Ceknricek.com -- Hari ini 190 tahun yang lalu, tepatnya pada 4 Desember 1829, pemerintah kolonial Inggris di Hindia secara resmi melarang ritual sati dengan peraturan hukum Bengal Sati Regulation yang ditetapkan oleh Gubernur Jendral Lord William Bentinck.
Ritual sati yang dalam bahasa Sansekerta disebut Sutee, adalah tradisi kuno dalam masyarakat Hindu, di mana seorang janda yang ditinggal mati suaminya akan membakar diri bersama suaminya yang sedang dikremasi di atas bara api.
Sejarah Awal Sati
Istilah Sati berasal dari nama Dewi Sati, dikenal juga sebagai Dakshayani yang mengorbankan dirinya dengan cara membakar diri. Ia memunculkan api dengan kekuatan yoganya, karena tidak mampu menahan hinaan sang ayah kepada suaminya, Dewa Siwa.
Setelah pembakaran diri dan mati, Dakshayani bereinkarnasi, lahir untuk kedua kalinya sebagai puteri dari raja gunung, Himawan, dengan nama Parvati, yang akhirnya kembali menjadi istri dari Shiva untuk kedua kalinya.
Menurut Jorg Fisch dalam “Dying for the Dead: Sati in Universal Context”, dalam Jurnal of World History, vol.16, data paling awal mengenai ritual sati di India dicatat sejarawan Aristobulus dari Cassandreia pada 326 SM.
Sumber: Istimewa
Ketika itu Aristobolus tengah ikut dalam sebuah rombongan ekspedisi Alexander Agung ke lembah Indus, dia pun menyaksikan praktik tersebut di kota Taxila (kini wilayah Pakistan). Praktik ini pun terus berlangsung selama berabad-abad lamanya.
Awalnya, praktik ritual sati hanya terbatas pada keluarga kerajaan dari kasta Kshatriya, namun kemudian menyebar ke kasta yang lebih rendah, hingga dipraktikkan secara luas di antara semua kelas sosial. Sati berada di puncaknya antara abad ke-15 dan ke-18.
Culture trip menuliskan, menurut tradisi Hindu kuno, Sati melambangkan penutupan pernikahan sebagai sebuah tindakan sukarela di mana, sebagai tanda menjadi istri yang berbakti, seorang wanita mengikuti suaminya ke alam baka sebagai bentuk pengabdian terbesar seorang istri terhadap suami.
Sumber: Historia
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: India Merdeka Dari Inggris
Meski demikian, seiring waktu, tradisi ini menjadi praktik yang dipaksakan. Secara tradisional, seorang janda dalam masyarakat Hindu memang tidak memiliki peran dalam masyarakat dan dianggap sebagai beban. Jadi, jika seorang wanita tidak memiliki anak yang masih hidup yang dapat mendukungnya, dia ditekan untuk menerima sati.
Di abad ke-16, praktik ini sempat dilarang oleh penguasa India bernama Mughal Humayun, meskipun akhirnya sempat disahkan secara tidak sengaja pada saat Pemerintahan Inggris di India dan akhirnya dilarang lagi pada tahun 1829 lewat Bengal Sati Regulation, setelah kelompok kelas menengah dan intelektual di India mulai cemas terhadap maraknya praktek tersebut.
Sejak saat itulah, polisi di India berusaha mencegah praktik yang cukup mengerikan itu, bahkan menghukum denda dan kurungan bagi pelakunya. Praktik ritual sati pun berkurang dan perlahan menghilang hingga muncul kembali pasca-kemerdekaan India.
Praktik Sati Pasca Kemerdekaan India
Praktik Sati umumnya dilakukan secara sukarela, namun beberapa di antaranya sering ditemukan praktik ini terjadi karena pemaksaan atau pelarian. Setelah kemerdekaaan India dari Inggris pada 15 Agustus 1947, praktik sati masih kerap dilakukan.
Kasus yang paling terkenal adalah sati yang dilakukan oleh Roop Kanwar, yang terjadi pada tahun 1987. Ia merupakan seorang janda berusia 18 tahun dari suaminya yang meninggal di usia 24 tahun dan meninggalkannya tanpa anak.
Saat itu, pernikahannya hanya bertahan selama delapan bulan. Akibatnya, sekelompok pria dari desa itu secara paksa membius dan mengurungnya. Polisi pun menyelidiki kasus itu dan orang-orang itu ditangkap. Sati tersebut dilakukan di desa Deorola, Rajasthan.
Sumber: Istimewa
Baca Juga: Douwes Dekker Sosok yang Mengutuk Kolonialisme
Roop Kanwar dalam ritual itu kemudian dibakar bersama mayat suaminya yang ia peluk di pangkuannya, memberi berkat kepada orang-orang yang datang melihat pembakarannya sambil mengucapkan mantra Gayatri. Praktik Sati yang dilakukan oleh Roop menjadi tontonan menyeramkan bagi warga, sehingga mereka berpaling dan segera pergi dari tempat tersebut.
Setelah dilakukan penyelidikan, pemerintah India lalu menciptakan Undang-Undang Pencegahan Sati, di mana ritual tersebut dianggap ilegal, dan siapapun yang memaksa atau mendorong seorang wanita untuk melakukan sati, akan dihukum mati. Meski demikian, Culture trip menuliskan setidaknya masih ada empat kasus sati tercatat antara tahun 2000 dan 2015.
Ritual Sati di Nusantara
Ritual sati ternyata tidak hanya dipraktikan di India saja, beberapa catatan menunjukkan bahwa praktik itu juga populer di tradisi lain dan di negara-negara seperti Rusia, Fiji, Vietnam, bahkan Indoenesia atau Nusantara.
Historia menuliskan, catataan ritual sati pernah dilakukan di Jawa ketika anggota ekspedisi Cheng Ho datang ke Jawa antara 1413 hingga 1415. Ma Huan, anggota ekspedisi tersebut tengah mengunjungi Majapahit pada waktu itu.
Sumber: Gettyimages
Meski demikian, ada perbedaan ritual antara praktik sati di India dan di Jawa atau Bali. Di sini praktik sati tidak hanya dilakukan oleh istri, melainkan juga selir atau pembantu paling setia. Selain itu, ada penggunaan keris untuk mengakhiri hidup sebelum mereka melompat ke tumpukan api.
Praktik ritual sati juga terekam dalam relief Candi Jago di dekat Malang, Jawa Timur, yang dibangun antara 1268 dan 1280 (kemungkinan dibangun kembali pada abad ke-14). Candi Jago memiliki enam relief yang menggambarkan kematian bunuh diri Satyawati, istri Angling Darma.
BACA JUGA: Cek SENI & BUDAYA, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.