Sejarah 3 Juli 1946, Percobaan Kudeta Pertama di Indonesia | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Blog unik

Sejarah 3 Juli 1946, Percobaan Kudeta Pertama di Indonesia

Ceknricek.com -- Suatu pagi Mayor Jenderal Sudarsono menyodorkan surat kepada Presiden Sukarno di Istana Negara Gedung Agung Yogyakarta. Isi surat, meminta kabinet Sjahrir dibubarkan serta dibentuk kabinet baru. Surat itu, menurut Sudarsono, berasal dari Jenderal Sudirman.

Sukarno yang sempat ragu kemudian memanggil Hatta, yang pada saat itu sedang berada di Perhimpoenan Indonesia. Setelah Hatta sampai dan membaca surat itu, ia pun tak percaya lalu menelepon Jenderal Oerip Soemohardjo. Hatta menanyakan apakah surat tersebut benar dari Jenderal Sudirman atau tidak.

Sumber: Merdeka

Oerip pun menampik, mustahil Panglima Besar Sudirman menulis surat itu kepada Presiden. Sementara Sudarsono bersikeras bahwa surat tersebut berasal dari sang jenderal. Sukarno-Hatta akhirnya sepakat bahwa apa yang dilakukan Sudarsono dan kawan-kawan politiknya sebagai sebuah kudeta. 

Sejarah pun mengenangnya sebagai kudeta 3 Juli 1946. Inilah kudeta pertama dalam sejarah Republik Indonesia sesudah merdeka. Pemicu peristiwa ini adalah ketidakpuasan pihak oposisi terhadap politik diplomasi yang dilakukan pemerintah Indonesia terhadap Belanda.

Perbedaan Pandangan Politik

Usia kemerdekaan Indonesia memang belum genap satu tahun pada waktu itu. Sementara krisis politik yang cukup hebat dalam menentukan strategi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik mengalami banyak perbedaaan pandangan di antara para pemimpin.

Perbedaan paling frontal tentu saja terjadi antara pemikiran Perdana Menteri Soetan Sjahrir dengan kelompok oposisi pimpinan Tan Malaka yang tergabung dalam kelompok Persatuan Perjuangan. 

Silang pendapat ini bermula ketika pusat kekuasaan negara yang pada saat itu berada di Yogyakarta menyetujui politik diplomasi yang dilakukan Perdana Menteri Sjahrir meneken nota jawaban Sjahrir kepada Belanda yang hanya menuntut pengakuan kedaulatan RI secara de facto atas Jawa dan Madura.

Sementara itu di pihak oposisi di bawah pimpinan Tan Malaka tidak menyetujui hal tersebut. Mereka menganggap Perdana Menteri Sjahrir dengan pimpinan yang ‘suka mengalah’ pada Belanda. Pihak opisisi menghendaki kemerdekaan 100% atau kedaulatan penuh serta melekukan pengusiran tentara asing dari Indonesia.

Situasi politik yang terjadi pada saat itu memang dapat dikatakan sulit dikarenakan kepercayaan terhadap kinerja pemerintah sudah tidak ada lagi, ditambah pemerintah menahan para pemimpin kelompok Persatuan Perjuangan, antara lain Tan Malaka. Mr. Subardjo, Sukarni, dan yang lainnya pada 23 Maret 1946.

Ketegangan dalam situasi politik yang memanas antara Kabinet Sjahrir dan kelompok oposisi mencapai puncaknya ketika kelompok Persatuan Perjuangan, sebelumnya telah berhasil mempengaruhi salah satu perwira yang menjabat sebagai panglima divisi III yang membawahi Kedu; Mayor Jenderal Sudarsono. 

Sudarsono, yang pada waktu itu memiliki wewenang untuk menjaga keamanan, lalu menyusun gagasan dan usaha untuk mengubah kabinet dengan menculik Perdana Menteri Sjahrir.

Penculikan Sjahrir

Penculikan Perdana Menteri Sjahrir bersama Menteri Kemakmuran Darmawan Mangunkusumo, dan beberapa tokoh lain terjadi pada tanggal 27 Juni 1946. Robert Elson dalam Soeharto: Sebuah Biografi Politik (2005) mencatat: ada restu Soedirman (yang kala itu satu kubu dengan Tan Malaka) dalam aksi tersebut. 

Pemerintah kemudian berusaha menangkap dalang penculikan--Mayor Jenderal Sudarsono--yang memerintahkan Komandan batalyon penjaga kota A.K. Yusuf menculik Sjahrir.  

Sumber: Blog Unik

Pemerintah pun tidak tinggal diam atas penculikan tersebut. Dengan dekrit istimewa, Sukarno mengambil alih kedudukan Sjahrir sebagai ketua dewan pertahanan. Berita penculikan pun tidak diumumkan dengan tetap dilakukan pencarian usaha-usaha yang keras dalam mencari Perdana Menteri yang hilang.

Upaya menutup-nutupi penculikan itu belakangan diketahui masyarakat. Keadaan semacam ini pun dianggap  sangat membahayakan negara sehingga tanggal 28 Juni 1946, Indonesia dinyatakan dalam keadaan bahaya. Satu hari kemudian seluruh kekuasaan diserahkan kepada Presiden Sukarno, dan ia mengumumkan dalam pernyataan umum presiden.

"Berhoeboeng dengan kedjadian dalam negeri jang membahajakan keselamatan negara dan perdjoeangan kemerdekaan kita, maka kami Presiden Repoeblik Indonesia dengan persetoedjoean kabinet mengambilkekoeasaan [...] pemerintahan sepenoeh-penoehnja oentoek sementara waktoe, sampai  kembalinja  keadaan biasa jang memoengkinkan kabinet dan lain-lain badan resmi berkedja sebagaimana mestinja..” (Ben Anderson, Revolusi Pemuda:1967 : 422).

Setelah diadakan ’perundingan’ maka Panglima Divisi III Mayor Jenderal Sudarsono bersama rekan-rekannya menghadap presiden sendirian tanpa membawa senjata pada 3 Juli 1946. Mereka pun menyodorkan empat naskah berisi maklumat kepada presiden untuk ditandatangani. 

Isinya menyebutkan agar: (1) Presiden memberhentikan Kabinet Sjahrir. (2) Presiden menyerahkan pimpinan politik, sosial, dan ekonomi kepada Dewan Pimpinan Politik. (3) Presiden mengangkat 10 anggota Dewan Pimpinan Politik (yang nama-namanya tercantum dalam naskah). (4) Presiden mengangkat 13 menteri negara (yang nama-namanya tercantum dalam naskah).

Maklumat pada hakikatnya menuntut agar pimpinan pemerintahan diserahkan kepada para pengikut kelompok Persatuan Perjuangan yang dipimpin oleh Tan Malaka. Tetapi Presiden Sukarno tidak menerima maklumat tersebut. 

Pada saat itu juga Mayor Jenderal Sudarsono beserta rekannya ditangkap. Empat belas orang yang diduga terlibat dalam usaha kudeta diajukan ke depan Mahkamah Tentara Agung. 

Sumber: Tirto

Tujuh terdakwa dibebaskan dari tuntutan. Dalam persidangan pengadilan tersebut, selain Mayor Jenderal Sudarsono, Mr. Muhammad Yamin juga dipersalahkan memimpin percobaan kudeta. 

Mereka kemudian dijatuhi hukuman empat tahun. Lima terdakwa lainnya dihukum 2-3 tahun. Namun mereka semuanya akhirnya dibebaskan dengan grasi Presiden Sukarno pada tanggal 17 Agustus 1948, pada peringatan hari proklamasi yang ketiga.



Berita Terkait