Sejarah Hari Ini: Tragedi Angke, Pembantaian Orang China di Batavia | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Schreenshot Youtube

Sejarah Hari Ini: Tragedi Angke, Pembantaian Orang China di Batavia

Ceknricek.com -- Tepat pada tanggal hari ini, 279 tahun yang lalu, 9 Oktober 1740, pembantaian etnis Tionghoa di Batavia atau dikenal dengan Geger Pecinan dimulai di Kali Angke, daerah pesisir utara di Jayakarta atau Sunda Kelapa.

Selama 13 hari, hingga 22 Oktober 1740 tragedi Chinezenmoord yang dilakukan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) itu mengakibatkan sedikitnya 10 ribu jiwa melayang di Batavia. 

“Seluruh jalanan dan  gang-gang dipenuhi mayat, kanal penuh dengan mayat. Bahkan kaki kita tak akan basah ketika menyebrangi kanal jika melewati tumpukan mayat-mayat itu,” tulis G. Bernhard Swarzen dalam buku Reise in Ost-Indien yang terbit tahun 1751.

Pembersihan Imigran di Batavia

Jauh sebelum datangnya VOC di Nusantara, orang-orang China sudah lebih dulu ada di Jayakarta. Mereka membuka perkebunan, menanaminya tebu untuk kemudian dijadikan arak yang terkenal di kalangan pelaut.

Sumber: Tirto

Di antara mereka juga banyak yang bekerja sebagai tukang bangunan, buruh pabrik gula dan berdagang. Ketika VOC menjejakkan kakinya di wilayah ini, mereka juga mulai menjalin hubungan baik dengan kalangan Tionghoa.

Hubungan baik itu tercermin dengan mengangkat beberapa tokoh dari mereka menjadi Kapitan China atau Syahbandar yang memiliki fungsi untuk mengatur masyarakat etnis mereka di wilayah Batavia pada era Jenderal Hendrick Zwaardecroon (1720-1725). 

Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Mengenang Tragedi Semanggi II

Namun, hubungan baik itu tidak bertahan lama. Pada awal abad ke-18 kondisi ekonomi di batavia pasca 1725 semakin memburuk. Buku-buku akuntansi juga menunjukkan kerugian modal yang terjadi selama beberapa tahun berturut-turut akibat anjloknya harga gula di pasar Internasional.

Sementara itu, jumlah imigran China di Batavia semakin meningkat yang akhirnya membuat VOC menerapkan berbagai peraturan untuk membatasi keberadaan mereka. Di antara tindakan tersebut adalah memulangkan orang China yang telah menetap di Batavia selama 10-12 tahun, tulis Johannes Vermeulen dalam Tionghoa di Batavia dan Huru-hara 1740.

Sumber: Baltyra

Remmelink juga menuliskan dalam bukunya, Perang China dan Runtuhnya Negara Jawa, orang-orang China di Batavia yang tidak memiliki penghasilan atau menganggur akan dibuang ke Ceylon (Sri Lanka) dan Tanjung Harapan untuk bekerja sebagai kuli perkebunan.

Hal ini tentu saja membuat gelisah serta kepanikan bagi warga China karena harus berpisah dengan kerabat mereka di Batavia. Terlebih juga beredar gosip bahwa rekan-rekan mereka yang dikirim kemudian dibuang di tengah laut oleh Belanda. Isu ini memicu beberapa kelompok orang China di sekitar Batavia.

Khe Pandjang atau Wang Tai Pan kemudian memimpin pemberontakan pada 7 Oktober 1740 dengan menyerang unit-unit penting milik VOC. Namun pemberontakan orang-orang ini mengundang reaksi yang sangat keras dari Belanda. Dua hari berselang, tragedi berdarah pun dimulai.

Adrian Valckenier Si Biang Keladi

Pada akhir September 1740, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Adrian Valckenier (1737-1741) sebenarnya sudah melakukan rapat dengan beberapa Dewan Hindia Belanda mengenai situasi di Batavia yang semakin gawat. Namun, dalam rapat yang berlangsung beberapa kali karena silang pendapat terkait kebijakan yang harus diambil, membuat rapat menjadi molor.

Sementara itu, di tengah terjadinya rapat, mereka mendengar bahwa Gedung VOC sudah dikepung tidak kurang 10 ribu orang China pada 8 Oktober 1740. Dan yang terjadi kemudian adalah penjarahan, pembakaran, dan pembunuhan massal terhadap orang-orang Tionghoa di Batavia. Thomas Stanford Raffles (1830) dalam The History of Java mencatat, sekitar 1.789 orang peranakan China terbunuh dalam insiden tersebut.

Baca Juga: Sejarah hari Ini: Tragedi Berdarah Tanjung Priok 

Pada 9 Oktober 1740 kekerasan ini terus meluas. Tentara VOC yang semula mengatasi pemberontakan berbalik mengejar pemberontak. Rumah-rumah dan pasar warga Tionghoa ikut dibumihanguskan. Tidak hanya itu, warga China yang melarikan diri ke arah Kali Angke dikejar dan dihabisi di sisi kali. 

Sumber: Merah Putih

Razia terus berlanjut. Bahkan Valckeiner mengadakan sayembara dan menjanjikan hadiah sebesar 500 rijksdaalder per kepala bagi etnis Tionghoa yang dipancung. Hal ini tentu saja memicu etnis lain untuk memburu mereka. Pembantaian berdarah yang mirip genosida ini pun baru berhenti pada 22 Oktober 174, tatkala Valckenier memerintahkan agar semua pembunuhan dihentikan. 

Tidak kurang dari 10 ribu orang China tewas, 500 orang lainnya luka berat, dan lebih dari 700 rumah warga Tionghoa dijarah dan dibakar baik oleh serdadu VOC maupun kaum pribumi, tulis W.R. van Hoevell, dalam Batavia in 1740-1840:447-557. 

Baca Juga: Soekitman, Polisi Perintis Saksi Tragedi Pembantaian Lubang Buaya

Peristiwa itu juga mengakibatkan ekonomi di Hindia Belanda semakin merosot dan terganggu akibat kelangkaan barang secara besar-besaran yang sebelumnya diiditribusikan orang-orang Tionghoa sebagai pedagang perantara dalam sistem perdagangan di Batavia. Kesulitan-kesulitan ini baru dapat dipulihkan setelah beberapa tahun ke depan.

Sumber: Schreenshot Youtube

Pemerintah Hindia Belanda pun menyadari kembali pentingnya peran orang Tionghoa dalam kehidupan di Batavia walaupun enggan memberikan mereka tempat tinggal di dalam kota.  Dewan Hindia Belanda lantas mendirikan pemukiman khusus yang sejak saat itu menjadi pusat Pecinan di Jakarta, yang kita kenal sekarang dengan nama Glodok.

BACA JUGA: Cek OPINI, Opini Terkini Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini. 



Berita Terkait