Ceknricek.com -- Jenderal TNI Anumerta Ahmad Yani pernah mendapat julukan juru selamat dari rakyat Magelang, Jawa Tengah, tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Itu jerjadi sesudah ia bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) untuk kemudian menghadang Belanda yang ingin kembali berkuasa.
Pada masa usia puncak kariernya tiga hari sesudah ulang tahunnya yang ke-40, pada tanggal hari ini, 19 Juni, ia dilantik oleh Presiden Sukarno sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Namun sebagaimana ungkapan Chairil, nasib adalah kesunyian masing-masing. Tiga tahun berselang, ia menjadi salah satu korban tragedi paling berdarah di Indonesia, insiden pagi jahanam, 1 Oktober 1965.

Ahmad Yani. Sumber: Infbiografi
Masa Kecil dan Karier
Achmad Yani lahir pada 19 Juni 1922 di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah. Ia anggota keluarga Wongsoredjo, sebuah keluarga yang bekerja di sebuah pabrik gula milik Belanda. Ia dan keluarganya pindah ke Batavia pada 1927 karena sang ayah bekerja pada General Belanda.
Di Batavia, Ia bekerja dan juga menempuh pendidikannya di HIS Bogor dan lulus pada tahun 1935. Selepas itu ia melanjutkan pendidikan ke MULO dan lulus pada tahun 1938. Dari MULO, ia melanjutkan ke AMS Jakarta, namun hanya sampai kelas 2 saja karena ada milisi yang diumumkan Pemerintah Hindia Belanda untuk menjalani wajib militer.
Ahmad Yani mengikuti pendidikan topografi militer di Malang, Jawa Timur, dan lebih mendalaminya di Bogor dengan pangkat Sersan. Pendidikan yang ia jalani tersebut terganggu karena kedatangan Jepang pada 1942. Di tahun yang sama ia keluarganya pindah lagi ke Jawa Tengah. Pada 1943, Ahmad Yani bergabung dan mengikuti Pendidikan Heiho di Magelang, dan setelah itu Ia bergabung dengan tentara Peta di Bogor.
Setelah TKR atau Tentara Keamanan Rakyat terbentuk, Achmad Yani ditunjuk sebagai pemimpin TKR Purwokerto. Pada saat terjadi Agresi Militer Belanda I, ia dan pasukannya berhasil menahan serangan Belanda di daerah tugas mereka yaitu di daerah Pingit. Atas keberhasilan itu, saat terjadi Agresi Militer II, ia dipercaya menjabat sebagai Komandan Wehrkreise II.

Sumber: Okezone
Setelah Indonesia memperoleh pengakuan kedaulatan, Yani diberi tugas untuk melawan pasukan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang mengacau di Jawa Tengah. Dibentuklah pasukan Banteng Raiders yang dibekali latihan khusus untuk melawan pasukan DI/TII tersebut dan berhasil dikalahkan.
Pada bulan Desember 1955, Achmad Yani dikirim ke Amerika Serikat untuk menjalani pendidikan di Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas, USA. Ia menjalani pendidikan selama 9 bulan, sebelum kemudian mengikuti pendidikan di Special Warfare Course, Inggris selama 2 bulan, pada 1956.
Pada tahun 1958, terjadi pemberontakan PRRI di Sumatera Barat. Ahmad Yani yang berpangkat Kolonel ditunjuk menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus untuk melawan pemberontakan tersebut dan berhasil menang. Karena pencapaiannya, pada 1962, Yani diangkat menjadi Panglima/ Menteri Angkatan Darat.
Perwira Andalan
Sebagai seorang perwira, sejak awal Yani adalah seorang perwira yang menonjol. Namanya makin populer setelah berhasil menggempur PRRI di Sumatera Barat. Menurut Nasution, Yani adalah pembantunya yang sulit tergantikan.
Ketika sedang berada di daerah operasi, Nasution mempercayakan Yani memimpin Staf Umum Angkatan Darat (SUAD). Pun selama menjadi deputi, Yani adalah sosok yang sehaluan dengan Nasution: antikomunis garis keras.
Namun, akibat memburuknya hubungan presiden dengan A.H. Nasution selaku Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KASAD) -- karena peristiwa yang kerap disebut sebagai upaya kudeta pertama di Indonesia pada 17 Oktober 1952 -- berdampak mulus bagi karier Ahmad Yani.

Sumber: Tribun
Pada 23 Juni 1962, Ahmad Yani ditunjuk sebagai KASAD atau Menteri/Panglima Angkatan Darat yang baru menggantikan Nasution. Posisi Nasution dialihkan sebagai Menteri Pertahanan Keamanan yang secara struktural lebih tinggi namun kurang strategis.
Nasution yang sangat anti-komunis dianggap sebagai penghalang presiden yang saat itu gencar mengkampanyekan konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme), termasuk merangkul PKI sebagai salah satu pilarnya selain militer dan kelompok Islam.

Ahmad Yani. Sumber: Satu Jam
Lain dari itu, alasan Sukarno memilih Ahmad Yani karena dinilai lebih lunak ketimbang Nasution dalam rangka mewujudkan konsep Nasakom. Namun, anggapan presiden ternyata tidak sepenuhnya tepat. Dalam isu-isu strategis yang dilontarkan PKI, seperti wacana Angkatan Kelima dan Nasakomisasi Angkatan Bersenjata, Yani secara tegas menentangnya -- (Taufik Abdullah, 2012:18).
Sikap yang tidak selalu sepakat ini pada akhirnya membuat Ahmad Yani menjadi salah satu target utama Gerakan 30 September (G30S) 1965 yang melibatkan beberapa petinggi PKI, di antaranya D.N. Aidit, serta faksi militer hingga akhirnya menjadi tragedi paling kelam dalam sejarah Indonesia.
Akhir Hayat
Satu hari sebelum pecah gerakan 1 Oktober 1965, Ahmad Yani menerima tamu Brigjen Basuki Rahmat yang melaporkan kondisi dan situasi terkini terkait pegerakan PKI beserta organ-organ pendukung mereka yang akhirnya pecah dfi Jawa Timur.
Kepada Yani, Basuki yang baru datang dari Surabaya mengatakan bahwa pergerakan PKI di Jawa Timur semakin berbahaya dengan maraknya berbagai aksi unjuk rasa yang tidak jarang berujung ricuh. (Wajah dan Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional, 1983:284).
“Dilihat dari keseluruhan, maka peristiwa-peristiwa yang terjadi di Jawa Timur dan berbagai aksi sepihak PKI, bisa dipastikan adalah gerakan sistematis yang sedang berjalan,” kata Basuki Rahmat.
Esoknya ia berencana membawa Basuki Rahmat menghadap Presiden Sukarno. “Memang keadaannya semakin meruncing. Kita menghadap bersama-sama besok. Secepatnya ini perlu dilaporkan,” tegasnya.

Sumber: Merdeka
Ahmad Yani ternyata tidak pernah sempat lagi menemui Bung Karno. Malam itu menjadi malam terakhir baginya. Dinihari 1 Oktober 1965, perwira tinggi militer kepercayaan presiden ini tewas tertembus peluru di kediamannya.

Museum lubang buaya. Sumber: loop.id
Tubuh sang panglima yang bersimbah darah dengan balutan piyama itu pun diseret dan diangkut dengan truk untuk dibawa ke Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Jasad Ahmad Yani, bersama mayat 6 orang perwira TNI lainnya, ditemukan 2 hari berselang. Kini, tempat Ahmad Yani ditemukan di Kawasan Jakarta Timur itu berdiri Lapangan Peringatan Lubang Buaya yang berisi Monumen Pancasila, sebuah museum diorama, sumur tempat para korban dibuang, serta sebuah ruangan berisi relik.