Ceknricek.com -- Ashshalatu wassalamu alaik,
Ya imamal mujahidin, ya Rasulallah.
Ashshalatu wassalamu alaik
Ya nashiral huda, ya khaira khalqillah.
Ada konsensus tak tertulis diantara para merbot: "wajib" memutar kaset Salawat Tarhim gubahan Syaikh Mahmud Khalil Al Hussary. Lantunan syair syahdu itu pun terdengar menjelang waktu salat tiba. Berkumandang lewat pengeras suara di surau, langgar, juga masjid di kota besar hingga di pelosok negeri ini.
Selama Ramadan, salawat ini diperdengarkan sebagai petanda jeda waktu sahur hingga azan Subuh. Tersebab itulah, tarhim ini juga disebut Tarhim Imsak. Kendati sarat berisi pujian, namun syair yang bertutur tentang keutamaan akhlaq Rasulullah Muhammad SAW ini bukan manifestasi okultisme atawa pengkultusan.
Simak saja bunyi syair di atas. Kemudian disusul kalimat ya nashiral huda, ya khaira khalqillah. Duhai penuntun petunjuk Ilahi. Wahai makhluk terbaik, dan seterusnya. Suara Al Hussary begitu masyhur, khas juga unik: berat, tebal dan jernih. Pelafalannya boleh dibilang sempurna.
Resital karya qari legendaris dari Mesir ini mampu menggiring saya ke lorong waktu masa lalu. Teringat tatkala ayah sedari awal mengajarkan kesalehan personal: mengaji, belajar tajwid, menghafal surat-surat pendek, mengkhatamkan Quran. Pendek kata, romantisme masa kanak di Surabaya yang terasa begitu indah.
Lahir di kawasan Tanta, di utara Kairo, Al Hussary sudah menghafal Quran ketika berumur 8 tahun. Sepuluh jenis qira’ah yang rumit, qira’ah ‘asyrah, dikuasainya ketika masuk Universitas Al-Azhar. Ia pun dijuluki Syaikh Al-Maqari, syaikhnya para ahli qira’ah. Ia wafat pada 1980, dalam usia 63 tahun.
Hussary mungkin kalah ngetop jika dibandingkan dengan Imam Masjidil Haram: Syaikh Abdurrahman As-Sudais, Sa’ad Al-Ghamidi, atau Abdurrahman Al Ausy. Mereka dijadikan idola dalam seni membaca Quran. Tapi bagi saya, sang legenda lebih fenomenal. Ia setara dengan duo qari top Mesir lainnya: master tajwid Muhammad Siddiq Al-Minshawy dan kampiun tilawah dunia tiga kali pada 1970-an, Abdulbasit Abdussamad.
Warisan Al Hussary bisa kita nikmati melalui kaset, piringan hitam, cakram padat, maupun piranti digital lainnya. Youtube menyimpan momen langka: manakala sang syaikh didapuk melantunkan ayat-ayat suci di Masjidil Haram, Makkah Al Mukarramah. Banyak qari internasional yang bersusah-payah meniru, membikin cover irama Hussary. Sampai kini belum ada yang mampu menandingi.
Kaset dan piringan hitam berisi azan, salawat tarhim, serta bacaan murattal (berirama datar tanpa pengulangan) Hussary pernah dirilis di Tanah Air Diantaranya bacaan Surah Al-Hujurat dan Ar-Rahman. Stiker kasetnya bergaris warna kuning, hitam, dan oranye. Sedangkan sampul piringan hitamnya putih bergaris tengah biru dengan khat hitam. Kabarnya dia pernah mampir ke Indonesia, lalu “dibajak” untuk merekam suaranya di studio Lokananta, Solo.
Ketika masa kanak, saya sering menikmati suara merdu Hussary melalui radio transistor Toshiba. Terkadang melalui radio tabung "mata kucing" Philips yang biasa dipanteng ayah saat sahur. Dari stasiun Radio Yasmara (Yayasan Masjid Rahmat) di kawasan Kembang Kuning, Surabaya inilah suara pimpinan jamiatul qura wal huffadz Al Azhar dipancarkan secara luas sejak 1960-an.
Suara ajaib itu mampu menebalkan benteng rohani. Menjadi pengobar semangat agar tetap melek lahir batin setelah makan sahur—lalu bersegera subuhan. Ia serasa menerbangkan jiwa: wataqaddamta lishsholati fashalla kullu man fissamaa-i wa antal imamu. Seluruh penghuni langit bersalat di belakangmu, dan engkaulah yang menjadi imamnya.
Ya, makna yang begitu dalam dan universal: seluruh penghuni langit. Tanpa terkecuali. Semua makhluk hidup. Bukan cuma kaum muslimin. Sekat-sekat penghalang sektarianisme antara "kita" dan "mereka", kelompok kita dan liyan, runtuh dalam kepasrahan esoteris yang tak terperi.
* disempurnakan dari artikel penulis di Koran Tempo, 29 Mei 2017.