Rumah Sakit, Rumah Sehat, Rumah Penyembuhan | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Istimewa

Rumah Sakit, Rumah Sehat, Rumah Penyembuhan

Ceknricek.com--Setelah begitu lama bangsa Indonesia mengenal “Rumah Sakit”, tempat orang berobat dan dirawat, tiba-tiba muncul “Rumah Sehat”. Sebenarnya sebagaimana ketentuan tata bahasa kita, Bahasa Indonesia, kalau ada rumah sakit – maka itu artinya rumah itu tidak sehat, boleh-jadi ada atapnya yang bocor, dindingnya yang lapuk. Sementara rumah sehat bermakna rumah yang kukuh segala sendinya. Pada hal, kedua rumah yang disebutkan tadi pada hakikatnya dimaksudkan sebagai tempat berobat dan mendapatkan perawatan.

Ternyata jauh hari sebelum umat manusia di mana pun di penjuru bumi ini mengenal “hospital” yang dalam bahasa Inggris dimaksudkan sebagai tempat orang mendapatkan pengobatan dan perawatan kesehatan, Nabi Muhammad (saw) sudah memprakarsai berdirinya sebuah “Dar-ash-Shifa”.Dalam tata bahasa Arab, “Dar” merupakan wisma yang lebih besar dari “Hujrah” sedangkan hijrah lebih besar dari “Bait” – yang juga artinya rumah.

Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pada tanggal 13 Maret tahun 627, bala tentara Jahiliyah yang dipelopori kaum Quraisy dari Mekkah, dan sekutu-sekutu mereka, bermaksud melancarkan serangan total terhadap Madinah.Gempuran tersebut ditetapkan persis pada ulang tahun ketiga kekalahan kaum Jahiliyah dalam Perang Badar.

Menurut cendekiawan Kanada Mohamad Jebara dalam bukunya “Muhammad, The World-Changer” (‘Muhammad Tokoh Pengubah Dunia”), sekitar 12-ribu tentara pimpinan pentolan Jahiliyah dari Mekkah, Abu Sufyan, bertekad meluluhlantakkan segenap penduduk Madinah. Dia menjanjikan kepada sekutu-sekutunya bahwa segala harta rampasan perang akan dibagi-bagikan secara adil, termasuk lahan-lahan subur di kota tersebut, dan bahkan jenazah Rasulullah (saw) juga akan dipotong-potong dan dibagi-bagikan, tetapi kepala Nabi Muhammad (saw) akan menjadi bagian untuk kaum Jahiliyah di Mekkah.

Namun ketika bala tentara Jahiliyah itu sampai di pinggir kota Madinah mereka terperanjat karena di sana ada parit yang lebarnya seluas sekitar 9-meter, yang tidak mudah untuk diseberangi. Hanya seorang hulubalang Jahiliyah yang terkenal keterampilannya menunggang kuda perang, ‘Amr Ibn ‘Abdi Wud, yang berhasil menyeberangi parit tersebut, dan dia pun akhirnya tewas dalam perang tanding dengan Sayyidina ‘Ali Bin Abi Thalib (ra).

Akhirnya apa yang terjadi adalah “saling tunggu menunggu” dan akhirnya sekutu-sekutu dalam bala tentara Jahiliyah itu satu demi satu meninggalkan Madinah, setelah Rasulullah (saw) menyusupkan “agen-agen” dari Madinah yang menyamar sebagai bagian dari persekutuan Jahiliyah itu untuk membujuk sekutu-sekutu kaum Quraisy bahwa segala daya upaya mereka untuk meluluhlantakkan Madinah adalah perbuatan sia-sia.

Mereka hengkang di malam hari agar tidak diketahui pihak lain, karena itu akan sangat memalukan bagi mereka. Akhirnya bala tentara Jahiliyah itu menjadi susut dan cuaca yang juga tidak “kondusif” memaksa mereka untuk lintang pukang “mudik” kembali, sebelum niat jahat mereka sempat tercapai.

Apa yang dalam sejarah dikenal sebagai “Perang Khandak” itu berakhir dengan kegagalan tuntas kaum Jahiliyah untuk menghabisi Nabi Muhammad (saw) dan sahabat-sahabat barunya di Madinah.

Menurut Mohamad Jebara, ketika mendengar tentang rencana kaum Jahiliyah untuk menggasak Madinah itu, Rasulullah (saw) antara lain mengangkat seorang Muslimah bernama Shafiyyah sebagai “Walikota” wilayah yang sebelumnya bernama Yatsrib itu. Dan Walikota Safiyyah bersama sejumlah Muslimah lainnya, termasuk isteri Rasulullah (saw) ‘Aishah dan Hafshah (ra) mengenakan pakaian perang lelaki dan berdiri di atas banteng dekat parit itu, hingga terkesan mereka adalah prajurit-prajurit lelaki yang siap tempur.

Dan sebelum itu Rasulullah (saw) juga mengarahkan kepada sejumlah Muslimah agar membangun sebuah kemah besar dengan “jendela-jendela” pada beberapa sisi kemah itu sebagai “Dar-ash-Shifah” – Rumah Penyembuhan, untuk merawat dan mengobati penduduk Madinah yang terluka akibat anak panah atau lemparan lembing yang dilepaskan laskar Jahiliyah.

Apa yang dilakukan Rasulullah (saw) itu ternyata di kemudian hari dijadikan percontohan oleh khilafah-khilafah yang memerintah di Timur Tengah.

Dalam bukunya “Lost Islamic History” – Reclaiming Muslim Civilisation From The Past – (Sejarah Islam yang Hilang – Mengembalikan Peradaban Muslim dari Masa Lalu” – penulis Firas AlKhateeb, mengatakan “dalam tahun 872, penguasa Mesir, Ahmad ibn Tulun, menghabiskan 60.000 dinar emas untuk membangun sebuah “rumah penyembuhan” di Fustat (yang waktu itu menjadi ibukota Mesir sebelum pindah ke Qahirah/Kairo). Rumah Penyembuhan tersebut memberikan pengobatan dan perawatan cuma-cuma kepada masyarakat dan termasuk di dalamnya tempat perawatan penderita gangguan jiwa.

Rumah-rumah Penyembuhan sejenis juga terdapat di berbagai kota Muslim lainnya, seperti Mekkah, Damsyik, Baghdad dan bahkan di Granada (Spanyol).

Khilafah Utsmaniah pun kemudian menjalankan kebijakan yang sama ketika berkuasa di Eropa, dan dikatakan pelayanan yang ditawarkan bahkan melebihi dari yang pernah dapat diperoleh dengan cuma-cuma oleh anggota masyarakat yang hidup dalam khilafah di Timur Tengah.


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait