Santap Siang di Rumah Adat Said Didu di Pinrang | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Foto: Doc. Ilham Bintang

Santap Siang di Rumah Adat Said Didu di Pinrang

Ceknricek.com -- Dijamu makan siang oleh mantan Staf Khusus Menteri ESDM, Muhammad Said Didu di kediamannya di Madimeng, Pinrang, Sulawesi Selatan, 190 km dari kota Makassar. Jamuan berlangsung Minggu (9/6) siang.

Tiga hal menarik dalam kunjungan yang diikuti juga oleh Jabal Noor, wartawan senior Makassar. Pertama, kami diterima di rumah panggung tradisional masyarakat Bugis Makassar. Rumah anggun dan cantik itu luasnya 500 meter persegi berdiri di atas tanah seluas 5000 meter persegi. Dibangun empat tahun lalu.

Sumber: Doc. Ilham Bintang

Yang kedua, menu makan siang yang dihidangkan: seluruhnya masakan khas tradisional. Dari sayur parapa campur ikan asap, burasa, acar peppi (ebi), sambal teri, ikan bakar, ikan asin tongkol, ikan goreng bumbu rujak, dan lain sebagainya. Maknyuss semua. Menggugurkan diet. “Sekali setahun, Bang. Habis ini diet lagi,“ ujar Said Didu menyemangati.

Sumber: Doc. Ilham Bintang

Supaya semangat makan tidak mengendor karena komitmen diet. Saya melirik istri saya yang penganut diet ketat. Ia tampak bersemangat juga menyantap hidangan. Maka saya pun lebih bersemangat.

Yang ketiga: Said Didu menegaskan sekali lagi tekad untuk mewakafkan sisa hidupnya untuk mengawasi pemerintah menyelenggarakan roda pemerintahan. Untuk poin ini dia punya bahan banyak. Maklum dia bekas “orang dalam”. Dia menyimpan segudang data penyimpangan di berbagai sektor—tidak habis-habis.

Said Didu memang telah menunjukkan sikap kritis itu dalam berbagai forum diskusi maupun dalam berbagai acara talkshow televisi. Untuk itu, ia pun siap memikul segala konsekuensinya. Belum lama ia sendiri memutuskan berhenti sebagai PNS di BPPT.

Sikap kritis Said Didu bukan datang mendadak. Sejak mahasiswa—kuliah di IPB sampai kini bergelar doktor— dia selalu kritis. Sejak mahasiswa ia memang melakoni kehidupan aktivis.

“Orang yang tidak tahu mengira saya menjadi kritis setelah diberhentikan menjadi komisaris dari BUMN Tambang Bukit Asam. Terbalik, saya diberhentikan justru melakoni sikap kritis itu,“ ungkapnya. Palang tanggung, ia sekalian mengundurkan diri sebagai PNS. “Supaya tidak ada pihak yang terbebani oleh sikap saya,” tambah pria kelahiran Pinrang 57 tahun lalu.

Sumber: Doc. Ilham Bintang

Hari Minggu (9/6) ini sebenarnya ada dua agenda kunjungan. Setelah dari Pinrang, kami akan melanjutkan ke perjalanan ke Sengkang, Wajo—kampung kelahiran kedua orang tua kami. Boleh dikatakan sudah lebih 50 tahun tidak ke sana, saya terakhir berlibur ke Sengkang pada waktu usia 10 tahun.

Lima tahun lalu saya memang pernah masuk Sengkang, tapi hanya melintas di tengah malam ketika perjalanan menuju Bone. Sempat mampir makan malam di Ujungnge 20 km sebelum Wajo. Tapi bukan kunjungan serupa itu yang saya dambakan. Melainkan menginap minimal semalam, sambil menyerap nilai-nilai leluhur yang terkandung dalam semboyan “Maradeka Towajo’e“  (Orang Wajo Orang Merdeka). Tapi ini pun tidak kesampaian. Semalam dapat informasi Tanrutedong, akses jalan masuk ke Sengkang ditutup karena banjir setinggi pinggang akibat hujan deras yang turun berjam-jam.

Padahal, sejak Sabtu (8/6) siang kami sudah masuk di Parepare, dan menginap semalam. Jarak Parepare-Sengkang hanya 65 km, paling lama hanya menempuh dua jam perjalanan.

Apa boleh buat ke Sengkang kami batalkan. Karena pembatalan itu, kami pun punya waktu yang cukup untuk ngobrol panjang di “Istana” Pak Said Didu. Dari sini kami langsung balik ke Makassar.



Berita Terkait