Ceknricek.com--Setelah lulus sebagai dokter umum, selain bekerja sebagai dokter umum di fasilitas kesehatan pemerintah (Kemenkes, BUMN, TNI, atau Kepolisian) maupun di RS Swasta, ada beberapa pilihan karir lanjutan lainnya.
Untuk menjadi seorang pendidik dan peneliti di institusi Pendidikan/ Universitas, para dokter baru ini harus lebih dahulu mengikuti jenjang pendidikan akademik setara S2 bahkan S3. Sedangkan pengembangan karir lanjutan dalam profesi medis, adalah menjadi dokter spesialis melalui program pendidikan dokter spesialis, yang peserta didiknya disebut mahasiswa PPDS atau Residen, dengan lama studi 8-11 semester, tergantung bidang spesialisnya.
Program pendidikan calon spesialis ini sudah dimulai sejak 1970-an dengan beberapa pusat pendidikan. Dahulu, model pembelajarannya adalah magang pada profesor/ spesialis senior di RS Rujukan, tanpa ada standar nasional. Peserta didik memperoleh ilmu langsung dari gurunya, dan diuji kelulusannya juga oleh guru yang sama.
Model ini sudah lama ditinggalkan demi mengikuti ‘best practices’ yang berkembang di berbagai negara maju, dengan peran Kolegium yang menyusun standar-standar terkait kompetensi, proses pencapaian kompetensi, standar dosen, dll. serta mengacu pada ketentuan World Medical Assembly (WMA).
Model yang saat ini berlangsung berlandaskan UU 12-2012, diselenggarakan oleh 24 Universitas (23 diantaranya PTN terakreditasi A), dengan 275 program studi (prodi) spesialis, hampir 16.000 peserta didik, serta 2700 lulusan setiap tahun (KKI, 2024).
Bahwa model pendidikan spesialis ini, administrasi, proses rekrutmen, dan penjaminan mutunya diampu oleh Universitas dan Kemenristek-Dikti, sehingga disebut sebagai ‘University Based’, adalah kehendak dari peraturan negara/ UU, sama sekali bukan kemauan para Rektor pemilik prodi, bukan pula kemauan para peserta didik, dan jelas bukan kehendak dari IDI maupun perhimpunan profesi spesialis.
Bahwa program ini berbayar mahal dan mahasiswa peserta didiknya tidak memperoleh gaji adalah karena negara belum pernah hadir dalam proses rekrutmen calon spesialis ini. Padahal sekolah PPDS ini adalah salah satu wujud investasi SDM demi masa-depan bangsa ini guna tercapainya cita-cita sehat dan sejahtera bagi semua.
PPDS sebagai tenaga kerja gratis bagi RS Pendidikan (baca: RS Vertikal) milik Kemenkes
Pendidikan spesialis ini merupakan pendidikan profesi, jadi dalam pelaksanaannya kurang dari 20% berupa pendidikan akademik/ pengayaan ilmu/ perkuliahan, sedangkan lebih dari 80% sisanya adalah magang/ praktek merawat dan mengobati pasien di RS Pendidikan Utama maupun RS Jejaring dibawah supervisi/ pengawasan para dokter spesialis yang disebut sebagai dokter penanggung jawab pasien atau DPJP.
Para peserta didik PPDS ini, meski berstatus sebagai mahasiswa, pada waktu yang sama mereka adalah tenaga kerja gratis yang melaksanakan tugas merawat dan mengevaluasi perkembangan pasien selama 24 jam sehari dan 7 hari seminggu, sebagai kepanjangan tangan dan di bawah pengawasan/ supervisi para dokter Spesialis dan Subspesialis selaku DPJP.
Hampir semua RS pendidikan adalah RS Vertikal milik kemenkes, yang secara hirarki langsung berada di bawah Dirjen Yankes. Sedangkan RS Jejaring Pendidikan kebanyakan adalah RSUD di Kabupaten/ Kota. Jadi, beban kerja para PPDS atau dokter Residen selama mengikuti proses pendidikan amat tergantung pada banyaknya pasien yang dirawat di RS Vertikal tersebut.
Sebagian RS Vertikal bahkan membuka layanan 24 jam sehari dan 7 hari seminggu, dan pasti ini akan berimbas langsung pada semakin bertambahnya eksploitasi para PPDS terkait jam kerja dan beban kerjanya.
Di satu sisi, kemenkes menganggap para PPDS/ Residen jam kerja nya berlebih, hingga rentan untuk dieksploitasi dan banyak yang mengalami stress, tapi disaat yang sama kemenkes menjadikan RS Vertikal seolah BUMN Kesehatan sebagai sumber revenue pemerintah (sebagaimana Pemda yang menjadikan RSUD sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah).
Tuntutan menkes agar penghasilan RS Vertikal semakin meningkat, telah memaksa RS untuk menambah jam kerja dan jumlah layanan, tanpa diikuti penambahan jumlah dokter spesialis, perawat, dan nakes lain.
Beban dan Tanggung Jawab Finansial Peserta Didik PPDS
Kalau mahasiswa Kedokteran adalah para lulusan SMU yang belum berkeluarga dan hidupnya masih bergantung sepenuhnya pada orang tua, sementara para peserta didik PPDS/Residen ini berusia 26-36 tahun, umumnya baru memulai kehidupan berkeluarga dengan 1-3 anak yang masih balita.
Program PPDS ini berlangsung penuh waktu, artinya peserta didik tidak punya kesempatan untuk sambil bekerja paruh waktu sebagai dokter umum. Hadirnya kehidupan berkeluarga mengharuskan para PPDS untuk bertanggung jawab menjaga dan memenuhi kebutuhan keuangan keluarganya.
Di saat yang sama, teman sebaya mereka yang menekuni profesi lain seperti bisnis dan teknologi kebanyakan sudah meniti karir dengan penghasilan yang cukup untuk hidup berkeluarga.
Akibatnya, seleksi pertama yang harus diikuti oleh para dokter untuk bisa masuk pendidikan spesialis adalah seleksi kemampuan finansial alias kekayaan, karena hanya yang punya dukungan keuangan dari orangtua dan/ atau mertua saja yang bisa dan boleh bermimpi suatu saat jadi dokter spesialis.
Setelah diterima, peserta didik wajib membayar uang Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) yang bervariasi antara 25-150 juta, dan biaya pendidikan sesuai UKT/ SPP yang ditetapkan oleh masing-masing universitas. Saat ini besaran UKT sekitar 15-30 juta per semester, selama 7-11 semester, atau 150-300 juta selama masa pendidikan, tergantung bidang ilmu nya.
Sulit rasanya mencari negara lain di dunia, dimana peserta didik PPDS harus mengeluarkan biaya begitu besar. Di Malaysia, Thailand, Australia, dan hampir semua negara lainnya, para PPDS atau residen ini justru mendapatkan gaji yang layak karena sejatinya mereka adalah dokter yang sudah punya kompetensi, dan bekerja memberi pelayanan di RS Pendidikan, tentunya dengan supervisi para Spesialis selaku DPJP.
Situasi seperti ini pernah terjadi di USA sekitar 60-70 tahun yang lalu, tapi saat ini seorang peserta didik PPDS memperoleh insentif sekitar USD 5000 di USA, USD 1000 di Brasil, dan Afrika Selatan, USD 500-700 di India dan Filipina (@pandemictalks, 9/8/2020).
Di Indonesia, kewajiban RS Pendidikan untuk memberi insentif kepada peserta didik PPDS sudah ada sejak lebih dari 10 tahun lalu, berdasarkan UU No. 20-2013 pasal 31. Tetapi semua RS Vertikal, tempat para PPDS ini dipekerjakan, selalu saja berkelit dengan seribu satu macam alasan, seperti soal status kepegawaian para PPDS tersebut, insentif tidak harus berbentuk materi, peraturan pelaksanaan yang belum ada, dan banyak lagi.
Beasiswa kemenkes dengan sanksi yang mencekik bak Lintah Darat, lebih kejam dari Pinjol
Dalam 10 tahun terakhir ini, kemenkes menawarkan skema beasiswa pendidikan spesialis untuk bidang-bidang tertentu guna memenuhi kekurangan SDM dokter spesialis untuk RSUD yang membutuhkan.
Beasiswa atau Tunjangan Belajar (Tubel) spesialis ini diberikan dalam 2 komponen, komponen biaya sekolah (Sumbangan Pengembangan Institusi/ SPI dan UKT/SPP) yang dibayarkan langsung ke institusi pendidikan, dan komponen biaya hidup yang ditransfer ke rekening peserta didik setiap semester.
Jumlah yang dibayarkan ke Institusi adalah SPI (bervariasi antara 25-100 juta sekali saja) dan UKT/SPP (bervariasi antara 15-30 juta/ semester). Bantuan biaya hidup, sesuai Permenkeu No. 83/PMK.02/2022, sebesar 20.690.000/ tahun ditransfer langsung ke rekening peserta didik setiap semester.
Terkait dengan Tubel ini, calon PPDS mendaftar sebagai peserta melalui RSUD untuk bidang spesialisasi yang dibutuhkan oleh RSUD tersebut. Bisa jadi pilihan bidang spesialisasi ini tidak sesuai dengan passion/ keinginan peserta didik, melainkan mengikuti bidang spesialis yang paling dibutuhkan oleh RSUD. Saat mendaftar, ybs mesti membuat pernyataan a.l. Tidak akan mundur dari program, dan bila mengundurkan diri akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang- undangan (SE No. HK.02.02/F/1845/2024).
Sanksi terkait Tubel ini termuat dalam Permenkes No.37-2022 tentang Bantuan Biaya Pendidikan Kedokteran dan Fellowship. Pada pasal 55 ayat 2, tertulis sanksi bagi yang mundur atau tidak menyelesaikan pendidikan diharuskan mengembalikan biaya pendidikan sebesar 5x (Lima Kali) jumlah biaya yang telah dikeluarkan selama masa pendidikan bagi peserta program dokter spesialis, dan 10x (Sepuluh Kali) bagi peserta program dokter Subspesialis. Terlihat di sini menkes menganggap para penerima beasiswa/ tubel ini seolah telah menyerahkan hak hidupnya kepada kemenkes sehingga mereka tidak punya pilihan selain menyelesaikan PPDSnya atau membayar denda sebesar 5-10 kali biaya yang sudah mereka terima.
Permenkes No.37-2022 tentang denda bagi penerima Tubel, dan Tanggungjawab Menkes di Undip, dari 1055 PPDS, ada 109 penerima tubel kemenkes. Sedangkan di Unair, dari 1875 PPDS, ada 246 penerima tubel. Tentu saja selalu akan ada mereka yang pilihan bidang spesialis nya tidak sesuai dengan keinginan hati, memilih karena terpaksa demi mendapatkan beasiswa karena tidak punya dukungan finansial dari orang tua maupun mertua.
Bisa pula terjadi, karena suatu sebab, misalnya sakit yang mengganggu tugas/ proses belajarnya, dan mereka terpaksa tidak dapat menyelesaikan studi, maka pilihannya adalah mundur tapi bayar denda bak hutang pada rentenir/ lintah darat, atau mati agar bebas dari sanksi bayar ‘pinjaman’ dengan bunga 500-1000% (sesuai Permenkes 37-2022).
Coba bandingkan dengan beasiswa LPDP yang tidak mewajibkan pengembalian bagi yang mundur karena sakit, dan bagi yang gagal studi hanya mengembalikan sesuai jumlah yang sudah diterima tanpa ada tambahan bunga sepeserpun ( https://tinyuri.com/PengunduranDiriLPDP ).
Kesimpulannya, selain sebagai investasi SDM terdidik bangsa ini, pendidikan dokter spesialis adalah bagian dari upaya memenuhi salah satu kewajiban konstitusi negara ini yaitu menghadirkan layanan medik spesialistik yang berkualitas bagi seluruh rakyat di seantero negeri. Para PPDS ini sudah rela mengorbankan waktu dan zona nyaman-nya, dan menunda kesejahteraan keluarganya demi sekolah spesialis yang dibutuhkan oleh negara dan bangsa.
Kemenkes adalah kepanjangan tangan negara yang harus hadir dalam proses rekrutmen spesialis yang penyelenggaraannya berbiaya mahal. Negara (baca: menkes) tidak boleh menganggap mereka yang terpaksa mundur/ tidak bisa menyelesaikan studi sebagai orang yang salah dan punya maksud jahat sehingga mesti dihukum berat membayar denda dengan bunga yang jauh lebih besar dari bunga Pinjol.
Untuk PPDS Undip dengan masa studi 2 th, besarnya dana yang mesti dikembalikan bisa mencapai 750 juta, betapa mengerikan. Bagi penerima tubel kemenkes, kewajiban mengembalikan dana 5-10 kali lipat bila studi tidak selesai, bisa jadi merupakan penyebab utama stres yang kemudian mendorong keinginan untuk mengakhiri hidup.
Alih-alih hadir memperbaiki kekurangan pada model yang sudah berjalan, menkes malah sibuk membangun banyak narasi tanpa bukti, yang kemudian sengaja diamplifikasi oleh para buzzer, bahwa sistem yang ada saat ini (University Based) amatlah buruk, penuh bullying dan bikin stres, sampai peserta didik ingin bunuh diri, berbayar mahal, seleksi peserta didik berdasar hubungan keluarga dan ‘darah biru’, dsb. sehingga layak untuk dibubarkan dan dihancurkan, untuk kemudian diganti dengan model ‘Hospital Based’ yang sepenuhnya di bawah kekuasaan dan kendali menkes.
Bahkan untuk mencapai tujuan yang hina tersebut, dengan tega-nya menkes memanfaatkan kasus kematian seorang peserta didik PPDS di Semarang baru-baru ini, menkes langsung tampil bak pahlawan kesiangan, membuat pernyataan terkait bullying dan bunuh diri sebelum ada bukti, dan Astaghfirullahalazim.
#Zainal Muttaqin, pengampu pendidikan dokter spesialis, Guru Besar FK Undip
Editor: Ariful Hakim