Sanggahan Dari Tuduhan Ada Sponsor Sampai Teori Van Dijk | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Istimewa

Sanggahan Dari Tuduhan Ada Sponsor Sampai Teori Van Dijk

Ceknricek.com--Tulisan atau artikel karya sobat Dahlan Abubakar berjudul “Media Bukan Burung Onta yang Steril” yang disiarkan di Ceknricek.com 02/14/2022, 7:03 WIB, menarik untuk dicermati. Sebagai reaksi terhadap rilis atau siaran pers dari Pengurus PWI Pusat, artikel ini membuka peluang kepada kita untuk terjun di gelanggang adu pemikiran. Walaupun saya bukanlah pengurus struktural PWI Pusat, dan juga sama sekali tidak berpretensi mewakili Pengurus PWI Pusat, tetapi izinkalah secara personal saya menanggapi siaran artikel atau tulisan tersebut. Katakanlah semacam “hak jawab” atau “hak koreksi” terhadap artikel tersebut sebagaimana ruang itu diberikankan oleh UU Pers (No 40 Tahun 1999) dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

1.Artikel Saudara Kita Dahlan Abubakar ini merupakan contoh pelanggaran asas praduga tidak bersalah, setidaknya mengandung insinuatif. Dalam artkel penulisnya mengatakan ,”Rilis tersebut selain sangat normatif dan terkesan menyalurkan pesan sponsor,” Kalimat ini dengan jelas mendakwa rilis atau siaran pers Pengurus PWI Pusat tersebut atas pesanan sponsor, tetapi Saudara Kita Dahlan Abubakar tanpa lebih lanjut menguraikan lagi, siapa sponsor atau yang memesannya.

Begitu pula kenapa dalam rilis ini Pengurus PWI Pusat sampai harus memerlukan sponsor, dan keuntungan apa yang diperoleh Pengurus PWI Pusat dengan adanya sponsor tersebut? Dalam artikel itu, pokoknya asal tuduh saja. Tak ada penjelasan lebih lanjut soal sponsor ini. Padahal, hal ini merupakan sesuatu yang sangat fatal dan vital . Kalau sampai Pengurus PWI Pusat mendapat sponsor dari pihak tertentu, terutama dari unsur pemerintah, tentu ini menjadi noda hitam buat Pengurus PWI Pusat.

Sebaliknya, jika tuduhan ada sponsor tidak terbukti atau tidak dapat dibuktikan, artikel atau tulisan Sobat Dahlan Abubakar menjadi mengandung fitnah yang keji, bukan saja terhadap pengurus PWI Pusat, tetapi juga terhadap organisasi PWI sendiri.

2.Artikel Saudara Kita Dahlan Abubakar ini contoh metodologi menarik kesimpulan sangat sembrono dan salah kaprah. Penulisnya menyimpulkan, rilis Pengurus PWI Pusat tersebut mengajak kita kembali kepada pers zaman Orde Baru, tanpa membuktikan kalimat mana yang menunjukkan dari rilis tersebut yang mengajak kita kembali ke zaman pers Orde Baru. Saudara Kita Dahlan Abubakar menulis, “Membaca rilis tersebut saya merasa kita ini sedang diajak untuk kembali ke masa lalu, Orde Baru dengan praktik mengimbau dan meminta dan sebagainya terhadap media pers, …”

Tak ada uraian data dan fakta pendukung apa dari rilis atau siaran pers tersebut, tiba-tiba saja penulisnya sampai pada kesimpulan tersebut. Di bawah Orde Baru bukan saja urusan himbauan yang sepihak, tetapi juga tidak ada kemerdekaan pers dan keamanan pers. Ada Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang setiap saat dapat dibredel. Semua dibelenggu dan diancam.

Rilis Pengurus PWI Pusat malah sebaliknya mengingatkan, dalam menjalankan tugasnya wartawan dilindungi hukum sehingga tidak boleh takut. Warning wartawan dalam berkarya harus tunduk dan taat kepada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) tidak dapat dijadikan kesimpulan bahwa itu cermin untuk membawa kita kembali ke zaman Orde Baru.

Lagi pula jika dalam zaman Orde Baru berbagai permintaan yang dilakukan di luar badan eksekutif melainkan kepada pihak ketiga, dalam hal rilis Pengurus PWI Pusat, himbauan itu datang dari sesama unsur pers. Sesuai Peraturan Dasar (PD) dan Anggaran Rumah Tangga (PRT) PWI, memang sudah tugas pengurus PWI meningkatkan pemahaman dan ketaatan kepada KEJ. Jika pengurus PWI kemudian mengingatkan kembali hal ini, sama sekali tak ada salahnya. Jauh dari kesan untuk membawa ke Orde Baru. Tapi penulis artikel ini, Saudara kita Dahlan Abubakar, dengan gegabah menyimpulkan hal tersebut.

Cara menarik kesimpulan semacam itu, dari segi teknis penulisan pers dan ideologi pers,   sangat berbahaya dan dapat menggiring pembaca yang tak faham mengambil kesimpulan yang salah. Hal ini karena artikel itu berangkat dari asumsi yang keliru, dengan menggunakan metodologi yang keliru sehingga sampailah pada kesimpulan yang keliru pula. Dalam rilis Pengurus PWI Pusat tersebut tidak ada satu pun kalimat atau narasi yang menggiring untuk kita kembali kepada Orde Baru. Sama sekali tidak. Kesimpulan yang diambil Saudara Kita Dahlan Abubakar terlambau gegabah dan tak berdasar.

3.Artikel Saudara Kita Dahlan Abubakar juga merupakan contoh artikel yang tidak berdasarkan data faktual, diiringi opini yang fiktif. Dalam artikel itu dia menulis, “…di sisi lain kita lalai memaknai kehadiran media sosial ketika warga mengambil alih peran pers.” Coba dibaca dan disimak lagi dengan teliti, tak ada bagian rilis Pengurus PWI Pusat yang menafikan kehadiran dan peran media sosial, karena memang rilis tersebut sama sekali tidak menyinggung soal itu. Darimana penulisnya dapat mengkaitkan rilis menafikan kehadiran dan peran media sosial? Apakah itu kesimpulan penulisnya yang mau ditempelkan kepada rilis, sehingga rilis dituding tidak menghargai kehadiran dan peran media sosial?

Saudara kita Dahlan Abubakar rupanya ingin kesimpulan dan pendapatnya sendiri dianggap sebagai bagian dari pendapat yang ada dalam rilis. Sebuah sistem dan metode penulisan yang jelas-jelas diplintir dan manipulatif.

4.Artikel Saudara kita Dahlan Abubakar ini juga merupakan contoh karya yang tidak berimbang. Harusnya diminta komentar dari orang yang disebut, yaitu Ketua Umum PWI Pusat, Atal Depari, atau yang dipandang mewakili pendapat Ketua Umum itu. Kalaupun sulit mengakses sumber seperti itu, setidaknya dapat dikutip dari bagian rilis yang dapat mencerminkan pendapat pihak lain itu. Tapi dalam artikel tersebut, sama sekali tidak ada unsur keberimbangan. Dari sana jelas tertangkap unsur ingin “menghakimi” sangat besar.

5.Artikel Saudara Kita Dahlan Abubakar ini pun contoh penulisnya memakai narasi yang melecehkan penerapan normatif Kode Etik Jurnalistik (KEJ), seakan para wartawan sudah “katam” dan “internelazed” atau mendarah daging soal pemahaman dan pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik, sehingga hal-hal yang normatif KEJ tak perlu ditekankan kembali. Tak perlu diingatkan kembali.

Mengingatkan wartawan dalam meliput dan melaporkan apapun harus tetap berpegang dan berpedoman kepada KEJ seakan dinilai sesuatu yang mubazir, berlebihan dan bahkan menekan dan mempersuasi wartawan. Apakah Saudara Kita Dahlan Abubakar, penulis artikelnya, memiliki data soal penghayatan dan pelaksanaan KEJ? Faktanya 70% wartawan Indonesia tidak pernah membaca KEJ. Jika membaca saja tidak pernah, bagaimana mau melaksanakannya. Jika yang normatif saja belum faham bagaimana mau menerapkan yang advance. Melarang atau mengecam peringatan untuk tunduk dan taat kepada norma-norma KEJ bukan saja tidak bijak, tapi sangat melecehkan nilai-nilai normatif KEJ sebagai mahkota wartawan.

6.Artikel yang ditulis Saudara Kita Dahlan Abubakar ini sekaligus menjadi contoh pula pemikiran yang kontradiksi dengan premis yang saling berlawanan satu dengan lain. Dengan menyebut pers tidak ada yang netral “dan cenderung berpihak kepada pemilik,” sebenarnya membuktikan bahwa semakin diperlukannya penguatan pemahaman dan pelaksanaan KEJ oleh wartawan. Jika tidak, maka kecenderungan yang disebut Saudara Kita Dahlan Abubakar pemilik cenderung semakin mempengaruhi pers, bakal semakin menjadi kenyataan. Namun kontradiksinya, Saudara Kita Dahlan Abubakar menolak isi rilis Pengurus PWI Pusat yang menganjurkan agar wartawan membuat berita yang akurat, berimbang dan independen. Tentu ini sebuah ironi.

7.Artikel yang ditulis Saudara Kita Dahlan Abubakar untuk memberi kesan ilmiah, referensif dan argumentatif, juga mengutip karya pakar analisis komunikasi Teun Ardianus van Dijk. Hanya saja pisau teori yang dipakai Saudara Kita Abubakar sama sekali tidak cocok untuk digunakan buat membedah rilis Pengurus PWI Pusat. Struktur mikro prosedur teks sama sekali tidak cocok diterapkan pada kasus siaran pers Pengurus PWI Pusat. Dalam rilis PWI Pusat sama sekali tidak ada pihak yang disembunyikan, atau dihindari sebagaimana menjadi bagian dari dasar teori struktur mikro van Dijk. 

Rilis Pengurus PWI Pusat sejak awal hanya memfokuskan diri kepada pers yang harus tetap taat kepada KEJ. Bagaimana kita mau mengkritisi pihak lain, kalau kita sendiri sudah tidak taat kepada moral etis yang menjadi koridor pekerjaan kita sebagai wartawan. Dalam hal ini tidak ada unsur atau hal yang disembunyikan atau dihindari sebagaimana yang disebut dalam kelengkapan alat bedah teori van Dijk. Jadi penerapan teori van Dijk dengan cara yang Saudara Kita Dahlan Abubakar terapkan terhadap rilis Pengurus PWI Pusat, jauh api dan panggang. Tentang teori Analisis Wacana Kritis dari Teun Ardianus van Dijk, silakan baca antara lain dua buku karya beliau masing-masing “Ideologi a Multidicipli ery Approach” dan “Society and Discourse.”

8.Artikel yang ditulis Saudara Kita Dahlan Abubakar ini menjadi contoh tulisan yang gagal menemukan sesuatu yang baik dan bermanfaat dalam konteks suatu teks. Dalam rilis ada banyak aspek yang sangat bermanfaat atau penting bagi kemerdekaan pers. Misal mengingatkan dalam menjalankan tugasnya wartawan dilindungi hukum, sehingga pers tidak perlu takut mengungkap fakta yang sebenarnya. Rilis juga mengingatkan agar pers tidak membuat framing yang menguntungkan baik pihak yang pro pemerintah maupun pihak anti pemerintah, tapi harus faktual apa adanya, dan sebagainya. Tapi penulisnya, gagal menemukan hal-hal semacam ini dalam teks.

9.Apakah rilis tersebut, baik samar-samar atau pun terang-terangan, menghambat atau menganjurkan tidak mewartakan kejadian sebenarnya? Tentu tidak ada yang demikian. Justeru dengan menganjurkan agar wartawan menyiarkan berita yang akurat, berimbang dan independen, rilis itu menyerukan, fakta apapun yang terjadi, ayo dikemukakan.

Jangan ditutup-tutupi. Apakah ada penangkapan dan penganiayaan terhadap warga oleh aparat, sepanjang itu faktual, silakan disiarkan. Jangan cuma disimpan saja. Tapi jangan pula tanpa fakta, melainkan katanya, katanya saja, serta dengan asumsi-asumsi yang masih samar belum jelas. Kalau pada saat kejadian ada pers yang hadir atau menemukan fakta, apapun, justeru rilis mendorong fakta itu harus dikemukakan tanpa rasa takut. Dengan fakta itu semua bakal terungkap transparan dan tidak dapat ditutup-tutupi.

Sampai saat ini belum terbaca ada satupun pers yang mendeklarasikan diri hadir dan menemukan langsung fakta pada saat kejadian. Ada pers yang datang setelah kejadian. Ada pula rekaman video yang diambil dan diedarkan oleh netizen dan oleh karena itu masih harus diverifikasi lebih dahulu kebenarannya atau konteksnya oleh pers. Tapi sebaliknya, kalau yang dikemukakan pers cuma asumsi-asumsi belaka, berita pers malah menambah ketidakjelasan.

10.Perbedaan pendapat, sudut pandang atau analisis merupakan hal biasa dalam gelanggang adu pemikiran, sepanjang tidak dilandasi kebencian, nafsu balas dendam atau sakit hati atau mata hati kita terutup. Perbedaan perbedaan itu saya harap justeru mampu mempererat persaudaran warga PWI, setidaknya di bidang pemikiran.

Demikian tanggapan saya sebagai “hak jawab” dan “hak koreksi” yang memang disediakan UU Pers, KEJ dan Peraturan Dewan Pers. Tabik***


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait