Siapa yang Lebih Berkuasa: Rakyat Atau Parpol | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Siapa yang Lebih Berkuasa: Rakyat Atau Parpol

Ceknricek.com--Ada ungkapan dalam bahasa Latin yang berasal usul dari Inggris, bahwa “Vox populi vox Dei”. Artinya adalah “Suara rakyat adalah Suara Tuhan”. Ungkapan ini acap dikemukakan ketika seseorang membela “demokrasi” sebagai bentuk pemerintahan yang paling tepat. Karena dalam demokrasi, konon, yang menentukan siapa yang harus berkuasa adalah mayoritas rakyat.

Sebagaimana diketahui, di Indonesia pernah diberlakukan “Demokrasi Terpimpin” – yang memimpin adalah Presiden Pertama Republik Indonesia, Soekarno, yang akhirnya ditumbangkan oleh Jenderal Soeharto yang menerapkan “Demokrasi Pancasila”.

Ternyata “Demokrasi Pancasila” juga tidak berhasil dilestarikan, dan tergeletak di tengah jalan gegara Reformasi, yang konon mengembalikan “Demokrasi” seadanya, tidak diembel-embeli dengan sesuatu sandingan, seperti “Terpimpin” dan/atau “Pancasila”.

Meski di Indonesia sering dikumandangkan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat”, tetapi dalam praktiknya, itu hanyalah sekadar basa-basi semata. Kedaulatan yang sesungguhnya terkesan pada hakikatnya berada di tangan partai politik.

Fatima Payman  Foto: Istimewa

Ini kembali terbukti ketika beberapa parpol pasca pemilu DPR dan DPD baru-baru ini dengan penuh kekuasaan mengangkangi kehendak mayoritas rakyat dan boleh dikatakan sama sekali tidak menghiraukan kemauan sang “Populi” alias rakyat yang telah memberikan pilihan mereka dengan susah payah mendatangi tempat pemungutan suara dengan niat dan tekad untuk menentukan siapa yang pada hemat mereka paling sesuai, layak dan mampu untuk mewakili dan memperjuangkan nasib mereka dalam Dewan Perwakilan Rakyat.

Tahu-tahu suara mereka itu hanyalah seperti “pelengkap-penderita” semata. Berbagai partai politik kemudian dengan gampang memutuskan si fulan yang telah dipilih oleh rakyat, perlu dicabut mandatnya, yang kemudian dialihkan ke si anu. Sebagaimana dapat dibaca dalam putusan Komisi Pemilihan Umum (KPU):

"Menggantikan calon terpilih atas nama Dra. SRI RAHAYU (peringkat suara sah ke II, nomor urut 1) karena yang bersangkutan mengundurkan diri dan calon atas nama H. ARTERIA DAHLAN, S.T., S.H., M.H. (peringkat suara sah ke III, nomor urut 4) karena yang bersangkutan mengundurkan diri," tulis Lampiran Keputusan KPU.

Dan Arteria Dahlan yang ternyata mendapat “durian runtuh” itu dengan susah payah meyakinkan siapa saja yang perlu diyakinkan bahwa dengan “senang hati dan sukarela tanpa tekanan” dia menyerahkan kursinya di DPR masa kerja 2024-2029 yang telah jatuh ke haribaannya, kepada seorang cucu alm. Bung Karno, Romy Soekarno.

Sebagaimana dilaporkan berbagai media: “Arteria Dahlan mengatakan bahwa dirinya memberikan kursi DPR RI periode 2024–2029 kepada Romy Soekarno secara sukarela. Arteria menjelaskan, pemberian kursi DPR kepada Romy Soekarno merupakan bentuk balas budi kepada keluarga Bung Karno.”

Sementara Romy sendiri seakan mengesankan bahwa dia memang berhak memperoleh kursi di DPR itu meski rakyat dari dapilnya lebih berkenan dengan calon lain.

Media di Indonesia memberitakan: "DPP mengapresiasi bagaimana saya di dapil berjuang dari pagi sampai malam. Dan terima kasih untuk Bu Sri Rahayu dan Mas Teri (Arteria), karena mereka mengapresiasi semua apa yang saya lakukan di dapil. Sehingga ya mudah-mudahan saya bisa menjadi wakil rakyat yang bisa berjuang untuk bangsa dan negara," tegas Romy.

Alhasil dalam sepakbola ini seperti yang memberikan umpan lebih dihargai daripada yang mencetak gol ke gawang lawan? Harap maklum menghargai “pengumpan daripada pencetak gol” ini bukan hanya terjadi dalam batang tubuh PDIP, melainkan juga dalam parpol-parpol lain.

Lain halnya dalam sistem yang berlaku di Australia. Meski dalam Bahasa Inggris ada peringatan bahwa “comparisons are odious” alias membanding-bandingkan adalah sesuatu yang menjijikkan, namun dalam tulisan ini saya cenderung melakukan perbandingan antara sistem politik di Indonesia dan yang diterapkan di Australia, demi “tak kenal maka tak sayang.”

Alkisah ada seorang perempuan asal Afghanistan bernama Fatima Payman, yang belum juga berusia 30 tahun. Dalam pemilu tahun 2022 di Australia, perempuan yang datang ke Australia ini bersama keluarganya dari Afghanistan ketika berusia 5 tahun. Ia sempat mengecapi pendidikan di Australian Islamic College, di Australia Selatan dan kemudian meneruskan pendidikannya di bidang farmasi. Ternyata minatnya bukan dalam soal obat-obatan melainkan politik. Ia memilih Partai Buruh yang kini menyelenggarakan pemerintahan di Australia, dan terpilih (oleh suara rakyat) menjadi Senator dari Australia Barat.

Partai Buruh punya ketentuan ketat bahwa setiapa anggota harus patuh pada kebijakan yang dianut partai. Namun dalam hiruk-pikuk yang berkobar antara Israel dan Hamas, Senator Fatima Payman, ketika terjadi pemungutan suara dalam Senat, “menyeberang” untuk bergabung dengan Partai Hijau yang menghendaki agar Australia mendukung pembentukan sebuah negara Palestina, dikenal dengan istilah “Sistem Dua Negara” untuk menyelesaikan masalah Palestina.

Jelas saja Partai Buruh sangat berang atas kedurhakaan itu, dan Senator Payman dikucilkan. Fatima Payman tidak tinggal diam. Dia keluar dari Partai Buruh yang telah membesarkannya, namun tetap dalam Senat sebagai anggota Independen. Partai Buruh tidak berdaya untuk berbuat suatu apa pun untuk mendepaknya dari Senat.

Kenapa?

Karena yang memilihnya adalah rakyat dalam dapilnya di Australia Barat. Partai tidak bisa lancang dan berbuat sekehendak hatinya. Rakyat yang memilih, rakyat yang memberhentikan! Bukankah “Vox populi vox Dei” – Suara Rakyat adalah Suara Tuhan? Benar.

Meski di abad ke 7/8, seorang penasehat pemimpin kaum “Frankish” (kini Perancis) Charlemange, bernama Acuin, seorang guru, pendeta, pujangga dan penulis, pernah menasehati atasannya itu: “Jangan hiraukan mereka-mereka itu yang berulang kali mengemukakan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, karena keberandalan rakyat itu selamanya serupa dengan kegilaan.”

Masihkah sidang pembaca percaya bahwa “Vox populi Vox Dei”? Ataukah anda sependapat dengan sistem di Indonesia yang seakan berasaskan apa yang dikemukakan oleh Acuin kepada junjungannya itu? Tepuk dada tanya selera. Kebetulan Senator Fatima Payman bertampang laksana seorang bintang film Bollywood/Holywood.


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait