Rentenir Daring Itu Sangat Kejam | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber : Kontan

Rentenir Daring Itu Sangat Kejam

Ceknricek.com -- Berhati-hatilah berurusan dengan rentenir dalam jaringan atau fintech (financial technology), boleh juga disebut teknologi finansial (tekfin). Salah-salah nama baik Anda dijembreng-jembreng nggak karuan. Mereka memiliki tukang tagih yang biadab.

Contoh korban paling gres adalah Yuliana Indrati. Sejak Selasa, 23 Juli 2019 lalu, poster wajah perempuan ini tersebar luas di sejumlah media sosial. Poster foto Yuliana yang mengenakan kaos putih bergaris horisontal hitam dengan tulisan di bawah foto nama lengkap Yuliana Indriati dan nama keluarga Kristina.

Tulisan lain: "Dengan ini saya menyatakan bahwa saya rela digilir seharga Rp1.054.000 untuk melunasi hutang saya di aplikasi INCASH. Dijamin puas." Di dalam poster itu juga tercantum nomor ponsel Yuliana. 

Poster tersebut dibuat oleh fintech ilegal yang memberikan pinjaman. "Saya ditekan oleh pemberi pinjaman online. Saya malu, stres," kata Yuliana kepada Tempo, Rabu, 24 Juli 2019.

Sumber : Fintech

Perempuan ini bercerita, awalnya ia meminjam di aplikasi Incash. Dia meminjam Rp1 juta, namun hanya terima Rp650 ribu. Pada tanggal jatuh tempo, Yuliana belum bisa membayar. "Telat dua hari saya diancam dan diintimidasi sampai kemarin," katanya. Poster tersebut menyebar ke kontak teman-temannya yang ada di nomor ponselnya. 

Korban seperti Yuliana sudah banyak. Kendati demikian, praktik pinjaman online ilegal tersebut makin banyak saja. Dengan iming-iming praktis dan cepat, aplikasi pinjaman online tumbuh bak jamur di musim hujan.

Dalam laporan terkini yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Mei 2019 total akumulasi pinjaman fintech P2P lending tercatat sebesar Rp41,04 triliun (year to date /ytd) atau naik 81,06%. Adapun outstanding pinjaman naik 64,9% menjadi Rp8,32 triliun.

OJK mencatat ada sekitar 1.087 perusahaan fintech ilegal yang beroperasi saat ini. Jumlah tersebut melebihi jumlah fintech legal yang terdaftar di OJK, yakni sebanyak 113 perusahaan.

Perusahaan-perusahaan itu beroperasi dengan skema peer to peer (P2P) lending alias menyalurkan pinjaman langsung kepada individu maupun kelompok atau sebaliknya melalui fasilitas online. Pihak OJK mengklaim telah menyetop layanan fintech ilegal tersebut pada Mei lalu.

Kendati demikian, tidak mudah memberantasnya karena layanan serupa kembali muncul dengan cepat dalam jangka waktu singkat. Keberadaan layanan ini pun seolah mendapat pasar tersendiri karena masih ada saja masyarakat yang tergoda meminjam dana dengan alasan kepepet. 

Sumber : Sindo

“Bagaimana mencegahnya, memang saya kira ini suatu hal yang sulit dan tidak sekadar PR (pekerjaan rumah) dari kami di OJK karena otoritas lain juga cukup beragam dalam kualitas untuk mendukung para pelaku,” ujar Kepala Grup Inovasi Keuangan Digital (IKD) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Triyono baru-baru ini.

Kini hal yang bisa dilakukan OJK hanya mengimbau kepada masyarakat agar berhati-hati terhadap fintech P2P lending yang tidak terdaftar.

Ada perbedaan pengaturan P2P lending di beberapa negara. Soal perizinan, di AS misalnya, cenderung lebih ketat. Sedangkan di Inggris, lebih moderat karena semua harus lewat regulatory sand box dan diuji menggunakan live test.

Berbeda dengan di China. Di Negeri Tirai Bambu itu aturannya sangat longgar sehingga P2P lending berkembang sangat signifikan karena sesuai angka inklusi keuangan yang rendah dan penduduknya sangat banyak. Dampak aturan di China, pertumbuhan P2P lending cenderung lebih agresif dan juga ada moral hazard karena pelakunya melakukan kecurangan. 

Sedangkan Indonesia ada proses perizinan yang dilakukan dan cek kelayakannya. Namun, tata kelola permodalannya tidak ketat seperti aturan perbankan. Karena dalam pelaksanaannya yang tidak terlalu ketat itulah, banyak penyedia layanan fintech ilegal seenaknya bertindak kepada nasabah yang telat menyelesaikan kewajibannya.

Mereka menempuh cara-cara yang kurang elok, mulai dari meneror nasabah dengan melalui telepon atau menghubungi rekan kerja atau keluarga nasabah dengan cara-cara tidak sopan.

Data Pribadi 

Sejatinya, OJK sudah bekerja sama dengan Kominfo untuk menutup tekfin ilegal. Melalui SWI berdasarkan rekomendasi OJK, Kominfo telah menutup sekitar 1.087 peer to peer lending illegal. 

OJK juga telah membatasi akses data tekfin legal hanya microphone, lokasi, dan kamera yang dibutuhkan untuk kepentingan know your customer (e- KYC). Data lainnya selain microphone, lokasi dan kamera tidak boleh diakses.

Foto : Istimewa

Jika fintech yang telah terdaftar/berizin terbukti melakukan pelanggaran akses data selain microphone, lokasi, dan kamera, OJK akan tegas mengenakan sanksi hingga pencabutan tanda terdaftar/berizin sesuai aturan POJK 77.

Nyatanya, fintech ilegal bisa sering melakukan pencurian data nasabah. Akses pengambilan data pribadi oleh sejumlah perusahaan teknologi juga sudah kerap terjadi. Namun, belum ada sanksi umum yang bisa digunakan untuk menindak para perusahaan pelanggar. 

Direktur Kebijakan Publik Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), Ajisatria Suleiman, menuturkan selama ini, masih banyak perusahaan tekfin nakal yang melanggar ketentuan pemanfaatan data pribadi konsumen. 

Pelanggaran biasanya dalam bentuk pemanfaatan data nomor kontak konsumen. Seringkali P2P lending yang nakal menggunakan data kontak nasabah untuk keperluan penagihan pinjaman.

Sumber : Istimewa

Padahal harusnya pemanfaatan data kontak nasabah hanya bisa dilakukan perusahaan tekfin untuk keperluan penilaian (assessment). Perusahaan tekfin tak boleh memanfaatkan data nasabah konsumen untuk menagih pinjaman. 

Berdasarkan data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), sepanjang 2018, ada 81 aduan terkait praktik peminjaman daring melalui P2P lending yang mereka terima. Dari jumlah itu, 26 pengadu mempermasalahkan cara penagihan pinjaman. Ada masing-masing 23 aduan terkait pemanfaatan kontak dan suku bunga yang tinggi, serta 9 aduan karena masalah lain.

Banyaknya pelanggaran terjadi karena aturan soal keamanan data konsumen P2P lending yang dibuat OJK belum efektif. Aturan yang ideal harus memuat batasan soal cara memperoleh data secara legal, pembedaan data privasi dan umum, serta memuat hak informasi penggunaan data dan hak meminta penghapusan data serta pertanggungjawaban perusahaan kepada konsumen. 

 “Ini mendesak pemerintah untuk segera membuat UU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang diharapkan dapat meng-cover permasalahan di masyarakat khususnya terkait peminjaman online,” tutur Anggota Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI, Rio Priambodo.



Berita Terkait