Sejarah Hari Ini: Puputan Bayu: Pertempuran Mati-matian di Banyuwangi | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Liputan6

Sejarah Hari Ini: Puputan Bayu: Pertempuran Mati-matian di Banyuwangi

Ceknricek.com -- Hari ini, 248 tahun yang lalu, tepatnya pada 18 Desember 1771, puncak Perang Puputan Bayu meletus di Blambangan, Banyuwangi sebagai usaha terakhir kerajaan Blambangan melawan invasi VOC di Nusantara. Puputan Bayu merupakan salah satu perang paling menegangkan selain Perang Jawa dan Perang Aceh, serta menimbulkan banyak korban jiwa dan membuat Belanda kewalahan untuk membangun koloni di ujung timur Pulau Jawa ini.

Puputan Bayu merupakan dampak ekspedisi militer Belanda di Blambangan pada 1767 ketika mereka mendirikan benteng pertahanan di Panarukan. Hal ini dilakukan VOC setelah mengetahui saingannya, Inggris, mendapat izin dari untuk melakukan perdagangan di sana oleh Kerajaan Mengwi.

Jauh sebelumnya, Kerajaan Blambangan merupakan wilayah yang berada di bawah kekuasaan Bali, yakni Kerajaan Buleleng dan Mengwi (1697-1736) yang bercorak Hindu dan secara geografis berdekatan dengan Bali, hanya dipisahkan sebuah selat antara Pula Jawa dan Bali.

Hampir satu abad selama pendudukan Mengwi, ribuan orang Bali kemudian menyebrang selat dan menetap di Blambangan. Namun, setelah Islam mulai masuk ke Jawa wilayah ini diklaim oleh Mataram. Mengwi tidak berani melawan secara frontal, meskipun Mataram sebenarnya tidak pernah mampu menguasai wilayah ini secara penuh.

Perang Puputan Bayu: Pertempuran Mati-matian di Banyuwangi
Sumber: DisbudparJatim

Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Pertempuran Puputan Margarana di Bali

Pada 1734, Raja mataram Pakubuwana II menyerahkan Blambangan pada VOC, sebagai imbalan karena telah membantu mereka berhasil merebut Ibukota Kartasura dari tangan pemberontak. Meski demikian VOC tidak segera melakukan pendudukan karena ikut terseret konflik Mataram yang berlarut-larut.

Dengan kosongnya keadaan ini, Mengwi kembali melakukan manuver agar dapat mengklaim wilayah tersebut. Untuk mencari perlindungan penguasa Mengwi kemudian memberikan izin pada Inggris untuk mendirikan kantor dagang di Ulu Pampang, kota pelabuhan yang cukup strategis pada waktu itu.

Mengwi menilai Blambangan sangat strategis dan menguntungkan. Selain dari sisi ekonomi dan perdagangan, Blambangan bagi Mengwi juga menjadi benteng terakhir untuk membendung masuknya pengaruh Islam ke Pulau Bali pada waktu itu.

Datanglah kemudian tiga kapal Inggris dan ratusan kapal kecil milik Bugis serta Madura untuk melakukan perdagangan di Blambangan di bawah komando Edward Coles pada 1766, di mana mereka bertukar opium, kapas, beras, kayu di sana yang lambat laun menjadikan pelabuhan semakin ramai.

Serbuan Belanda dan Pemberontakan Wong Agung Wilis

Mengetahui hal itu, VOC yang tidak terima pengaruh Inggris semakin kuat lantas melakukan patroli laut di Selat Bali dan sekitarnya. Mereka menangkap kapal-kapal dagang Inggris. Namun situasi ini bertambah kacau dan memaksa Belanda mengirimkan ekspedisi militer ke Blambangan.

Pasukan Belanda yang terdiri dari ratusan serdadu Eropa kemudian diberangkatkan dari Semarang dengan ditambah bantuan 3.000 prajurit dari Madura dan Pasuruan. Tak hanya itu, VOC juga mengirimkan 25 kapal besar dan kapal-kapal lainnya yang berukuran lebih kecil dalam ekspedisi militer mereka (Sudjana, 2001: 63).

Perang Puputan Bayu: Pertempuran Mati-matian di Banyuwangi
Sumber: DisbudparJatim

Militer VOC pertama kali diluncurkan pada Februari 1767, dengan menyertakan sekutu mereka, Kerajaan Mataram (Sultan Mangkubumi) untuk menaklukan kembali Blambangan. Yang terjadi kemudian adalah pembunuhan besar-besaran orang Bali di Blambangan. Dalam waktu singkat VOC berhasil menguasai Balambangan.

Namun, euforia kemenangan VOC ternyata berlangsung singkat. Empat bulan setelah VOC menjalankan administrasinya di Blambangan, muncullah pemberontakan yang dipimpin oleh Wong Agung Wilis, yang merupakan saudara tiri patih raja terakhir Blambangan, Pangeran Adipati Danuningrat (1736-1764).

Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Ambarawa Berhasil Direbut dari Sekutu

Pemberontakan Wilis ternyata mendapat dukungan luas dari penduduk lokal serta etnis lain seperti Bugis, Melayu, Sumbawa, dan Cina. Wilis berhasil memenangkan hati rakyat karena ikut menyerukan boikot terhadap kerja rodi yang diberlakukan VOC. Dengan dibantu Mas Rempeg, alias Pangeran Jagapati yang masih keturunan Raja Blambangan mereka bahu membahu melawan Belanda.

Perang Puputan Bayu: Pertempuran Mati-matian di Banyuwangi
Sumber: DisbudparJatim

Namun, pemberontakan Wilis hanya berlangsung satu tahun. Karena belum mampu mengungguli persenjataan Belanda yang mutakhir Ia dan pengikutnya tertangkap pada 1768, dan diasingkan ke Pulau Banda. Meski demikian, Pangeran Jagapati berhasil meloloskan diri ke benteng Bayu dekat lereng Gunung Raung, yang kini masuk wilayah kecamatan Songgon, Banyuwangi.

Mendengar salah satu pemimpinya berhasil menyelamatkan diri, rakyat Blambangan kemudian kembali menyusun kekuatan dan menemui Pangeran Jagapati di Bayu untuk melakukan perang puputan alias pertempuran habis-habisan daripada harus tunduk menyerah pada VOC.

Pertempuran Sampai Mati Rakyat Blambangan

Pertengahan Desember 1771, ribuan rakyat Blambangan kemudian berbondong-bondong meninggalkan desanya untuk bergabung dengan pasukan Jagapati dan melakukan pertempuran habis-habisan melawan VOC. Kerajaan Mengwi juga turut mengirimkan bantuan pasukannya kepada mereka.

Perang lalu meletus di Blambangan dan mencapai puncaknya pada 18 Desember 1771, tepat hari ini kurang dari dua setengah abad lalu. Sri Margana, sejarawan dari Universitas Gajah Mada, dilansir dari Disbudpar Jatim menyebut Puputan Bayu sebagai perang tersadis dalam sejarah Indonesia di mana puluhan ribu orang menjadi korban, baik tewas, melarikan diri, atau hilang tanpa jejak.

Perang Puputan Bayu: Pertempuran Mati-matian di Banyuwangi
Sumber: DisbudparJatim

Populasi penduduk di Blambangan pun menyusut drastis akibat Puputan Bayu. Yang mana menurut penelitian Thomas Stamford Raffles dalam History of Java menyebut pada 1750, sebelum Puputan Bayu, Blambangan dihuni lebih dari 80.000 orang, namun pasca peperangan, populasi penduduk menyusut hanya menjadi 8.000 jiwa pada tahun 1881.

Untuk mengenang peperangan ini, pada 2004, Pemerintah Banyuwangi kemudian membangun Monumen Puputan Bayu, di pintu masuk Desa Bayu, Songgon. Sementara itu, tempat peperangannya sendiri yang beradius 5 kilometer dari monumen telah menjadi rawa di kaki Gunung Raung yang dikelilingi hutan pinus seluas delapan hektar.

BACA JUGA: Cek BIOGRAFI, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini


Editor: Thomas Rizal


Berita Terkait