pula dicamkan bahwa komersialisasi media massa, menjadikan ruang publik sebagai area retorika dan misi-misi public relations dan periklanan yang justru diprioritaskan. Kepentingan komersial, kapitalisasi ekonomi, dan mainstream media tak jarang menjadikan ruang publik penuh kompromi serta wacana publik yang terkolonisasi dan terkontaminasi, dengan televisi dan media massa elektronik sebagai garda depan (Habermas dalam Papacharissi, 2010, p. 116). Namun, itu dulu, jadul.

Saat ini, batasan ruang publik dan ruang privat menjadi sumir diterabas habis oleh teknologi informasi beserta derivatifnya dalam aneka rupa ragam media sosial (medsos). Paradoksal melalui media sosial (online) bisa dikatakan sebagai imitasi kehidupan di dunia maya,kendati hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut. Dunia digital online adalah media yang privat, ia dapat menembus wilayah-wilayah yang hanya dapat dimasuki oleh si pengguna sendiri. Namun secara bersamaan, dalam suatu isu yang membetot perhatian, media online seperti koin mata uang yang menghadirkan privasi dan publikasi secara bersamaan. Ia ruang publik virtual yang paling diminati saat ini. Pengguna tanpa perlu menampilkan status sosialnya dapat bersama-sama dan timbal balik menyampaikan pendapatnya. Media online bukan saja merupakan infrastruktur, tapi lebih dari itu ia merupakan sarana elaborasi pemikiran dengan sudut pandangnya masing-masing. Dengan demikian, seolah-olah, pengguna media sosial merupakan agen ‘perkasa’ karena tidak selalu setuju dengan isi media massa konvensional maupun pihak yang berpolemik, misalnya.

Pengguna dapat memilih sendiri isu-isu yang sesuai dengan minatnya. Sebuah isu yang menjadi trending topic bisa bertahan hingga waktu lama, bahkan ketika isu itu sendiri sudah tidak lagi menjadi prioritas bagi media konvensional. Sebaliknya, tatkala media konvensional  mainstream tidak lagi mampu menjadi saluran bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapatnya kepada para pengambil kebijakan, maka media virtual-lah yang justru mampu mengakomodir kegelisahan tersebut dalam menggemakan tuntutannya.

Hal ini membuktikan bahwa teknologi digital memungkinkan adanya suatu area terbuka, yang aksesibilitasnya dapat dilakukan baik secara publik maupun privat, ketimbang sekedar ruang publik konvensional. Area ini mengakomodir berbagai bentuk publisitas maupun privasi, dan menggabungkan kepentingan pribadi dan kepentingan publik secara bersamaan. Ruang publik dan privat bukan lagi merupakan wilayah yang bertolak belakang, namun telah direpresentasikan karena adanya konvergensi teknologi (Papacharissi, 2010). Hal inilah yang secara jeli dimanfaatkan oleh para selebriti yang menjadi youtuber atau para youtuber yang kemudian menahbiskan diri selaku public figure gegara ketenaran kontennya, adalah fenomena kekinian nan lumrah.

Adapun dunia media massa mainstream tampak kian berjarak dengan dunia nyata dikarenakan adanya jeda waktu  dan lingkup coverage area-nya yang terbatas dibanding, misalnya, dengan jurnalisme khalayak yang bersicepat nan masif. Hal ini menjadikan media massa mainstream seolah kehilangan kepercayaan diri akan visi-misi ideal yang diembannya sebagai salah satu pilar demokrasi dan kearifan publik (public virtue). Sehingga kita makin dibuat bingung apakah media mainstream yang menjadi kerbau ataukah dia menjadi anak kerbau yang mengikuti si induk yakni geliat media sosial dalam jaringan yang begitu bersicepat dan seolah tak terputus (un-interrupted).

Ambil contoh, fenomena banjir tagar (#) adalah salah satu bentuk partisipasi publik dalam sebuah topik yang awalnya adalah bahasan utama media mainstream. Semakin banyak tagar yang dikomentari, semakin besar kemungkinan topik tersebut diminati. Respon yang ditunjukan meliputi bentuk positif maupun negatif, dalam berbagai komentar, gambar, audio-visual yang pro dan kontra. Terlepas dari apa pun berita atas topik yang ditulis media mainstream pada awalnya, reaksi publik para pengguna media online yang muncul kadang di luar dugaan. Budaya dan identitas dengan jaringan memungkinkan sebuah isu bagaikan bola salju yang semakin besar dalam perjalanannya. Pengguna media sosial dapat dengan mudah membagi dan menambah lagi reaksinya pada sebuah isu yang diangkat. Hal inilah yang kemudian ‘memberi tekanan’ pada media konvensional untuk membebek mengikuti arus perhatian khalayak agar beroleh atensi yang meningkatkan rating iklannya.

Pada akhirnya, semua bermuara pada UUD: ujung-ujungnya duit, gitu aja koq repot...wis ya Mas, capek saya ngomong terus sedang sampeyan cuma mantuk-mantuk..sing akademisi iki sopo thoo..??’’ Saya hanya garuk-garuk kepala yang tak gatal, ah Gus Dur memang seng ada lawan...

#Greg Teguh Santoso, akademisi dan pemikir bebas


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait