Sarung Dalam Pusaran Sejarah dan Filosofisnya | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Sarung di masyarakat Bugis. Sumber: Noesantara kita

Sarung Dalam Pusaran Sejarah dan Filosofisnya

Ceknricek.com -- Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dalam kunjungannya ke Desa Jatimekar, Kecamatan Jatiluhur, Purwakarta, Senin (19/8), mengikuti sejumlah perlombaan dalam rangka HUT ke-74 RI.

Kang Emil, begitu ia akrab disapa, dengan penuh semangat menendang bola sambil sesekali lari tersaruk-saruk karena lomba yang ia ikuti adalah sepak bola sarung.

Ridwan Kamil Sumber. Pemprov: Jabar

Sarung, ya, sarung. Di Indonesia, kain lebar dengan lubang besar yang berfungsi sebagai bawahan untuk pelengkap saat melakukan ibadah itu memang memiliki banyak fungsi yang hampir digunakan dalam bermacam aktivitas.

Mulai dari acara resmi maupun di kala santai, sebagai penghangat badan atau ketika kegerahan. Sarung telah menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat (khususnya Muslim) Indonesia. Dalam beberapa kesempatan, presiden dan wakil presiden terpilih 2019-2024, Joko Widodo dan KH. Ma'ruf Amin juga sering terlihat mengenakan sarung.

Baca Juga: Ridwan Kamil Main Bola Dengan Timnas U-15 Iber Cup 2019

Sejarah Sarung

Berdasarkan beberapa catatan, sarung disebut berasal dari Yaman. Awalnya sarung dipakai suku badui yang tinggal di Yaman. Saat itu, sarung berasal dari kain putih yang dicelupkan ke dalam neel yang merupakan pewarna bewarna hitam. 

Di Yaman, sarung dikenal dengan nama futah, izaar, wazaar atau ma'awis. Sedangkan, di Oman, sarung dikenal dengan nama wizaar. Kemudian orang Arab Saudi mengenalnya dengan nama izaar. Tekstil memang menjadi industri pelopor di era Islam.

Pada era itu, standar tekstil masyarakat Muslim di Semenajung Arab sangat tinggi. Industri tekstil di era Islam memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap Barat. Sat itu sarung telah menjadi pakaian tradisonal masyarakat Yaman.

Pedagang Arab. Sumber: Ruanguru

Hingga sekarang, tradisi itu masih tetap melekat kuat. Sarung Yaman menjadi salah satu oleh-oleh khas tradisional dari Yaman. Kemudian orang-orang yang berkunjung ke Yaman biasanya menjadikan sarung sebagai buah tangan.

Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Pengesahan UUD 1945

Penggunaan sarung akhirnya ikut meluas akrena faktor perdagangan pada masa itu, tak hanya di Semenanjung Arab, namun persebarannya juga mencapai Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, hingga Amerika dan Eropa. 

Sarung masuk ke Indonesia pada abad ke-14. Saat itu sarung dibawa oleh para saudagar Gujarat dan Arab yang juga menyebarkan agama Islam. Sehingga dalam perkembangan berikutnya, sarung di Indonesia akhirnya identik dengan kebudayaan Islam.  

Sarung Pada Zaman Perjuangan

Saat Indonesia dijajah Belanda, sarung identik dengan perjuangan melawan budaya barat yang dibawa para penjajah. Para santri di zaman kolonial Belanda menggunakan sarung sebagai simbol perlawanan terhadap budaya Barat. 

Kaum santri merupakan masyarakat yang paling konsisten menggunakan sarung di mana kaum nasionalis abangan telah hampir meninggalkan sarung.

Tentara Belanda memakai sarung. Sumber: History

Sikap konsisten penggunaan sarung juga dijalankan oleh salah seorang pejuang Muslim Nusantara, yakni KH Abdul Wahab Chasbullah, seorang tokoh sentral di Nahdhatul Ulama (NU). Suatu ketika, Abdul Wahab pernah diundang Presiden Soekarno. 

Baca Juga: Semarak Festival Sarung NTT

Protokol kepresidenan memintanya untuk berpakaian lengkap dengan jas dan dasi. Namun, saat menghadiri upacara kenegaraan, ia datang menggunakan jas tetapi bawahannya sarung. Padahal biasanya orang mengenakan jas dilengkapi dengan celana panjang.

Sebagai seorang pejuang yang sudah berkali-kali terjun langsung bertempur melawan penjajah Belanda dan Jepang, Abdul Wahab tetap konsisten menggunakan sarung sebagai simbol perlawanannya terhadap budaya Barat. Ia ingin menunjukkan harkat dan martabat bangsanya di hadapan para penjajah.

Ciri Khas dan Filosofi Sarung di Indonesia

Di Indonesia kain sarung dibuat dari bermacam-macam bahan, seperti dari kain tenun, songket, dan tapis. Hal inilah kemudian yang membedakan sarung Indonesia dengan sarung dari negara lain. 

Masing-masing jenis bahan sarung tersebut juga berasal dari daerah yang berbeda di Indonesia. Bahan yang terbuat dari tenun, lebih dikenal berasal dari area Indonesia Timur seperti Nusa Tenggara Barat, Nusat Tenggara Timur, Sulawesi, dan Bali. 

Sumber: Istimewa

Sedangkan songket, sangat identik dengan ciri khas adat Minangkabau dan Palembang. Sementara tapis, kita mengenal bahan ini berasal dari Lampung.

Terlepas dari itu, sarung juga memiliki filosofi dari motifnya, misalnya, kita sering menemukan sarung dengan motif kotak-kotak. Meskipun banyak juga sarung khas daerah yang menggunakan motif batik ataupun songket, namun motif kotak-kotak adalah motif yang paling banyak ditemui di Indonesia.

Sumber: Istimewa

Ternyata ada filosofi tersendiri dari motif ini, yaitu ketika berada di sebuah titik berwarna putih maka akan melangkah ke manapun baik itu ke kanan, kiri, atas maupun bawah maka akan tetap menemui warna yang berbeda-beda. 

Ini menggambarkan bahwa manusia saat mengambil langkah ke manapun akan tetap menemukan perbedaan dan harus mengambil konsekuensi dari setiap langkah yang ditempuh.

Baca Juga: Wignyo Ubah Kain Songket Terlihat Makin Elegan

Mantan Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, menghubungkan sarung dengan kosmologi kesundaan atau cerita rakyat yakni Lutung Kasarung. Berdasarkan kisah tersebut menurutnya, Lutung Kasarung merupakan pewaris tahta kerajaan yang mengalami cobaan berupa pengasingan di hutan belantara, sebelum akhirnya diangkat menjadi pemimpin.

Sumber: Istimewa

Dalam konteks ini, sarung berfungsi sebagai media kaderisasi kepemimpinan. Sebab saat seseorang memakainya, ada banyak peraturan yang tidak boleh ia langgar akibat penggunaan sarung tersebut. Dari sini lahirlah akhlak dan tercipta karakter yang kuat.

BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.



Berita Terkait