Ceknricek.com -- Hari itu, Kamis malam, 30 September 1965, Soekitman dan rekannya Soetarso, dua Agen Polisi tingkat II yang bertugas di Seksi VIII Kebayoran, Jakarta, ditugaskan untuk menjaga tamu negara yang akan mengikuti hari ulang tahun ABRI yang jatuh pada 5 Oktober.
Pukul 21.00 WIB Sokitman melakukan tugas jaga patroli keliling di seputaran Blok M, tepatnya di Jalan Iskandarsyah. Dengan mengendarai sepeda Phoenik kesayangannya, ia berpatroli sebagaimana layaknya fungsi tugas seorang Polisi Perintis (Sabhara).
Setelah selesai berkeliling, Soekitman kembali ke pos. Untuk mengusir kejenuhan, ia mulai mengelap-ngelap sepedanya agar semakin kinclong. Soekitman memang sangat menyanyangi sepeda tersebut, selain waktu itu jumlahnya masih sedikit, sepeda itu adalah salah satu hasil prestasi kerja kerasnya di kepolisian.
Sumber: Wikipedia
Lelaki kelahiran Pelabuhan Ratu, 30 Maret 1943 itu memang gemar sekali mengelus-elus sepedanya. “Si Kitman ini rajin banget sih negebrsihin sepedanya,” ungkap Sutarso yang keheranan melihat tingkah sejawatnya tersebut. Namun, celetukan itu hanya dijawab Kitman dengan senyuman.
Sementara jarum jam terus melaju, tangan Kitman masih saja asyik dengan debu-debu di seputaran sepedanya yang biasanya ia lumuri dengan minyak goreng agar tidak lekas berkarat. Namun, keasyikannya tiba-tiba terhenti oleh suara rentetan tembakan dari arah Blok M. Tarso dan Kitman pun kaget, “ada perampokan kah?,” batin mereka.
Naluri tanggung jawab seorang polisi lalu muncul di benak Kitman. “So, aku cek dulu, mungkin MABAK (Markas Besar Kepolisian) diserang.” Kitman pun mengayuh sepedanya ke arah Blok M. Kepanikan menguap dari kepala Kitman, rambu lalu lintas sudah tidak Ia perhatikan lagi. MABAK dalam bahaya, batin lelaki itu.
Sedang dalam gencar-gencarnya mengayuh sepeda, Kitam tiba-tiba dikagetkan oleh sebuah teriakan yang menghadang perjalanannya. ”Berhenti! Turun dari sepeda, lemparkan senjata! Angkat Tangan!,” di antara riuh rendah suara rentetan senjata yang masih berdengung.
Sumber: Youtube
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Pembunuhan Tujuh Jenderal dan Dalih Pembantaian Massal
“Karena melihat situasinya yang begitu gencar, kemudian saya turun dari sepeda, lemparkan senjata. Saya ditodong, dan kemudian dilemparkan di kabin di samping sopir, di bawah,” ungkap Kitman dalam sebuah wawancara.
Peluit kemudian berbunyi, Kitman yang dimasukkan ke dalam sebuah bus lalu dibawa ke Lubang Buaya oleh kelompok bersenjata tersebut. Sementara itu, di mobil lain kelompok yang sama juga membawa jenazah Brigjen D.I. Panjaitan. Mereka dipimpin oleh Sersan Mayor Soekardjo, anggota Brigade Infanteri 1 Jaya Sakti, pimpinan Kolonel Abdul Latief.
Di Lubang Buaya
Kitman sebenarnya tidak tahu ia dibawa ke mana oleh rombongan tersebut. Sesampainya di tempat yang cukup lapang yang ditumbuhi pepohonan cukup rimbun, dirinya hanya mendengar suara yang menyentak.
“Yani wes dipateni (Yani sudah dibunuh).” Sebaris kalimat itu pada awalnya tidak menjadi perhatiannya. Namun setelah mulai bisa berpikir tenang, Kitman paham bahwa nama yang disebut itu adalah salah seorang jenderal pada jajaran Angkatan Darat.
Dalam keremangan subuh, Kitman juga mendengar para penculik sambil terus menganiaya korban penculikan berteriak “Ganyang kabir! (kapitalis birokrat),” sambil satu-persatu tahanan itu mereka habisi. Soekitman bergidik, kengerian menjalar di seluriuh tubuhnya. Baginya, nyawanya tinggallah menunggu giliran.
Sumber: Intisari
Namun, keadaan itu sepertinya tidak berlangsung lama, atau sekitar dua penanakan nasi. Di tengah heningnya suasana, Kitman mulai menyadari bahwa suara tembakan sudah tidak lagi terdengar. Nyawa lelaki itu sepertinya masih panjang. Semula ia memang turut akan dibunuh, namun hal itu dicegah oleh salah seorang pasukan Tjakrabirawa.
“Tidak boleh ini, orang tidak apa-apa,” ucap Ishak Bahar mantan pasukan Cakrabirawa yang saat itu berada di Lubang Buaya, sebagaimana dikutip Tirto.
Senjatanya yang sempat dipatahkan pun kemudian dikembalikan. Ia lalu diajak naik Jeep Kolonel Untung dan disopiri oleh Kopral Ishak menuju Halim Perdana Kusumah pada, Jumat 1 Oktober 1965 sore, menjelang senja setelah sebelumnya diajak santap siang dengan sayur kacang dan segelas kopi.
Sesampainya di Halim, karena kelelahan Kitman tertidur. Ia tidak menyadari bahwa karena terlalu lelah, hari sudah berganti tatkala ia terbangun. Sementara itu sejumlah pasukan yang membawanya ke Halim telah berganti ketika ia terjaga.
”Hari Sabtu pagi, (2 Oktober 1965) pasukan yang tadinya pakai cokelat-cokelat, sudah berubah menjadi pakaian loreng-loreng,” ungkap Kitman.
Sumber: Wikipedia
Baca Juga: Sejarah Hari Ini: Tragedi 1965, Peristiwa Gerakan 30 September
Di siang harinya ia ditanyai oleh salah satu pasukan. Kepada pasukan itu Kitman mengakui bahwa dirinya polisi yang dibawa pasukan penculik. Ia kemudian diperiksa pada malam harinya. “Itu malam minggu saya diperiksa oleh kolonel Ali Ebram dari Tjakrabirawa.”
Dalam kedaan bingung ia hanya bisa menginformasikan bahwa mereka yang dihabisi adalah orang-orang yang diteriaki ‘kabir’ oleh para pembunuhnya. Ia juga bercerita tentang Jenderal bintang dua yang dianiyaya dan dibunuh. “Itu Bapak saya bernama Jendral S. Parman,“ Ali Ebram berseru sambil menggebrak meja.
Dari pemeriksaan itulah, kejelasan peristiwa-peristiwa yang belakangan hari ngendon di kepala Kitman mulai terkuak. Bahwa jenderal-jenderal yang dibunuh di tempat ia ikut diculik adalah Mayor Jenderal Siswondo Parman, Asisten Intelejen Ahmad Yani.
Menemukan Sumur Maut
Esok paginya, pada 3 Oktober 1965, setelah menjalani pemeriksaan dan mandi. Pukul 09.00 WIB Sukitman dijemput oleh Polisi Militer. Ia dibawa ke Pangdam Jaya dan dipertemukan dengan Brigjen TNI Umar Wirahadikisumah.
Perjalanan selanjutnya adalah ke Cijantung, Jakarta Timur. Di sana ia bertemu dengan Kolonel Sarwo Edhie. Kitman disuruh membuat denah menuju Lubang Buaya di papan tulis. Ia menggambarkan tempat tatkala diperiksa di markas Tjakrabirawa di sebuah kertas.
Di sore harinya mereka berangkat ke Lubang Buaya. Soekitman sendiri pada waktu itu berangkat bersama Mayor C.I Santosa. Tak berapa lama kemudian mereka menemukan sumur yang telah ditutupi tanah dan ranting-ranting pohon.
Sumber: Historia
Kelak, pada zaman orde Baru, dalam sebuah wawancara di TVRI pada acara “Gema pancasila” Sarwo Edhi Wibowo kemudian menyebut Soekitman sebagai orang yang berjasa menemukan para korban G30S. Berkat mertua presiden SBY ini pula, Soekitman yang hanya lulusan SR kemudian dimasukan ke sekolah Calon Perwira (Secapa) di Sukabumi, Jawa Barat.
Soekitman terakhir ditempatkan di Brigade Motor pada 1983. Saat saat pensiun pada 1998, pangkatnya adalah Ajun Komisaris Polisi yang setara dengan Letnan Kolonel Kepolisian.
Pada 13 Agustus 2007, polisi asal pesisir laut selatan yang menjadi salah satu saksi mata di Lubang Buaya itu mengembuskan nafas terakhir, di Depok, Jawa Barat. Soekitman wafat dalam usia 64 tahun.
BACA JUGA: Cek OPINI, Opini Terkini Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.