Sang Sufi Agung: Ibnu Athaillah As-Sakandari | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Ilustrasi : Miftah/ceknricek.com 

Sang Sufi Agung: Ibnu Athaillah As-Sakandari

Ceknricek.com -- Jauh sebelum menapaki jalan sufi, ia dikenal sebagai seorang fakih, hingga kemudian namanya harum dan menjadi salah satu nama utama dalam dunia tasawuf Islam. Ia adalah Syaikh Ibnu Athaillah, seorang ulama besar dari Iskandariyah, Mesir yang menggabungkan antara syariat dan tasawuf dengan sangat apik, hingga dijuluki sang Sufi Agung.

Karya-karyanya, bagi masyarakat pesantren di Indonesia bahkan dunia, menjadi semacam literatur klasik dan sangat fenomenal. Seorang ulama dari Tuban, Jawa Timur, mengabadikan salah satu karya magnum opusnya tersebut untuk menjadi nama sebuah pesantren di Malang, Al-Hikam.

Kiprah Ibnu Athaillah

Nama lengkapnya adalah Abul Fadl Tajuddin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Athaillah al-Sakandari atau dikenal dengan nama Ibnu Athaillah. Ia lahir di Iskandariyah, Mesir pada pertengahan abad ke-7 H/ke-13 M, dan ia wafat di tempat yang sama pada tahun 709 H/1309 M.

Sejak kecil, Ibnu Athaillah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibn Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fikih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.

Asal-usul keluarganya adalah keturunan orang bernama Judzam (al-Judzam), seorang suku arab yang menetap di negeri Mesir pada waktu terjadinya penyerbuan awal terhadap dunia Islam. Nisbah (keturunan) al-Judzami dalam silsilah lengkapnya menunjukkan sebagai keturunan keluarga Arab.

Hampir separuh hidupnya dihabiskan di Mesir di bawah pemerintahan Mamluk, yang pada masa itu menjadi pusat agama dan pemerintahan dunia Islam belahan timur setelah kekhalifahan Baghdad hancur pada tahun 656 H./1258 M.

Sebagai seorang cendekia, Ibnu Athaillah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab Al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah (dijelaskan). Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibnu Ibad Ar-Rasyid-Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibnu Ajiba.

Ilustrasi dialog Ibnu Athaillah dengan Ibnu Thamimiyah. Sumber: The Journey

Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah, dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.

Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syariat.

Sebagai seorang sufi yang menggabungkan tasawuf dan syariat dengan baik, Athaillah menyesuaikan hal tersebut dengan salah satu pernyataan sahabat Nabi SAW, Malik bin Anas: “barang siapa bertasawuf namun tidak bersyariat, sungguh ia telah zindiq (kafir); barang siapa bersyariat namun tidak bertasawuf, sungguh ia telah fasiq; barang siapa menggabungkan keduanya, sungguh ia berlaku benar.”

Selain itu, meskipun ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarikat saja. Buku-buku Ibnu Atha'illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam.

Sekilas tentang Al-Hikam

Syekh Ibnu Ath’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Quran dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik (pejalan), menunjukkan segala aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya.

Al-Hikam. Sumber: Ilustrasi Aktual

Menurut Faiz As, dikutip dari NU Online, Kitab Al-Hikam sebagai karya agung-nya dalam kehidupan sekarang dapat menjadi semacam antitesis dari kehidupan umat yang telah mengalami disorientasi akibat desakan duniawi dari berbagai aspek kehidupan.

Lebih lanjut, Faiz mengatakan, “kekalutan politik, kehausan material, adalah sekilas potret kekacauan umat kekinian yang berakibat pada kegersangan spiritual.” Dikutip dari kitab Al-Hikam: Jalan Kalbu para Perindu Allah SWT (2015;11-15), adapun pemikiran-pemikiran tarikat dalam kitab tersebut adalah:

Sumber: Tokopedia

Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Ilahi.

"Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu Atha'illah.

Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.

Ketiga, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi," ujarnya.

Keempat, tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.

Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.

Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.

Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, zikir, wudu, puasa, salat sunah, dan amal salih lainnya.



Berita Terkait