Ceknricek.com -- Tahun 1973 di Negeri Gajah Putih, Thailand. Tepat hari ini, 46 tahun lalu, sekitar 100.000 mahasiswa di Thammasat University Thailand melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan diktator mereka: Thanom Kittikachorn.
Aksi yang dilakukan untuk menggulingkan Perdana Menteri ini berhasil membuat Thanom meletakkan jabatannya dan menjalani pengasingan. Namun, peristiwa ini juga merenggut 77 nyawa masyarakat sipil dan ratusan orang cedera yang diakibatkan oleh tentara Kerajaan Thailand.
Negeri Gajah Putih di Era Thanom
Sejarah mencatat Thailand merupakan sebuah negara di kawasan Asia Tenggara yang memiliki "hobi" kudeta militer. Sejak Revolusi Siam pada 1932 yang menjatuhkan Raja Prajadhipok dengan kekuasaan monarki absolutnya, hingga 2014 setidaknya tercatat 11 kali kudeta.
Thanom Kittikachorn juga lahir dan dibesarkan dalam iklim tersebut. Lelaki kelahiran 11 Agustus 1911 ini mulai berkibar namanya stelah membantu Sarit Thanarat (Komandan AD pertama Thailand) menggulingkan pemerintahan Phibunshongkram pada tahun 1957.
Sumber: Wikipedia
Satu tahun sesudahnya, ia kemudian dibaiat menjadi Menteri Pertahanan merangkap Wakil Perdana Menteri. Sementara itu, tentu sebagaimana imbas dari kudeta, Sarit menempati pucuk pimpinan sebagai Perdana Menteri.
Tahun 1963, Perdana Menteri Sarit meninggal dunia. Thanom kemudian meneruskan tampuk kekuasaan dengan dasar-dasar kebijakan yang telah dibuat oleh Sarit: nasionalisme, anti-komunisme, dan membuka diri terhadap dunia global.
Era pemerintahan Thanom memang dikenal sangat anti-komunis. Hal ini dipicu oleh gencarnya gerilya komunis di Thailand, khususnya di Laos dan Provinsi Nakhon Phanom, dimana kelompok komunis Red Chinese menawarkan 50 ribu baht untuk mereka yang dapat membunuh pejabat pemerintah yang anti-komunis.
Baca Juga: Rakyat Thailand Saksikan Prosesi Penobatan Raja Maha Vajiralongkorn
Melihat ancaman komunis yang semakin nyata, Tahnom kemudian meminta bantuan kepada Amerika Serikat yang sedang menjalankan kebijakan anti-komunis di kawasan Indocina. Negeri Paman Sam pun menyetujuinya, dengan imbalan mereka dapat mendirikan basis militer di Thailand.
Seiring waktu, kedekatan Thanom dengan Amerika semakin mesra. Kekuasaan Thanom juga semakin menancap kuat dan membawanya pada jalan kediktatoran. Untuk memastikan kekuasaannya tidak terusik ia pun mendirikan pos-pos penting dipemerintahan dan mengeluarkan produk hukum dalam wujud pasal 17 konstitusional.
Sumber: Wikimedia
Wujud pasal ini secara gamblang adalah memberikan kemudahan bagi Thanom untuk mengambil keputusan tanpa mengindahkan parlemen. Implementasi pasal ini juga diejawantahkan dengan menutup media massa kritis serta menyingkirkan lawan politik yang bersebrangan.
Situasi ini juga diperburuk dengan korupsi besar-besaran yang dilakukan oleh Thanom beserta kroni-kroninya semakin menurunkan kepercayaan masyarakat. Tempo menuliskan, selama menjabat hampir satu dekade kekayaan Thanom menjadi sangat tidak wajar yakni sebesar 434 juta baht.
Tidak hanya itu, gejala nepotisme juga merebak di era Thanom. Ia beserta anaknya, Narong Kittikachorn, dan Praphas Charusatihien, sang mertua juga dikenal dengan julukan "Tiga Tiran" yang terus memperkaya diri dengan jatah kontrak perusahaan.
Gaya memerintah Thanom ini menuai protes massal yang kemudian pecah menjadi "bom waktu" pada tahun 1973 tatkala 13 orang demonstran yang ditahan oleh aparat kemanan dengan tuduhan ingin menggulingkan pemerintahan.
Dipicu Penahanan Para Demonstran
Aksi demonstrasi di era Thanom sebenarnya sudah dimulai sejak 1968 dan mencapai puncaknya pada 1973. Aktivisme mahasiswa di Thailand memang sedang tumbuh pada tahun 1950-an karena banyaknya mahasiswa yang terinspirasi oleh ideologi kiri untuk memobilisasi demonstrasi dan unjuk rasa menentang kebijakan pro-Amerika yang dibuat Thanom.
Munculnya mahasiswa sebagai kekuatan politik karena diakibatkan semakin meningkatnya jumlah masyarakat yang memasuki kuliah. Tercatat pada 1961 jumlah mahasiswa meningkat dari 15.000 menjadi 150.000 pada tahun 1972. Sementara itu jumlah universitas juga meningkat dari 5 universitas menjadi tujuh belas.
Sumber: Wiki
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Tragedi Angke, Pembantaian Orang China di Batavia
Pada Juni 1973 sembilan mahasiswa dikeluarkan karena mengkritik pemerintah secara terbuka. Ribuan mahasiswa pun melakukan aksi protes di Monumen Demokrasi. Hal ini kemudian berlanjut dengan ditangkapnya 13 orang pada saat demonstrasi berlangsung di bulan Oktober 1973.
Pada 13 Oktober, 13 orang yang ditahan akhirnya dibebaskan oleh polisi. Pemimpin demonstrasi, Seksan Prasertkul, kemudian meminta massa menghentikan pawai setelah mendapat jaminan dari Raja Bhumibol Adulyadej untuk menerapkan demokrasi.
Namun, ketika massa akan membubarkan diri pada 14 Oktober, mereka tertahan akibat blokade polisi. Kericuhan pun tak bisa dihindari. Saling serang antar kedua kubu pecah di jalananan kota Bangkok. Polisi melepaskan beberapa tembakan dan gas air mata kepada pengunjuk rasa. Lain dari itu, tentara juga diturunkan untuk menghalalu massa.
Sumber: Wikipedia
Kekacauan yang meninggalkan banyak korban itu akhirnya membuat Thanom meletakkan jabatannya setelah Raja Bhumibol mengutuk keras ketidakmampuan pemerintah mengendalikan massa. Ia kemudian meminta Thanom untuk mundur dari jabatannya sebagai Perdana Menteri dan digantikan oleh Shannya Dharmasakti.
Bersama dua kroni dekatnya, Narong dan Phrapas mereka kemudian menjalani pengasingan. Namun ia sempat kembali ke Thailand pada tahun 1976 hingga kerusuhan di Thailand kembali meledak.
BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini