Sejarah hari Ini: Tragedi Berdarah Tanjung Priok  | Cek&Ricek Anugerah Pewarta Astra 2025 - Satukan Gerak, Terus Berdampak
Sumber: Wikipedia

Sejarah hari Ini: Tragedi Berdarah Tanjung Priok 

Ceknricek.com -- Tepat pada tanggal hari ini 35 tahun silam, 12 September 1984, sebuah tragedi berdarah antara massa Islam dan aparat Orde Baru pecah di Tanjung Priok.

Hari kelabu tersebut bermula dari gencarnya penerapan Pancasila sebagai asas tunggal dan wajib bagi semua organisasi di seluruh Nusantara, tidak boleh yang lain.

Artinya, organisasi yang tidak sejalan dengan garsi politik rezim Orba, maka layak dituduh anti-Pancasila, dan tentu saja dicap subversif.

Awal Mula Konflik

Pada Sabtu, 8 September 1984, di tengah suasana represif Orba, dua Bintara pembina Desa (Babinsa) dari Koramil datang ke musala As-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung Priok.

Mereka datang lengkap mengunakan seragam tersebut kemudian masuk ke tempat area ibadah tanpa melepas sepatu untuk mencopot pemlet di dalam musala yang dianggap berisi ujaran kebencian kepada pemerintah.

Sumber: VOA

Dalam buku Tanjung Priok Berdarah Tanggung Jawab Siapa? Kumpulan Fakta dan Data, Gema Insasi Pres 1998, diceritakan Hermanu (salah satu Babinsa) bahkan menyiramkan air selokan agar pamflet itu bisa terlepas dari papan pengumuman.

Kejadian itu akhirnya berbuntut panjang. Isunya menjadi menjadi pembicaraan warga setempat kendati tidak langsung merespon secara frontal. Meski begitu, tak ada penyelesaian dari aparat keamanan.

Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Referendum Timor Leste

Situaso itu memicu polemik. Dua hari kemudian, 10 September 1984, jemaah As-Sa’adah bertemu Hermanu dan rekannya. Mereka terlibat perdebatan sengit hingga dua orang Babinsa itu diselesaikan di kantor pengurus masjid Baitul Makmur, tak jauh dari musala.

Saat perundingan tengah berlangsung, dan kabar sudah kadung tersiar, tiba-tiba massa sudah berkumpul di depan pos dan berusaha menangkap Hermanu. Situasi tiba-tiba ricuh hingga mengakibatkan dibakarnya motor milik tentara.

Sumber: Historia

Pada peristiwa tersebut, empat orang ditangkap karena dianggap sebagai provokator, termasuk oknum pembakar motor. Tak pelak situasi itu membuat warga semakin kesal terhadap aparat.

Agar konflik tidak meluas, masyarakat meminta seorang tokoh, Amir Biki, untuk mendatangi Kodim dan menyampaikan tuntutan pembebasan empat tahanan tersebut.

Amir Biki tidak memperoleh jawaban yang pasti, bahkan terkesan dipermainkan oleh petugas-petugas di Kodim itu (Kontras, Mereka Bilang di Sini Tidak Ada Tuhan: Suara Korban Tragedi Priok, 2004:19).

Sumber: Merah putih

Merasa dipermainkan, ia kemudian menggagas pertemuan untuk membincangkan persoalan ini lebih serius dengan mengundang para ulama dan tokoh agama di Jakarta.

Dalam agenda yang berlangsung pada 11 September 1984 itu, Amir Biki diminta untuk berbicara di atas panggung dan mengultimatum aparat agar melepaskan empat jemaah yang ditangkap.

“Kita tunggu sampai jam 23.00 WIB, apabila keempat orang ini tidak dibebaskan, kita semua ke Kodim! Malam ini akan ada banjir darah, karena saya tahu moncong senjata TNI telah diarahkan ke kepala saya!” ucap Amir Biki, seperti dikutip dari buku Mereka Bilang Di Sini Tidak Ada Tuhan: Suara Korban Tragedi Priok karya Subhan dan Gunawan, F.X. Rudy.

Lantaran permintaan pembebasan empat tahanan tersebut tidak digubris aparat hingga menjelang pergantian hari, paginya setelah lewat tengah malam, Amir Biki pun memimpin massa yang berjumlah sekitar 1.500-an orang untuk menuju Kodim, tak terlalu jauh dari lokasi.

Namun belum tiba Kodim, persis di depan gereja samping Mapolres Jakarta Utara, massa terhenti. Mereka dihadang aparat, yang jumlahnya belasan orang. Barisan massa di depan berhenti, namun mereka terdesak maju oleh massa yang ada di belakang.

Saat rombongan di depan barisan berusaha menahan massa agar berhenti, tiba-tiba terdengar bunyi tembakan. Massa panik dan berhamburan. Tembakan kemudian terus menyusul, senapan menyalak menghujani massa, tanpa henti 10 hingga 15 menit.

Kontroversi Jumlah Korban Tragedi

Setelah diberondong senapan otomatis, korban-korban pun mulai berjatuhan. Ribuan orang panik dan berlarian di tengah hujan peluru. Namun aparat terus saja memuntahkan peluru-pelurunya. 

Dikutip dari Liputan 6, Husain Safe yang saat itu berada di barisan depan mengisahkan kejadian brutal tersebut. “Detik-detik berlalu begitu mencekam. Tak lama kemudian aparat yang menembak bergerak mundur agak jauh dari saya sambil terus menembak”. 

Sumber: chirpstory.com

Baca Juga: 5 Sudut Ibukota Yang Menjadi Saksi Tragedi G/30S PKI

Husain Safe pun mencoba melihat lebih jauh ke belakang, ke arah rombongan lain yang menuju ke arahnya. “Ternyata itu adalah rombongan Amir Biki. Saya dengar ada yang berteriak bahwa itu adalah Amir Biki. Disusul lagi teriakan dari anggota pasukan lainnya, Habisi saja!,” kisah lelaki tersebut.

Amir Biki pun tumbang dan tewas. Begitu pula massa lainnya. Mayat-mayat bergelimpangan di antara orang-orang yang terkapar terluka, di jalan dan di selokan. Tentara terus memburu massa dalam kegelapan akibat lampu dimatikan secara serentak.

Kejadian itu diamini oleh ulama dan tokoh Tanjung Priok, Abdul Qadir Djaelani saat bersaksi di pengadilan. AM Fatwa yang juga saksi kejadian menulis dalam buku Pengadilan HAM ad hoc Tanjung Priok

Dia mengungkapkan, tidak ada data pasti korban tewas, luka-luka, maupun hilang dalam tragedi itu karena pemerintahan Orde Baru menutupi fakta yang sebenarnya. 

"Panglima ABRI saat itu, L.B. Moerdani, mengatakan bahwa 18 orang tewas dan 53 orang luka-luka dalam insiden tersebut," tulis A.M. Fatwa.

Namun data Panglima ABRI itu berbeda dengan fakta Solidaritas untuk Peristiwa Tanjung Priok (Sontak) yang juga didukung kesaksian Djaelani. Dalam datanya, disebutkan tidak kurang dari 400 orang tewas, belum termasuk yang luka dan hilang.

Sumber: Twitter @radioelshinta

Kejadian itu hanya mendapatkan respons biasa saja daripada Presiden Soeharto. Dalam bukunya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, dia menyebut peristiwa Tanjung Priok adalah hasil hasutan sejumlah pemimpin di sana saja.

Sumber: Bukalapak

"Melaksanaken keyakinan dan syariat agama tentu saja boleh. Tetapi kenyataannya ia mengacau dan menghasut rakyat untuk memberontak, menuntut dikeluarkannya orang yang ditahan. Terhadap yang melanggar hukum, ya tentunya harus diambil tindakan.” ucap daripada Presiden Soeharto.

BACA JUGA: Cek SENI & BUDAYA, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.



Berita Terkait