Rangkaian Ngopi Imajiner; Tabula Rasa dan Rachel Vennya | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Rangkaian Ngopi Imajiner; Tabula Rasa dan Rachel Vennya

Ceknricek.com--‘’Saya panggil sampeyan Mas, sudah gak sabar rasanya...pengen melanjutkan ngopi tentang perempuan lagi nih..hehehe..mengasyikkan dan menyegarkan..walau tetap ada bulir-bulir hikmah dan pemahaman yang bisa kita gali bersama, betul?’’ Saya agak gelagapan menjawab ‘’Leres Gus, asyik sekali..kali ini sedang ramai tentang.....’’

‘’Tentang si Rachel Vennya kan...hahaha..saya sudah paham pasti hal itu yang sampeyan ingin obrolin kali ini...di alam sini semua serba terbuka dan bisa dibaca...termasuk isi pikiran dan perasaan hehehe...gitu aja koq repot...’’ Saya jadi tertegun, agak takut dan khawatir tetapi senang juga karena Gus Dur semangat dan bergairah melanjutkan obrolan pintar kita.

‘’Si Rachel ini memang selegram sukses, terlepas dari segala kontroversinya, saya tetap menghargai upayanya menapaki tangga kesuksesan hingga seperti sekarang. Perihal kenekadannya ‘lari’ dari proses karantina gegara pandemi si Korona, itu memang ranah hukum yang mesti ditegakkan. Tak terkecuali soal plat nomor kendaraannya yang saat ini tengah disidik Polda Metro Jaya. Bila kita sudi menelisik ke belakang secara cermat dan jujur, fenomena ini bukan hanya dilakukan oleh Rachel Vennya belaka. Dalam beragam kasus, banyak kaum public figure yang berasa ‘istimewa pake telor beragam previlledge’ agar lepas dari jerat hukum dan/atau etika kelaziman hidup bernegara dan bermasyarakat alias menanggalkan ketertiban. Dalam kasus jerat narkoba, misalnya, banyak artis atau figur publik lainnya berdalih dalam adagium ‘korban’ tinimbang secara jantan mengakui kesalahannya dan meminta maaf seperti si Rachel.

Kendati secara fitrah kemanusiaan, saya pribadi tetap berupaya memahaminya, sebagaimana didaraskan filsuf muslim nan masyur Ibnu Sina alias Avicenna sejak masa 1100 Masehi lalu tentang tabula rasa. Tabula rasa (berakar dari bahasa Latin yang secara harafiah berarti kertas kosong), merujuk pada pandangan epistemologi bahwa seorang manusia lahir tanpa isi mental bawaan, dengan kata lain "kosong". Pada umumnya para pendukung pandangan tabula rasa akan melihat bahwa pengalamanlah yang berpengaruh terhadap kepribadian, perilaku sosial dan emosional, serta kecerdasan. Ini patut dicamkan lhoo.

Agak salah kaprah juga bila ada yang menyebutkan bila hipotesis tabularasa pertama kali diperkenalkan oleh John Locke seorang tokoh empirisme yang sangat terkenal, dan kemudian dikembangkan oleh John Watson seorang tokoh aliran behaviorisme dalam psikolinguistik. Memang harus diakui kedua tokoh inilah yang mengusung tabularasa dalam ranah pemikiran filosofis barat walau sebelumnya sudah pernah disinggung dan diungkapkan oleh Ibnu Sina yang telah menulis lebih 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar termasuk bidang kedokteran dengan karyanya yang paling terkenal adalah Kitab Penyembuhan dan Qanun Kedokteran (Al-Qanun fi At Tibb).

Dalam hipotesis Locke terkait tabula rasa juga menekan mengenai kebebasan individu untuk mengisi jiwanya sendiri, memilih jalan hidupnya. Setiap individu lepas sama sekali dalam mendefinisikan isi dari karakternya - namun identitas dasarnya sebagai umat manusia tidak bisa diwakili. Dari asumsi mengenai jiwa yang lepas sama sekali dan ditentukan sendiri serta dikombinasikan dengan kodrat manusia inilah lahir doktrin Lockean mengenai apa yang disebut alami (nature).

Jadi, hipotesis tabularasa mengapungkan anggapan bahwa semua pengetahuan dalam diri manusia yang tampak dari perilakunya keseharian adalah merupakan hasil dari proses integrasi beragam peristiwa yang diamati dan dialami oleh manusia itu sendiri. Lebih lanjut, menurut hipotesis tabularasa, semua pengetahuan dalam diri manusia yang tampak dari perilaku keseharian dan interaksi dinamis yang dijalani, adalah berhubungan dengan pandangan kaum behaviorisme yang beranggapan bahwa pengetahuan suatu subyek itu terdiri dari serangkaian hubungan yang dibentuk oleh Stimulus dan Respon. Nah, pada titik inilah kita bisa mencoba memahami perbuatan yang dilakukan oleh si Rachel Vennya dengan dibantu oleh beberapa oknum guna mempercepat proses karantina alias mangkir, tentu tak dapat dipisahkan dari ‘pengalaman’ menyaksikan fenomena serupa dalam keseharian khalayak yang dianggap galib.

Tanpa bermaksud saling menyalahkan, dalam hal ini sudah nyaris menjadi ‘wajar’ di bumi Nusantara bila segala sesuatnya bisa diatur asalkan ada sumberdaya yang memadai, khususnya oleh mereka yang berpunya alias the Have. Aneka eufimisme bahasa dan tindakan yang melebar dari tegaknya aturan main telah menjadi adab kebiasaan dan berujung makin permisifnya khalayak, khususnya di ranah media sosial dan virtual. Menjadi pertanyaan reflektif bagi kita semua: adakah pernyataan maaf si Rachel sungguh mencerminkan kesadaran hakiki atas pelanggaran yang telah dilakukannya serta menuntunnya pada fitrah merasa terlahir kembali; tabula rasa? Adakah kita seluruh masyarakat Indonesia juga kembali ‘kosong’ akan segala praktik kolutif-koruptif-nepotif dalam segala rupa derivatifnya? Gitu aja koq repot...sudah dulu ah, sampeyan mulai bingung kan...garuk-garuk kepala saja...sudah cuci rambut belum?’’ tukas Gus Dur sambil melengos pergi dan tersisa saya yang kian bingung dan garuk-garuk kepala lagi...

*)Greg Teguh Santoso, akademisi dan pemikir bebas, sedang menuntut ilmu di NDHU Taiwan, berumah di versatilistmilenial2020@gmail.com


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait