Perusahaan dagang gabungan yang diberi nama Verenigde Oostindie Compagnie (VOC) ini dikenal sebagai pemonopoli perdagangan rempah-rempah di nusantara. Mereka membeli dengan harga murah dari petani pribumi dan menjualnya dengan harga tinggi di Eropa.
Mengemban misi gold dan glory (kekayaan, kejayaan), mereka diberi Hak Octrooi dan menjadi perpanjangan tangan kerajaan Belanda di Hindia Timur. VOC diberi kewenangan untuk memiliki mata uang sendiri, mengadakan pemerintahan sendiri, memungut pajak dan memiliki angkatan perang.
Sumber: Istimewa
Dari siniliah VOC menjelma perusahaan dagang yang kuat dan berpengaruh yang wilayah kekuasaannya tidak hanya meliputi nusantara, tetapi juga Ceylon (Sri Lanka) dan kawasan yang merentang dari Tanjung Harapan (Afrika) hingga ke Jepang dengan dipimpin oleh dewan persero.
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Sultan Haji Menandatangani Kesepakatan Dengan VOC
Denys Lombard menulis dalam Nusa Jawa Silang Budaya, kekuasaan ini bermuara pada “ke-17 Tuan-Tuan” atau “de XVII Heeren” yang memiliki kantor di Amsterdam dengan tampuk pimpinan di negeri jajahan diserahkan pada Gubernur jenderal yang bertanggung jawab atas setiap perundingan transaksi dagang, hubungan dengan pangeran-pangeran Asia, keamanan dan tugas yang lain.
Sumber: Istimewa
Namun, tidak semua kerajan mau tunduk pada VOC. Mataram, Banten, Gowa Tallo dari Sulawesi, Ternate-Tidore dari Maluku, Palembang, Aceh dan lainnya termasuk kerajaan-kerajaan yang membangkang. Mengandalkan ilmu pengetahuan, teknologi militer, benteng yang kuat dan serdadu sewaan.
Kombinasi strategi politik, militer dan ekonomi untuk terus melanggengkan kekuasaan juga menjelma dalam siasat politik pecah belah atau Devide et Impera. Mataram (berambisi menguasai Jawa) dibelah lewat Perjanjian Giyanti (1755) dan Perjanjian Salatiga (1757), dalam Perjanjian Bongaya (1667) kerajaan Gowa-Talo juga harus tunduk pada Belanda.
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Adrian Valckenier dan Rapat Darurat Dewan Hindia Belanda
Tidak hanya itu, saingan dagang VOC juga tergolong kuat dikawasan Asia. Sebagaimana pendahulu mereka, Portugis yang tiba lebih dulu, orang Belanda hanya satu dari sekian pedagang yang melakukan transaksi di nusantara. Pesaing mereka tentu saja Inggris dan Perancis yang paling kuat dan beberapa pedagang kecil melayu, Bugis, India dan China.
Akhirnya, meski banyak peperangan dimenangkan oleh VOC tentu saja ada biaya yang harus dikeluarkan. Anggaran pertahanan atau dana perang inilah yang kemudian menjadi bumerang bagi VOC ketika semua itu dikorupsi oleh oknum-oknum tertentu, sehingga semakin menguras kas mereka di Amsterdam.
Sumber: Istimewa
Kemajuan VOC pun tidak berbanding lurus dengan pendapatan ketika praktik korupsi mulai semarak dilakukan para petingginya. Jual beli jabatan juga biasa dilakukan. Sogokan wajib diberi jika seseorang ingin menjadi pegawai atau menjabat di VOC. Alhasil korupsi di perusahaan multinasional pertama itu merajalela.
Faktor lain yang menjadi penyebab bangkrutnya VOC yakni banyaknya gaji yang harus dibayar untuk pegawainya, adanya pembayaran dividen (keuntungan) bagi pemegang saham yang dinilai ikut memberatkan VOC hingga perubahan politik di Belanda yang menganjurkan perdagangan bebas.
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Puputan Bayu: Pertempuran Mati-matian di Banyuwangi
Sumber: Istimewa
Keadaan ini membuat VOC menjadi hidup segan mati tak hendak. Arsip ANRI menulis, pecah perang antara negeri Belanda dengan Inggris dengan ditambah pembabakan baru akibat Revolusi Perancis (1789-1799) mengakibatkan kompeni mengalami krisis keuangan yang begitu genting yang mengakibatkan mereka memiliki utang sebesar 136,7 juta gulden.
Tak pelak VOC pun gulung tikar pada 31 Desember 1779, tepat hari ini 240 tahun yang lalu. Meski demikian, bangkrutnya VOC tidak mengurangi eksploitasi dan kolonisasi di bumi nusantara hingga kedatangan gubernur Jenderal H.W. Daendels atas suruhan Perancis untuk menyelenggarakan reorganisasi besar-besaran di tanah jajahan.
BACA JUGA: Cek BIOGRAFI, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini