Ceknricek.com--Sastra mengenai perang atau Sastra Perang bisa jadi sangat bermakna. Meski mungkin ada yang mengatakan sastra itu imajiner dan karenanya bisa tidak mewakili apa yang telah dan sedang terjadi, tapi ada sudut pandang lain yang melihat bahwa sastra perang adalah ungkapan kejujuran, untuk mewakili suara yang selama tidak terdengar, terhimpit bahkan mungkin terkubur oleh kematian -- yang bisa tidak terungkap oleh berita jurnalistik, tidak terekam kamera televisi atau tidak bisa didorong oleh apa pun kecuali nurani.
Nurani inilah yang tampaknya coba diekspresikan oleh para penulis yang berkontribusi dalam buku Perang Pecah Lagi di Gaza: Antologi Kemanusiaan Palestina Satupena. Saya merasa lahirnya kumpulan tulisan berupa puisi, puisi esai, cerpen dan opini ini merupakan ekspresi dari jeritan nurani penulis dalam melihat apa yang terjadi di perang yang kembali berkecamuk di Gaza, sejak Oktober lalu.
Ada 89 tulisan dari hampir 300 yang masuk, yang dikurasi kemudian diedit oleh novelis handal, sekaligus jurnalis, Akmal Nasery Basral. Prosesnya sebulan. Cukup singkat memang, tapi sudah mampu menyajikan lebih dari 400 halaman antologi. Saya, yang terlibat di buku ini sebagai salah satu penulis cerpen -- meski menulis dalam waktu singkat karena dikejar deadline terbit -- merasa apa yang saya tulis menggambarkan kegeraman saya terhadap tindakan biadab yang terus terjadi, terhadap ketidakberdayaan dunia mengakhiri, terhadap lebih bisingnya wacana perdebatan kanan-kiri, dibandingkan upaya-upaya untuk mengakhiri.
Dalam perang, wacana bisa jadi lebih tajam dari hentakan peluru yang menghujam mereka yang tidak berdosa, bisa jadi lebih bising dari dentuman mortir atau bom yang menimpa pemukiman dan fasilitas sipil. Ya, itu adalah perdebatan yang bisa jadi tidak berujung tentang asal-muasal perang, siapa yang lebih dahulu menyerang, perhitungan berapa korban yang lebih banyak, dan seterusnya, dan seterusnya. Tapi itu sama sekali tidak mengakhiri kekejaman, tidak mengakhiri dendam, tidak mengakhiri korban, tidak mengakhiri duka.
Lantas, jika dimasukkan sebagai bagian dari wacana, ke mana buku Antologi ini akan ditempatkan? Saat kumpulan sastrawan dan penulis berupaya memberikan yang terbaik dalam buku ini, saya melihat yang dipihaki adalah kemanusiaan. Dan karena kemanusiaan, ia tidak akan ada di satu sisi belaka.
Korban perang tetap korban. Kezaliman tetap kezaliman. Kuasa atas nama apa pun, tetap akan menindas dan menimpa pihak yang lebih lemah. Maka, jika kita sepakat melihat perang di Gaza adalah isu kemanusiaan, mari kita coba melihat apa yang bisa dilakukan pada porsi masing-masing untuk bisa "mengakhiri" ini. Dan porsi para penulis di sini adalah menulis apa yang dipikir dan dirasa dalam konteks kemanusiaan.
Meski tidak sempurna, semoga Antologi ini bisa memberi sudut pandang kemanusiaan tersendiri pada apa yang sedang berkecamuk di Gaza.
21 Desember 2023
Editor: Ariful Hakim