Sejarah Hari Ini: Tragedi Pembantaian di Rawagede | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Sejarah Hari Ini: Tragedi Pembantaian di Rawagede

Ceknricek.com -- Hari ini 72 tahun yang lalu, tepatnya pada 9 Desember 1947, menjadi hari yang tidak dapat dilupakan oleh warga desa Rawagede, Karawang, Jawa Barat. Sebanyak 431 masyarakat sipil tewas terbunuh dalam operasi militer tentara Belanda ketika terjadi agresi militer pertama di Indonesia.

Tragedi pembantaian ini pun dianggap sebagai tindakan kriminal paling brutal yang pernah dilakukan Belanda dalam kurun waktu 1945 sampai 1950. 

Peristiwa Pembantaian 

Hari itu, Senin pagi buta, 9 Desember 1947, rombongan militer pimpinan Mayor Alphons Wijnen telah memasuki desa Rawagede (kini Balongsari), sebuah desa di perbatasan Karawang-Bekasi untuk mencari Lukas Kustaryo, seorang komandan kompi Divisi Siliwangi yang kerap membuat repot Belanda dan diduga bersembunyi di desa tersebut. 

Lukas Kustaryo, lelaki kelahiran Magetan, Jawa Timur, yang merupakan mantan Budancho, (Komandan regu, setara Sersan) dalam Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) ini memang sulit dibekuk dan kerap merugikan Belanda. Dia pun menyandang julukan mentereng: Begundal Karawang, dengan harga kepala sebesar 10 ribu gulden. 

Namun, rombongan militer berjumlah sekitar 300-an orang itu sesampainya di tempat dan melakukan penyisiran, ternyata tidak menemukan Lukas Kustaryo. Kesal buruannya tak ditemukan, para serdadu Belanda menumpahkan kemarahan mereka terhadap warga sipil setempat. 

Tragedi Pembantaian di Rawagede
Sumber: Istimewa

“Tentara Belanda pun memerintahkan semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja belasan tahun di kampung itu berdiri berjejer dan memberondong mereka dengan senapan. Diperkirakan 431 orang meninggal akibat penembakan tersebut,” demikian tulis sebuah berita di Antaranews, 11 Desember 2011.   

“Semua laki-laki diperintahkan keluar dari rumah, lalu disuruh berbaris, terus kepala mereka ditembak dengan senapan pasukan Belanda, hanya wanita dan anak-anak saja yang berhasil lolos,” ujar Wanti, salah satu janda korban dari pembantaian di Rawagede.

Hujan yang mengguyur hari naas itu pun semakin membuat suasana kian menyayat. Perempuan dan anak-anak yang selamat lalu mencari jasad korban, setelah ditemukan, dengan alat seadanya mereka menggali tanah untuk mengubur korban. Karena menggunakan alat seadanya, bau mayat korban tercium hingga berhari-hari lamanya.

Tragedi Pembantaian di Rawagede
Sumber: Istimewa

Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Tragedi Angke, Pembantaian Orang China di Batavia

Peristiwa tragedi ini tentu saja mengingatkan kita terhadap salah satu aksi pembantaian lain yang dilakukan tentara Belanda selama agresi militernya berlangsung di Indonesia pada 1945-1950.   

Satu tahun sebelumnya, pada 1946, pasukan khusus Belanda Depot Speciale Troepen pimpinan Kapten Raymond Paul Pierre Westerling, juga melakukan pembantaian terhadap masyarakat di Sulawesi Selatan dalam operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan). 

Dalam operasi yang berlangsung selama tiga bulan, dari Desember 1946 hingga Februari 1947 itu belum diketahui secara pasti jumlah korban dalam aksi keji Westerlling. Namun, delegasi Indonesia untuk PBB menyebutkan setidaknya 40.000 orang tewas dalam pembantaian tersebut.

Permintaan Maaf Pemerintah Belanda

Sejak tahun 2006, sebuah kelompok yang menamakan diri Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI) bersama para janda dan saksi korban pembantaian Rawagede akhirnya menggugat Pemerintah Belanda dan menuntut permintaan maaf serta ganti rugi dari Negeri Kincir Angin.  

Didampingi Liesbeth Zegveld, seorang pengacara dari biro hukum Bohler, mereka berhasil memenangkan tuntutan pada 14 September 2011, setelah Pengadilan Den Haag menyatakan pemerintah Belanda bersalah dan harus bertanggung jawab serta diwajibkan membayar kompensasi sebesar 20 ribu euro atau sekitar Rp240 juta untuk tiap korban.

Namun, sebesar apa pun jumlah uang yang diterima tentu saja tidak sebanding dengan hilangnya nyawa seseorang yang tidak bisa ditebus dengan segepok uang. 

Tragedi Pembantaian di Rawagede
Sumber: Istimewa

Baca Juga: Soekitman, Polisi Perintis Saksi Tragedi Pembantaian Lubang Buaya

Mengutip Tirto, sejarawan senior Anhar Gonggong, yang ayahnya menjadi korban pembantaian Westerling, suatu kali pernah berujar: "yang terbunuh tidak akan bisa dihidupkan lagi".

Liputan6, (9/12/2017) menuliskan, Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Nikolaos van Dam pada 2008 mengatakan bahwa pemerintah Belanda telah menyampaikan penyesalan yang mendalam atas pembantaian di Rawagede. 

Penyesalan itu disampaikan saat Nikolaos menghadiri peringatan 61 tahun "Tragedi Rawagede" di Monumen Rawagede, Desa Balongsari, Kecamatan Rawamerta, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Selasa, 9 Desember 2008.

"Diperkirakan jumlah rakyat Indonesia yang tewas akibat aksi Belanda itu sangat besar. Atas nama pemerintah Belanda, saya ingin menyampaikan rasa penyesalan yang dalam atas segala penderitaan yang harus dialami," kata Dubes Nikolaos van Dam.

BACA JUGA: Cek OPINI, Opini Terkini Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini. 


Editor: Farid R Iskandar


Berita Terkait